Moh. Ahlis Djirimu, Associate Professor FEB-Untad. FOTO: UDIN SALIM/METROSULAWESI
REALISASI Penerimaan Perpajakan melalui KPP Pratama Kabupaten Tolitoli mencapai Rp314.401.200.405,- lebih rendah ketimbang realisasi bulan yang sama pada 2023 yang mencapai Rp343.546.914.554,- atau laju pertumbuhannya mencapai -8,48 persen. Rendahnya realisasi ini patut dikaji letak masalahnya, karena jumlah penduduk bertambah, obyek pasti yang dikenai pajak dan restribusi juga bertambah. Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas pada sub komponen PPh Pasal 22 pada September 2024 mencapai Rp598.625.342.179,- lebih rendah ketimbang realisasi pada September 2023 mencapai Rp638.337.299.736,- atau capaiannya menurun sebesar -6,82 persen. Demikian pula kontribusi terkecil sub komponen ini mencapai 0,30 persen. Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas pada sub komponen PPh Pasal 26 pada September 2024 mencapai Rp41.936.014.136,- lebih tinggi sedikit ketimbang realisasi pada September 2023 mencapai Rp40.123.486.602,- atau capaiannya sebesar 4,52 persen. Hasil ini merupakan capaian paling rendah dari Sembilan komponen PPh Non-migas yang pada periode sebelumnya yakni Agustus 2023-Agustus 2024 negatif. Pada Pajak Pertambahan Nilai (PPn), sub komponen Pajak Pertambahan Barang Mewah Impor (PPnBM Impor) belum terealisasi hingga September 2024. Adapun realisasi sampai dengan 2023 mencapai Rp1.577.838,- Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah Dalam Negeri (PPnBM DN) mengalami penurunan pada realisasi sampai dengan September 2024 mencapai Rp439.562.126,- lebih rendah dari realisasi sampai dengan September 2023 mencapai Rp477.830.528,- atau mengalami penurunan -8,01 persen. Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri Ditanggung Pemerintah (PPn DN DTP) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPn BM DTP) belum menunjukkan realisasi sejak September 2023 sampai dengan September 2024. Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sampai dengan September 2024 mencapai Rp123.232.810.249,- lebih rendah dibandingkan realisasi sampai dengan periode yang sama pada September 2023 yang mencapai Rp128.390.876.051,- atau mengalami penurunan sebesar -4,02 persen. Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas sampai dengan September 2024 mencapai Rp44.371,- Sedangkan realisasi sampai dengan September 2023 mencapai Rp4.540.938,- atau mengalami penurunan sebesar 99,02 persen. Hal ini tidak berubah dari realisasi sampai dengan Agustus 2024.
Struktur perekonomian Sulteng per 30 September 2024 belum mengalami perubahan berarti yakni didominasi oleh Sektor Industri Pengolahan mencapai 51,52 persen menurun sedikit dibandingkan Agustus 2024 yang mencapai 53,37 persen dan memberikan kontribusi Penerimaan Perpajakan meningkat dari Rp2,82,- triliun dari September 2023 menjadi Rp3,98,- triliun pada September 2024 atau terjadi peningkatan sebesar 40,83 persen dan laju pertumbuhan rata-rata pertahun sejak September 2023 mencapai 2,91 persen. Laju pertumbuhan ini menduduki posisi kedua setelah laju pertumbuhan Sektor Real Estat mencapai 153,95 persen. Namun, atraktivitas Sektor Industri Pengolahan ini dibarengi oleh kontribusi rendah Sektor Pertanian yang hanya mencapai 1,38 persen dan sumbangsih dalam Penerimaan Perpajakan meningkat dari Rp95,76,- miliar pada September 2023 menjadi Rp106,48,- miliar pada September 2024. Pada sisi teoretis, hal ini merupakan fenomena biasa dalam transformasi ekonomi pada istilah proses alokasi seperti dijelaskan oleh Hollish Chenery-Moshes Syrquin dalam the Pattern of Development: 1950-1970. Namun, karena penduduk Sulawesi Tengah 70 persen tinggal di perdesaan dan bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan, maka menjadi masalah dalam strategi pembangunan pada daerah yang kaya sumberdaya alam.
Pada periode September 2024, penerimaan Bea dan Cukai pada Satuan Kerja KPPBC TMP C Luwuk baru mencapai Rp54,75,- miliar atau proporsinya baru mencapai 32,73 persen dari target Rp176,42,- miliar. Hal ini patut dikaji akar permasalahannya. Komoditas yang menyumbang penerimaan Bea Masuk terbesar berasal dari Perabotan Rumah Tangga dengan proporsi sebesar 48,32 persen, walaupun pertumbuhannya menurun 10,73 persen year-on-year, diikuti Barang dari Besi dan Baja sebesar 16,71 persen, walaupun menurun pertumbuhannya sebesar 1,34 persen year-on-year, dan barang elektronik sebesar 11,73 persen, yang meningkat 113,68 persen year-on-year. Komoditi yang juga mengalami penurunan penerimaan bea masuk adalah mesin dan kenderaaan bukan kereta yang pertumbuhannya menurun masing-masing -7,13 persen dan -4,81 persen, serta penerimaan Bea Masuk dari Bahan Bakar Bukan Mineral yang baru mencapai Rp17,88,- juta pada September 2024 jauh lebih rendah ketimbang penerimaan Bea Masuk pada September 2023 mencapai Rp135,34,- juta atau turun sebesar -86,79 persen. Penerimaan terbesar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sampai dengan September 2024 mencapai Rp816,6,- miliar atau pertumbuhannya 7 persen year-on-year. Penerimaan PNBP tersebut terbagi atas Penerimaan PNBP Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp322,24,- dan PNBP lainnya sebesar Rp494,24,- miliar. Penerimaan PNBP BLU didominasi oleh Pendapatan Jasa Pelayanan Pendidikan sebesar Rp266,67,- miliar atau proporsinya 33 persen pada Kementerian Diktisainstek, disusul oleh Kemenhub sebesar Rp148,78,- miliar yang utamanya ditopang dari pendapatan jasa kepelabuhanan, serta Penerimaan Izin Keimigrasian dan Izin Masuk Kembali Rp111,- miliar yang dipungut oleh Kemenkum dan HAM. Hal yang perlu menjadi catatan adalah Pendapatan BLU yang bersumber dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi PNBP dominan di Universitas Tadulako yang belum terdiversifikasi menjelang Universitas Tadulako menuju PTN Badan Hukum. Sumber dana tunggal akan menjadi tantangan bagi Universitas Tadulako melaksanakan otonomi perguruan tinggi dengan mengoptimalkan potensi dan asset yang ada.
Pada realisasi I-Account Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sulteng per September 2024, terdapat kontraksi pada beberapa komponen pendapatan, terutama pada penerimaan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan realisasinya masih kecil yakni mencapai Rp0,01,- miliar. Sayangnya, komponen PAD ini menjadi andalan utama Pemerintah Provinsi Sulteng yang jelas jauh di bawah target. Per September 2024, harga-harga kembali menunjukkan inflasi (month-to-month) sekitar 0,07 persen. Inflasi dalam tingkat yang terkendali berimplikasi bahwa harga yang diterima pelaku usaha lebih tinggi sehingga dapat menjaga keberlangsungan usaha. Inflasi tahunan Sulteng tercatat sebesar 2,15 persen dan year to date sekitar 0,96 persen. Komoditas ikan cakalang, ikan kembung, dan jasa perguruan tinggi penyumbang terbesar inflasi bulanan di bulan September. Harga beras Sulteng tercatat sama dengan harga pada bulan lalu. Peningkatan harga secara bulanan (per September) terpantau terjadi di Kota Palu (0,06 persen), Kota Luwuk (0,8 persen mtm), dan Kabupaten Tolitoli (0,28 persen) di kawasan Sulawesi Tengah. Deflasi yang terjadi berurutan sampai dengan Juli 2024 ini menunjukkan ada pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Ini akan berbahaya bagi Indonesia karena the Chilian Paradox dapat terjadi yang dapat menimbulkan distrust pada masyarakat yang dapat meruntuhkan pemerintahan seperti pada Bangladesh dan Srilangka. Penerimaan PAD Se-Sulawesi Tengah mencapai Rp2,37 T hingga akhir September 2024 yang sebagian besar ditopang oleh pendapatan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (Pem. Provinsi) dan Pendapatan BLUD (Pem. Kab/Kota).
Pemerintah Sulteng, di samping memiliki potensi sumber daya alam, perikanan, pertanian dan perkebunan yang dimiliki, Sulteng juga memiliki potensi bencana yang besar. Bencana hidrometerologi seperti banjir dan longsor merupakan akibat dari berkurangnya fungsi hutan (https://sulteng.antaranews.com/berita/131416/bencana-alam-di-sulteng-fenomena-alam-atau-hutan-rusak). Data yang dipublikasikan mapbiomas Indonesia menunjukkan selama 20 tahun (2000 – 2019), Provinsi Sulawesi Tengah sudah kehilangan hutan seluas 296.819 hektar (https://platform.indonesia.mapbiomas.org/). Dengan demikian, rata-rata hutan di Sulteng berkurang seluas 14.841 hektar per tahun. Jika kita membandingkan dengan luas lapangan sepak bola, maka hutan di Sulawesi Tengah setiap tahunnya berkurang sebanyak ± 18.000 lapangan sepak bola setiap tahunnya.
Berkurangnya fungsi hutan di atas menyebabkan bencana hidrometerologi yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Contoh kasus, banjir yang terjadi di Desa Beka Kabupaten Sigi pada bulan Maret 2021 terdapat 255 rumah yang terendam banjir, kerusakan badan jalan seluas +800 meter tertimbun material longsoran dan lumpur, 1 unit kantor desa, 1 unit Gedung sekolah dan 1 unit masjid (https://sda.pu.go.id/balai/bwssulawesi3/berita/read/penanganan-banjir-bandang-di-desa-beka-kab-sigi-prov-sulawesi-tengah). Bencana banjir tidak hanya terjadi di Kabupaten Sigi, tetapi juga terjadi di Kabupaten/Kota Palu, Donggala, Parigi Moutong, Poso, Tojo Una-Una, Tolitoli, Buol, Morowali, Morowali Utara, Banggai, Banggai Laut, dan Banggai Kepulauan. Kebutuhan pada Produk Domestik Regional Bruto Hijau (PDRB Hijau) mendesak yang dapat bekerjasama dengan BPS Sulteng untuk menghitung PDRB setelah melalui valuasi ekonomi diperkurangkan dengan bencana dan kerusakan lingkungan akibat bencana tahunan yang melanda Sulteng. Laju pertumbuhan ekonomi Sulteng tentu saja tidak setinggi 9,08 persen pada kuartal III 2024. Namun demikian, perhatian pada Ekonomi Hijau dan Ekonomi Sirkuler, serta Bioekonomi dapat menjadi tradisi baru di Sulteng dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim yang sayang di Tahun 2023, dua kabupaten di Sulteng memperoleh Belanja Pemerintah Pusat (BPP-APBN) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim sebesar Rp6,9,- miliar dan Kota Palu mendapatkan Rp49,1,- miliar, serta Provinsi Sulteng memperoleh Rp71,7,- miliar. Sebagian besar BPP tersebut terserap pada belanja sektor agrikultur non modal. Parahnya, 23,6 persen BPP tersebut habis untuk Perjalanan Dinas terhadap Belanja Barang. Dukungan BPP terlalu terpusat pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura menyebabkan kelemahan pada besarnya “Belanja Hore-Hore”, sehingga Pemerintah Pusat menggeser Belanja Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim pada Belanja Transfer ke Daerah (TKD) yang fokus pada Belanja Rehabilitasi Kerusakan akibat industri ekstraktif dan penguatan kualitas belanja modal penunjang sektor pertanian termasuk dalam kepastian capaian outcome atas belanja yang terealisasikan. Hal inilah yang dapat menimbulkan distrust pada Pemerintah Provinsi Sulteng di masa datang dan perilaku perangkat daerah ini menafikkan cita-cita Conference on Parties (COP) 29 Perubahan Iklim tahunan yang berlangsung 11-22 November 2024 di Baku, Azerbaijan.
*) Pengajar FEB-Untad dan Local Expert Sulteng merangkap Regional Expert Sulawesi Kemenkeu R.I
LEAVE A REPLY