
PAGI-PAGI benar, pukul tujuh lewat lima belas menit, teman saya Ramdani, saya memanggilnya Dani, sudah nongkrong di warkop. Dia menelepon saya yang masih bersantai di teras rumah. Membaca koran terbit pagi ini. Ada berita menarik: tentang manusia tak bernama memagari laut. Pagar itu sepanjang tiga puluh kilometer. Presiden dan mantan presiden tak tahu. Menteri kelautan dan mantan menteri kelautan tak tahu. Tentu: Tuhan tahu.
Dani mengajak saya untuk segera bergabung di warkop, tempatnya menikmati kopi kesukaannya. Saat itu tebersit di pikiran saya: ada apa pagi-pagi ke warkop. "Pasti ada yang penting ingin disampaikan Dani ke saya. Apa ya?" Saya bertanya pada diri sendiri.
Saya paham karakter Dani. Dia teman yang suka bercerita. Tentang apa saja. Ya, misalnya: soal politik, soal korupsi, soal sastra, soal kekuasaan, soal cewek, juga soal janda muda.
Pengalaman saya berteman dengan Dani: ceritanya atau informasinya selalu menarik didengar lantaran disertai akting. Sambil berbicara seakan tak berujung itu, dia menampakkan mimik wajah yang serius. Dia ingin memberi kesan: ceritanya aktual dan tak meragukan kebenarannya.
Meski cerita Dani selalu meyakinkan, namun saya selalu merenung setiap dia usai berbicara panjang: apa betul yang dikatakan? Selama ini saya harus mengakui: apa yang disampaikan Dani dengan gaya agresif itu kadang benar, kadang salah.
Bagi saya, bukan soal benar dan salah cerita Dani yang membuat saya selalu tertarik mendengarnya, tapi soal gaya atau aktingnya itu yang membuat saya bertahan mendengarnya.
*
Akhirnya saya memenuhi ajakan Dani ke warkop, pagi itu. Setelah memesan kopi hitam untuk saya dan sepiring pisang goreng panas, mulailah dia bercerita. Seperti dugaan saya: informasinya selalu aktual. Entah benar atau salah: yang penting aktingnya.
"Apa kau tahu: sekarang ada cerita misteri yang berkembang di tengah masyarakat? " Dani memulai ceritanya dengan nada bertanya.
"Tidak tahu," jawab saya seketika.
"Ditemukan pagar bambu sepanjang tiga puluh kilometer di laut. Batang-batang bambu ditancapkan di laut, sehingga keberadaan pagar itu kuat. Meski dihantam ombak: tak akan roboh."
"Untuk apa laut dipagari dan siapa yang memagari?"
"Pertanyaanmu itulah yang mengandung misteri."
"Maksudnya: misteri apa?"
"Laut itu kan tak boleh seenaknya dikavling-kavling, apalagi dipagari, lantaran laut adalah milik negara."
"Iya, saya ngerti undang-undangnya itu. Saya ingin tahu: misterinya di mana?"
"Ok. Setelah masalah keberadaan pagar itu meluas, timbullah pertanyaan: siapa yang sok jagoan yang memagari itu?"
"Sekali lagi: mana misterinya?"
Dani menarik napas. Menikmati kopi dan sepotong pisang goreng. Setelah itu, dia pun bercerita tentang misterinya keberadaan pagar laut.
"Pagar itu menjadi berita menarik di media. Menariknya: benar pagar itu ada. Panjangnya tiga puluh kilometer. Namun: hingga hari ini tak satu pun orang mengaku sebagai pihak yang memagari laut."
"Oh, jadi itulah misterinya?"
"Iya, ada pagar, tapi tak diketahui siapa yang memagari. Juga tak ada yang bertanggung jawab sebagai pembuat pagar. Coba: kurang apa misterinya?"
*
Menjelang kami hendak meninggalkan warkop, saya serius bertanya kepada teman saya Dani. "Menurutmu: untuk apa ada pagar laut itu dan siapa yang memagari?"
"Pemasangan pagar laut sepanjang tiga puluh kilometer itu saya duga dari mereka yang merencanakan mencaplok laut. Mereka hendak menimbunnya. Membangun rumah mewah atau gedung mewah di atasnya. Setelah itu: mereka menjualnya dengan harga mahal."
"Mereka sangat berani mengangkangi aturan-aturan di negeri ini, ya?"
Dani tersenyum. Menepuk pundak saya, lalu berbisik ke telinga saya:
"Mereka berani lantaran punya uang membeli aturan dan pejabat-pejabatnya."
Saya diam. Merenung. Lalu bergumam: "Bung, engkau manusia yang tak bernama itu, manusia pengecut itu, manusia serakah itu, kau boleh membeli aturan dan pejabat di negeri ini, tapi laut TIDAK. Laut, bukan milikmu, Bung! Laut milik: ikan-ikan berenang. *
LEAVE A REPLY