Home Opini Ketimpangan Fiskal Vertikal dan Horizontal di Sulawesi: Bagaimana di Sulteng?

Ketimpangan Fiskal Vertikal dan Horizontal di Sulawesi: Bagaimana di Sulteng?

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu*)

1,179
0
Social Media Share
Ketimpangan Fiskal Vertikal dan Horizontal di Sulawesi: Bagaimana di Sulteng?

Moh. Ahlis Djirimu, Associate Professor FEB-Untad. FOTO: UDIN SALIM/METROSULAWESI

UNDANG-UNDANG Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) didesain untuk memperkuat desentralisasi fiskal guna mewujudkan pemerataan layanan dan kesejahteraan. Tujuannya adalah pertama, meningkatkan KAPASITAS FISKAL DAERAH meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat, Transfer Berkualitas, Perluasan Akses Pembiayaan. Kedua, meningkatkan KUALITAS BELANJA DAERAH yakni Belanjanya Fokus dan Lokusnya tepat, serta optimal baik sasaran, waktu, mutu dan administrasi. Bukan belanja “hura-hura”. Ada empat pilar Undang-Undang HKPD yakni pertama, Ketimpangan Vertikal dan Ketimpangan Horizontal menurun; Kedua, Penguatan Local Taxing Power; Ketiga, Peningkatan Kualitas Belanja Daerah; Keempat, Harmonisasi Belanja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Satu dari beberapa aspek penting penunjang keberhasilan otonomi daerah adalah pertama, kemandirian fiskal daerah yakni kemampuan daerah mencari sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kreativitas dan inovatif adalah ujung tombaknya, bukan berpangku tangan mengharapkan dana transfer dari Pemerintah Pusat. Dengan kemandirian fiskal, daerah dapat membiayai sendiri pembangunan daerah dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat tanpa tergantung dengan dana transfer dari Pemerintah Pusat. Daerah perlu didorong agar terus mengupayakan kemandirian fiskalnya sejalan dengan penerapan desentralisasi fiskal.

Potensi tax ratio Sulteng yakni rasio antara pajak yang dipungut terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) maupun Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) menurut Kajian Fiskal Regional (KFR), masing-masing 11 persen dan 11,6 persen. Namun, tax ratio tersebut hanya mencapai relatif 2,03 poin dan 2,99 poin sejak 2020. Pulihnya perekonomian Sulteng pasca Covid dapat kembali ke tax ratio 2,58 poin dan 3,86 poin. Artinya, potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak daerah masih belum optimal sebesar 7-8 persen. Hal inilah gagal dioptimalkan oleh Provinsi Sulteng dan 13 kabupaten/kota karena “nyaman” dalam ketergantungan fiskal, nihil kreativitas dan inovasi. Kondisi ini dicapai oleh Provinsi Sulteng dan kabupaten/kota sejak pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Ketergantungan fiskal baik Provinsi Sulteng maupun 13 kabupaten/kota tetap tinggi.

Pada sisi lain, alokasi belanja di sektor produktif dan konsumtif sangat timpang. Rata-rata belanja produktif di Sulteng hanya mencapai 24,59 persen, sebaliknya, belanja di sektor konsumtif mencapai 75,41 persen. Provinsi Sulteng dan Kabupaten Poso, Donggala, Banggai, Parigi Moutong, Sigi dan Kota Palu mempunyai belanja produktif di bawah 24,59 persen. Belanja Produktif Provinsi Sulteng hanya mencapai 20,50 persen, Poso sebesar 21,98 persen, Donggala mencapai 22,67 persen, Banggai sebesar 19,18 persen, Parigi Moutong 21,24 persen, Sigi 23,22 persen dan Kota Palu 24,05 persen. Provinsi Sulteng dan enam daerah ini terperangkap beban belanja pegawai bertahun-tahun. Walaupun Kapasitas Fiskalnya rendah, namun Banggai Laut mempunyai belanja produktif tertinggi di Sulteng mencapai 38,55 persen dan bersama-sama dengan Bangkep mempunyai belanja berkualitas sesuai riset yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu pada Oktober 2023.

Penetapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi momentum penting untuk melakukan reviu kemandirian fiskal daerah, serta melihat sejauh mana tujuan kebijakan otonomi daerah oleh pemerintah telah terwujud. Suatu daerah, dianggap mandiri apabila memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mencari sumber daya keuangan, memiliki fleksibilitas dalam mengelola dan menggunakan dana sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, ciri lainnya adalah daerah mampu meminimalisasi ketergantungan pada transfer dari Pemerintah Pusat melalui optimalisasi PAD sebagai sumber pendanaan utama didukung oleh kebijakan desentralisasi fiskal.

Hasil Riset Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan Tahun 2023 yang penulis ikut terlibat di dalamnya menunjukkan Rata-rata Indeks Kemandirian Fiskal Daerah (IKFD) di regional Sulawesi untuk klaster Pemerintah Provinsi mengalami peningkatan dalam 6 tahun terakhir. Sebagian besar provinsi mengalami peningkatan dalam peringkat kemandirian. Hingga Tahun 2022, satu-satunya provinsi yang masih berada pada kategori Belum Mandiri” adalah Provinsi Sulawesi Barat. Selama 6 tahun terakhir, provinsi ini berada pada kategori Belum Mandiri.

Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan peringkat menjadi “Mandiri” pada Tahun 2022. Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Gorontalo juga mengalami peringkat dari Belum Mandiri menjadi “Menuju Mandiri”. Dalam tiga tahun terakhir, Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Utara tidak mengalami perubahan peringkat kemandirian dan tetap berada pada ketegori “Menuju Mandiri”.

Berdasarkan hasil analisis untuk kategori Kabupaten/Kota, rata-rata Indeks Kemandirian Fiskal Daerah (IKPD) di regional Sulawesi untuk klaster kabupaten/kota mengalami peningkatan yang tipis dalam 6 (enam) tahun terakhir. Sebagian besar kabupaten/kota di regional ini masih berada pada kategori Belum Mandiri. Hanya ada 3 (tiga) pemda yang dapat meningkat menjadi Menuju Mandiri, yaitu Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Morowali, dan Kota Kendari. Kota Manado kembali lagi ke kategori Menuju Mandiri setelah sempat turun ke kategori Belum Mandiri. Kota Makassar menjadi satu-satunya pemda kab/kota di Regional Sulawesi yang berhasil naik ke kategori Mandiri pada Tahun 2022.

Kedua, Kapasitas Fiskal Daerah. Kapasitas Fiskal Daerah (KFD) merupakan kemampuan keuangan daerah yang dilihat dari pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan tertentu setelah dikurangi oleh pendapatan yang penggunaannya sudah ditentukan, belanja tertentu, dan pengeluaran pembiayaan daerah tertentu. Tinggi rendahnya KFD akan menggambarkan besar kecilnya potensi daerah dalam mendanai kegiatan. prioritas dan kemampuan mengakselerasi tercapainya output atau impact kepada masyarakat. Idealnya, daerah dengan KFD tinggi akan menghasilkan belanja yang lebih berkualitas daripada daerah dengan KFD rendah. Mayoritas daerah berada pada Kuadran III (KFD rendah-belanja berkualitas rendah), yaitu sebesar 44,4 persen dari jumlah 81 kabupaten/kota di Regional Sulawesi.

Di Sulawesi Tengah, daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Rendah dan Belanjanya Berkualitas Rendah adalah Pemerintah Provinsi Sulteng, Kabupaten Buol, Donggala, Parigi Moutong, Poso, Sigi, Tojo Una-Una, Tolitoli. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa ketujuh daerah ini plus Provinsi Sulteng identik dengan belum selarasnya Implementasi Perencanaan-Penganggaran? Satu-satunya daerah di Provinsi Sulawesi Tengah yang termasuk dalam kategori Kapasitas Fiskal Tinggi dan Belanja Pembangunan Berkualitas Tinggi adalah Kabupaten Morowali bersama 17 daerah di daratan Sulawesi yakni 10 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Bulukumba, Gowa, Kepulauan Selayar, Luwu, Luwu Timur, Maros, Sidendreng Rappang, Wajo, Toraja Utara, Kota Parepare), 5 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Kolaka, Kolaka Timur, Konawe Kepulauan, Konawe Utara, Kota Kendari), masing-masing 1 daerah di Provinsi Sulawesi Utara (Kota Bitung) dan Sulawesi Barat (Kabupaten Mamuju Tengah). Kota Palu dan Kabupaten Banggai termasuk kategori Kapasitas Fiskal Tinggi, tetapi Belanjanya berkualitas rendah.

Sebaliknya, Kabupaten Banggai Laut dan Banggai Kepulauan termasuk daerah yang Kapasitas Fiskal Rendah, tetapi, Belanjanya Berkualitas Tinggi. Hal ini dapat dideteksi dengan spending review maupun membandingkan antara Penjabaran APBD per OPD dengan Realisasi Penjabaran APBD per OPD. Di Tahun 2022, ketika masa pembangunan Provinsi Sulteng tinggal tiga bulan, Perjalanan Dinas justru dinaikkan dari Rp203,- miliar dalam APBD Provinsi Sulteng Tahun 2022 menjadi Rp266,- miliar dalam APBD Perubahan 2022 atau merepresentasi kenaikan dari 12 persen terhadap APBD menjadi 15 persen terhadap APBD, sebuah sejarah baru ditoreh di Sulteng. Sense of crisis Pemerintah Provinsi Sulteng sangat bias terhadap Indikator Visi atau Indikator Kinerja Utama (IKU) yang mencerminkan kegagalan pembangunan dalam pemerintahan ini yang terukur dari kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, tengkes.

Fenomena ini walaupun disadari oleh Pemerintah Sulteng justru memperparah ketimpangan fiskal horizontal yang tercemin dari Indeks Gini yang merupakan indikator kinerja distribusi pendapatan masyarakat dan Indeks Williamson yang merupakan ketimpangan antar daerah. Target Indeks Gini, mengambil nama dari ekonom Itali Corado Gini (1912) mencapai 0,22 poin pada 2022, turun dari target sebesar 0,24 poin. Memang distribusi pendapatan selalu ditargetkan menurun seperti tingkat kemiskinan dan pengangguran terbuka. Namun realisasinya masih lebih tinggi yakni 0,304 poin pada 2023. Hal ini berarti distribusi pendapatan berada pada kategori moderat yang bermakna bahwa ada 1 persen penduduk Sulteng atau sekitar 30 ribu jiwa menguasai 30,4 persen kekayaan Sulteng.

Ketimpangan pembangunan di Sulteng lebih parah lagi. Indeks Williamson pada 2022 mencapai 1,54 poin naik dari 1,22 poin pada 2021. Angka ini berada di luar interval 0-1 poin. Industri ekstraksi dan biasnya anggaran pada daerah tertentu baik secara parsial per masing-masing Perangkat Daerah maupun melalui kebijakan seperti Bantuan Keuangan Kabupaten memperparah kesenjangan pembangunan. BPS di Tahun 2023 menunjukkan bahwa Pengeluaran Perkapita Disesuaikan atau Purchasing Power Parity (PPP) menunjukkan bahwa PPP nasional lebih tinggi 1,18 kali lipat dari PPP Sulteng.

Sebaliknya, laju kenaikan PPP Sulteng selama periode 2021-2022 mencapai 3,39 persen lebih tinggi ketimbang kenaikan PPP nasional yang hanya mencapai 2,9 persen. Hal ini bermakna, daya beli penduduk Sulteng secara keseluruhan, lebih cepat tergerus ketimbang daya beli penduduk Indonesia oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan atraktivitas Kawasan Industri di Kabupaten Morowali, Morowali Utara dan Banggai. Ujungnya patut diantisipasi pengangguran tenaga terdidik, kerentanan akses dan ketersediaan pangan, maupun penurunan kohesi sosial dapat menjadi masalah serius, yang mengancam 1.842 desa sebagai benteng terakhir pembangunan ekonomi. Jika demikian, maka kontribusi Sulteng dalam perekonomian nasional tidak akan pernah beranjak dari 1,69 persen. Artinya, kekayaan Sulteng yang melimpah, hanya menjadi sasaran empuk pengurasan sumberdaya alam. Sulteng hanya menjadi komprador atau pelayan local capturer yang menimbulkan pertumbuhan membenamkan sebagai konsekuensi bencana lingkungan dan mentalitas proyek instan a-spasial di saat Kapasitas Rendah dan Belanja Tidak Berkualitas.

*) Associate Profesor FEB Universitas Tadulako