Home Opini Jumat Berkah di Warkop

Jumat Berkah di Warkop

292
0
Social Media Share
Jumat Berkah di Warkop

USAI salat Jumat kemarin: ada info via wa masuk ke hp saya. Seorang seniman di kota saya, kota Makassar, namanya Ram Prapanca mengajak ke sebuah warung legendaris di kota tua ini. Tentu saja saya senang dan akan mengindahkan undangannya. Dalam perjalanan saya membayangkan lezatnya sop rawon, makanan khas warung ini.

Hanya beberapa menit saya sudah tiba. Ternyata bukan hanya saya diundang. Ada juga dua teman. Keduanya juga berprofesi sebagai seniman, namanya: Ishakim dan Bahar Merdu.

Seperti biasa gaya seniman: sambil menikmati makanan lezat, juga terus berbicara dengan berbagai macam cerita menarik yang berujung senyum. Bahkan tawa terbahak.

Kami berempat benar-benar menikmati makan siang ini dengan puas. Ternyata tak hanya sampai di sini. Melihat mangkuk sop sudah bersih, tiba-tiba Ram Prapanca ingin pertemuan ini berlanjut ke tempat lain. Tepatnya di sebuah warung kopi. Mungkin ada sesuatu yang penting ingin disampaikan Ram Prapanca kepada kami bertiga: saya, Ishakim, dan Bahar Merdu.

Tak gampang menentukan warkop yang dituju. Soalnya, Makassar kini, diam-diam, telah tumbuh menjelma menjadi kota warkop, begitu banyaknya warkop di kota ini. Hehe...

Setelah berpikir sejenak, Bahar Merdu mengusulkan sebuah nama warkop. "Warkop itu bagus. Tempatnya tak jauh dari warung sop ini. Namanya Warkop Premium."

Kami pun meninggalkan warung makan legendaris itu. Benar Bahar Merdu, lokasi warkop Premium memang dekat dari tempat kami menikmati sop. Hanya butuh waktu sekira lima menit, kami sudah sampai di Warkop Premium.

*Kongkow-kongkow di sebuah warkop di Makassar. (Foto: Dok)

Tak ada yang penting banget ingin disampaikan Ram Prapanca kepada kami, seperti dugaan saya. Dia mengundang lantaran didasari ingin menikmati kebersamaan: sekadar kongkow-kongkow bersama teman. Tentu saja, hendak berbagi rezeki di hari Jumat berkah ini. Mungkin begitu.

Seperti biasa kalau seniman bertemu: cerita pun bermunculan. Ya, pengalaman-pengalaman dan perjalanan sebagai seniman: sempat menjadi diskusi ringan. "Kopinya gurih dan enak, to?" Bahar Merdu tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan. "Enak banget. Tempatnya juga lapang dan asyik. Saya ingin mengulang ke warkop ini, Bung," jawab saya seketika sembari mengulum senyum. Ram Prapanca dan Ishakim mengangguk sebagai pertanda kopi ini memang gurih dan enak. Tak lama kemudian: seorang cewek manis membawakan sepiring pisang goreng hangat. Cewek itu sempat melemparkan senyum menawan, namun tak berkata-kata, lalu berlalu meninggalkan kami.

Bahar Merdu sempat mengungkapkan pengalamannya saat tinggal di Jakarta, tepatnya di Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Saya menduga di sanalah awal proses kreatifnya sebagai seniman yang terus tumbuh dan kini kian membesar bersama Teater Petta Puang, miliknya. Melihat gaya dan Ungkapan-ungkapannya: Bahar Merdu ini tampaknya memang terpanggil hidup di dunia seni, khususnya seni teater.

Tiba-tiba Ram Prapanca bertanya ke saya: bagaimana proses kreatifnya dalam menulis, baik prosa maupun esai dalam kolom "cermin." Mendapat "pertanyaan serangan yang tak terduga itu", saya pun tersenyum lalu berucap: biasa saja. " Ya, sebagai penulis berbasis realisme sosial: saya terpanggil menulis tema-tema sosial. Misalnya kritik sosial atau peristiwa-peristiwa yang berjejak dalam sejarah. Semua itu bisa dibaca dalam cerpen, cerita bersambung, dan esai-esai saya." Lantaran tak ingin membicarakan tentang dunia kepenulisan saya lebih jauh, saya balik bertanya kepada Ram Prapanca: bagaimana, masihkah ada harapan untuk gelar tertinggi professor-nya? "Entahlah. Kayaknya butuh perjuangan berat. Soalnya, Desember tahun ini saya akan pensiun. Kita lihat saja ke depan. Mohon doanya." "Aamin. Insya Allah," doa saya, seketika. 

Ishakim, dalam kongkow-kongkow, ini lebih banyak nyeletuk-nyeletuk pendek. Mengiyakan pembicaraan. Dia kelihatan serius memerhatikan layar hp-nya. Entah apa yang dilihat. Hanya dia yang tahu. (*)

tengah 1