Moh. Ahlis Djirimu, Associate Professor FEB-Untad. FOTO: UDIN SALIM/METROSULAWESI
RAPAT Asset & Liabilities Committee (ALCo) Regional Sulawesi Tengah Juli 2024 Kementrian Keuangan atas realisasi APBN dan APBD sampai dengan 30 Juni 2024 menunjukkan adanya beberapa catatan penting yang patut mendapat perhatian dari sisi realisasi pencapaian target. Usaha ini merupakan indikator kinerja keuangan yang memutar roda perekonomian Provinsi Sulawesi Tengah yang tercermin dari kinerja Sektor Administrasi Pemerintahan.
Separuh Target APBN Tercapai di Sulteng
Target Pendapatan Negara dalam APBN Regional Sulteng pada 2024 mencapai Rp11.489,- miliar (Rp11,49,- triliun). Realisasinya hingga Juni 2024 mencapai Rp5.522,2,- miliar (Rp5,52,- triliun) atau proporsinya mencapai 48,07 persen. Hal ini didukung oleh realisasi Penerimaan Pajak mencapai Rp5.045,2,- miliar atau proporsinya mencapai 46,42 persen dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp476,90,- miliar atau proporsinya mencapai 76,83 persen.
Sebaliknya, target Belanja Negara di Provinsi Sulteng mencapai Rp25.695,7,- miliar atau Rp25,70,- triliun yang realisasinya pada Juni 2024 mencapai Rp11.955,90,- miliar atau proporsinya mencapai 46,53 persen. Belanja terbesar dalam Belanja Pemerintah Pusat (BPP) yang ditargetkan mencapai Rp7.371,1,- miliar yang realisasinya mencapai Rp3.624,40 miliar pada Juni 2024. Proporsi terbesar BPP tersebut adalah Belanja Barang yang targetnya mencapai Rp3.234,7,- miliar yang realisasinya sampai dengan Juni 2024 mencapai Rp1.625,30,- miliar atau proporsinya mencapai 50,24 persen. Belanja Pegawai menempati posisi kedua dalam BPP yang targetnya mencapai Rp2.623,7,- yang realisasinya mencapai Rp1.506,40,- miliar atau proporsinya mencapai 57,41 persen. Pada sisi Belanja Barang, kenaikan ini dorong oleh adanya kegiatan Administrasi Pemerintahan yang menempati posisi ketiga Penerimaan Perpajakan dan posisi ketiga kontribusinya dalam PDRB, selain kegiatan persiapan Pilkada pada 27 November 2024.
Transfer ke daerah di Tahun 2024 ditargetkan mencapai Rp18.324,6,-. Realisasinya hingga Juni 2024 mencapai Rp8.331,50,- miliar atau proporsinya mencapai 45,47 persen. Dana pembangunan tersebut mencakup pertama, Dana Perimbangan ditargetkan mencapai Rp16.741,7,- miliar. Adapun realisasinya mencapai Rp7.397,60,- miliar atau proporsinya mencapai 44,19 persen. Kedua, Dana Insentif Daerah (DID) mencapai Rp63,7,- miliar yang realisasinya hingga Juni 2024 mencapai Rp31,90,- miliar atau proporsinya mencapai 50 persen. Ketiga, Dana Desa ditargetkan mencapai Rp1.519,1,- miliar yang realisasinya hingga Juni 2024 mencapai Rp902,- miliar atau proporsinya realisasinya pada Juni 2024 telah mencapai 59,38 persen. Dalam komponen pertama yakni Dana Perimbangan, terdapat Komponen Dan Alokasi Khusus (DAK) Fisik yang anggarannya mencapai Rp1.655,4,- miliar yang pada April 2024 belum terealisasi menunggu Petunjuk Tehnis yang akan dikeluarkan oleh Kementrian Tehnis, namun, pada Juni 2024 DAK Fisik telah terealisir sebesar Rp157,20,- miliar atau proporsinya mencapai 9,5 persen. Pada Juni 2024, target DAK Non Fisik mencapai Rp2.106,9,- miliar, hingga 30 Juni 2024 terealisasi mencapai Rp1.046,20,- miliar atau proporsinya mencapai 49,65 persen. DBH ditargetkan sebesar Rp2.890,4,- miliar, yang realisasinya per 30 Juni 2024 mencapai Rp1.204,80,- atau proporsinya mencapai 41,68 persen. Sedangkan DAU ditargetkan sebesar Rp10.089,- miliar yang realisasi per 30 Juni 2024 mencapai Rp4.989,40,- atau proporsinya mencapai 49,45 persen.
Kontribusi Penerimaan terbesar dan proporsinya dominan berasal dari Sektor Industri Pengolahan yang pada Juni 2024 mencapai Rp2.712,31,- miliar (Rp2,71,- triliun) meningkat dari Juni 2023 yang mencapai Rp1.849,77,- miliar (Rp1,85,- triliun) atau terjadi kenaikan sebesar 3,24 persen. Dibandingkan dengan periode Mei 2023-Mei 2024, maka pada Mei 2024, kontribusi sektor industri pengolahan mencapai Rp2.285,92,- miliar (Rp2,29,- triliun) meningkat dari Rp1.496,65,- miliar (Rp1,50,- triliun) atau terjadi kenaikan sebesar 3,59 persen. Hal ini berarti Penerimaan Negara dari Sektor Industri Pengolahan pada periode Juni 2023-Juni 2024 lebih rendah ketimbang periode Mei 2023-Mei 2024 dalam struktur 10 sektor yang memberikan Penerimaan Pajak di Provinsi Sulteng.
Kontribusi Sektor Industri Pengolahan dalam struktur PDRB Sulawesi Tengah mencapai 53,37 persen terbesar pertama. Laju pertumbuhan industri pengolahan mencai 46,63 persen Selanjutnya, dominasi Sektor Industri Pengolahan tersebut diikuti oleh Penerimaan Negara dari Sektor Perdagangan Besar dan Eceran yang pada Juni 2024 mencapai Rp703,23,- miliar meningkat dari Juni 2023 sebesar Rp573,89,- miliar atau terjadi peningkatan sebesar 1,71 persen. Kenaikan tersebut lebih tinggi dari periode Mei 2024 mencapai Rp571,98,- miliar atau meningkat dari Rp484,84,- miliar pada Mei 2023 atau terjadi peningkatan sebesar 1,39 persen. Laju pertumbuhan Sektor Perdagangan Besar dan Eceran 22,54 persen. Kedua sektor ini sepatutnya memberikan dampak ganda bagi perekonomian Sulteng asalnya sifatnya menyerap banyak tenaga kerja. Namun, adanya hilirisasi nikel hanya memberikan nilai tambah kurang berarti pada perekonomian Sulteng karena Kawasan industri bersifat padat modal. Nikel relatif belum mendatangkan manfaat apa-apa bagi perekonomian Sulteng. Hilirisasi patut dibarengi industrialisasi. Namun, hilirisasi justru melahirkan saudara kembar industrialisasi yakni urbanisasi dan migrasi menuju Kabupaten Morowali dan Morowali Utara sehingga menimbulkan nihilisasi penciptaan lapangan kerja, brain-drain, brain-loss, backwash effect dan menimbulkan degradasi lingkungan pesisir Teluk Tomori dan Teluk Tolo, serta menimbulkan immiserizing growth di Sulteng. Kontribusi Sulteng dalam perekonomian nasional hanya mencapai 1,64 persen dan perekonomian Sulawesi mencapai 23,87 persen dan relatif nyaris tidak berubah.
Sektor ketiga yang memberikan kontribusi Penerimaan Perpajakan Tertinggi yaitu Sektor Administrasi Pemerintahan yang Penerimaan Perpajakannya meningkat dari Rp388,21,- miliar pada Juni 2023 menjadi Rp469,44,- miliar pada Juni 2024 atau terjadi kenaikan sebesar 1,60 persen. Pada periode Mei 2023-Mei 2024, kontribusi sector ini dalam Penerimaan Negara meningkat dari Rp294,18,- miliar pada Mei 2023 meningkat menjadi Rp359,56,- miliar atau terjadi peningkatan 1,69 persen. Kenaikan pada Juni 2023-Juni 2024, justru lebih rendah dari kenaikan pada periode Mei 2023-Mei 2024. Kegiatan administrasi pemerintahan yang kegiatannya fokus di dalam wilayah Sulawesi Tengah menjadi pendorong perputaran perekonomian Sulteng khusus di sektor rumah tangga, usaha swasta, belanja pemerintah sehingga diusahakan betul agar capital inflow menjadi pendorong peningkatan kegiatan ekonomi ketimbang capital outflow seperti perjalanan dinas keluar Sulteng yang justru menjadi pendorong positif kegiatan ekonomi daerah yang memang sudah maju seperti Daerah Khusus Jakarta, Bali. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kontribusi ekonomi Sulteng stagnan pada 1,64 persen dalam perekonomian nasional walaupun, Kawasan industri berbasis logam dasar sangat atraktif di Morowali dan Morowali Utara. Laju pertumbuhan Sektor Administrasi Pemerintah selama Juni 2023-Juni 2024 mencapai 20,92 persen, lebih rendah ketimbang periode Mei 2023-Mei 2024 mencapai 22,22 persen.
Sektor penyumbang keempat Penerimaan Negara adalah Sektor Pertambangan dan Penggalian. Penerimaan negara dari sektor ini meningkat dari Rp191,67,- miliar pada Juni 2023 menjadi Rp223,01,- miliar pada Juni 2024 atau terjadi peningkatan Penerimaan Negara dari sektor ini sebesar 1,27 persen. Dibandingkan dengan periode Mei 2023-Mei 2024, maka Penerimaan Negara dari Sektor Pertambangan dan Penggalian mencapai Rp185,35,- miliar pada Mei 2024 meningkat dari Rp111,64,- miliar pada Mei 2023 atau terjadi kenaikan sebesar 4,32 persen. Hal ini berarti laju kenaikan Penerimaan Sektor ini pada periode Mei 2023-Mei 2024 lebih tinggi dari laju kenaikan Penerimaan Negara periode Juni 2023-Juni 2024. Laju pertumbuhan sektor ini mencapai 16,35 persen, merupakan laju pertumbuhan tertinggi kedelapan setelah Sektor Real Estat sebesar 246,33 persen, Sektor Industri Pengolahan sebesar 46,63 persen, Transportasi dan Pergudangan sebesar 32,01 persen, setingkat di bawah Sektor Jasa Keuangan Lainnya yang laju pertumbuhannya mencapai 19,76 persen.
Ilusi Fiskal dan Realisasi Target APBD di bawah Sepertiga
Target Total Pendapatan Daerah di Provinsi Sulteng mencapai Rp24.887,36,- miliar (Rp24,89,- triliun) di Tahun 2024. Realisasi Pendapatan Daerah sampai dengan Juni 2024 mencapai Rp6.750,56,- miliar (Rp6,75,- triliun) atau proporsinya mencapai 27,12 persen. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditargetkan mencapai Rp4.455,21,- miliar, namun realisasinya hingga Juni 2024 hanya Rp673,19,- atau proporsinya mencapai 15,11 persen. Dalam komponen PAD tersebut terdapat pertama, Pajak Daerah yang ditargetkan mencapai Rp2.559,4,- miliar. Namun, realisasinya hingga Juni 2024 baru mencapai Rp455,56,- miliar atau proporsinya mencapai 17,80 persen. Kedua, Retribusi Daerah yang ditargetkan mencapai Rp487,31,- miliar, namun, realisasinya baru mencapai Rp116,26,- miliar atau proporsinya mencapai 23,86 persen. Ketiga, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan yang di dalam RPJMD oleh Gubernur menjadi andalan PAD yang ditargetkan mencapai Rp278,90,- miliar, pada Juni 2024 terealisasi hanya sebesar Rp0,03,- miliar atau proporsinya baru mencapai 0,01 persen. Mesin uang Provinsi Sulteng melalui PT. Pembangunan Sulteng sulit diharapkan dan sangat ironis karena selama periode 2010-2019, PT. Pembangunan Sulteng memperoleh suntikan dana APBD sebesar Rp372,72,- miliar berbanding terbalik dengan kinerjanya. Keempat, PAD yang Sah ditargetkan mencapai Rp1.129,6,- miliar (Rp1,13,- triliun). Realisasinya mencapai Rp101,35,- miliar atau proporsinya mencapai 8,97 persen.
Komponen Pendapatan Transfer ditargetkan mencapai Rp20.243,5,- miliar (Rp20,24,- triliun), namun, realisasinya hingga Juni 2024 baru mencapai Rp6.065,41,- miliar atau proporsinya baru mencapai 29,86 persen. Komponen Lain-Lain kekayaan Daerah yang Sah ditargetkan mencapai Rp186,62,- miliar, namun, realisasinya baru mencapai Rp31,76,- miliar atau proporsinya mencapai 17,02 persen.
Belanja Daerah ditargetkan mencapai Rp26.580,12,- miliar. Realisasinya pada Juni 2024 baru mencapai Rp6.849,75,- miliar atau proporsinya mencapai 25,77 persen. Belanja tersebut didominasi oleh sub komponen Belanja Operasi yang ditargetkan mencapai Rp18.409,59,- (Rp18,41,- triliun), namun, realisasi Belanja Operasi baru mencapai Rp5.598,63,- miliar (Rp5,60,- triliun) atau proporsinya baru mencapai 30,41 persen. Dalam Belanja Operasi ini, terdapat Belanja Pegawai yang ditargetkan mencapai Rp9.890,78,- miliar (Rp9,89,- triliun), namun, realisasinya hingga Juni 2024 baru mencapai Rp3.741,46,- miliar dari target Belanja Pegawai mencapai Rp9.890,78,- miliar atau proporsinya mencapai 37,83 persen. Belanja Barang dan Jasa menempati posisi kedua terbanyak yang ditargetkan mencapai Rp7.164,55,- miliar. Hingga Juni 2024, realisasi belanja ini baru mencapai Rp1.390,22,- miliar atau proporsinya mencapai 19,40 persen. Belanja Hibah berada pada posisi ketiga yang ditargetkan mencapai Rp1.222,74,- miliar (Rp1,22,- triliun). Realisasinya hingga Juni 2024 mencapai Rp442,22 atau proporsinya baru mencapai 36,17 persen. Belanja Bantuan Sosial ditargetkan mencapai Rp117,- miliar, namun realisasinya baru mencapai Rp17,68,- miliar atau proporsinya baru mencapai 15,11 persen.
Komponen kedua dalam Belanja Daerah adalah Belanja Modal yang pada Tahun 2024 ditargetkan mencapai Rp4.563,- miliar (Rp4,56,- triliun). Realisasinya hingga Juli 2024 baru mencapai Rp589,24,- miliar atau proporsinya mencapai 12,91 persen. Komponen ketiga dalam Belanja Daerah adalah Belanja Tidak Terduga yang ditargetkan mencapai Rp113,77,- miliar. Realisasinya hingga Juni 2024 mencapai Rp8,29,- miliar atau proporsinya mencapai 7,29 persen. Komponen keempat dalam Belanja Daerah adalah Belanja Transfer yang ditargetkan mencapai Rp3.493,76,- miliar (Rp3,49,- triliun). Realisasinya hingga Juni 2024 baru mencapai Rp653,58,- miliar atau proporsinya mencapai 18,71 persen.
Pagu defisit di Tahun 2024 mencapai minus Rp1.692,77,- miliar. Realisasinya hingga Juni 2024 mencapai minus Rp99,19,- miliar atau realisasi defisit mencapai 5,86 persen. Pagu pembiayaan ditargetkan mencapai Rp1.692,77,- miliar. Realisasinya hingga Juni 2024 mencapai Rp48,85,- miliar atau proporsinya mencapai 2,89 persen. Jumlah tersebut seluruhnya merupakan Penerimaan Pembiayaan. Sedangkan Pengeluaran Pembiayaan yang ditargetkan mencapai Rp129,5,- miliar pada 2024. Pada Juni 2024 terealisasi sebesar Rp16,21,- miliar atau proporsinya baru mencapai 12,52 persen, sehingga Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SIKPA) mencapai minus Rp50,34,- miliar.
Kinerja Fiskal oleh Kurang Bayar
Dalam konteks Provinsi Sulteng, bila PDRB meningkat 1 persen, maka PAD meningkat lebih besar dari kenaikan PDRB yakni mengalami kenaikan 1,7 sampai dengan 1,85 persen. Seharusnya, proyeksi PAD dibuat dalam bentuk target yang akan dicapai sebesar 1,7-1,85 persen. Bukan diturunkan targetnya menjadi hanya 1 persen karena dengan menurunkan target 1 persen, maka Badan Pendapatan daerah (Bapenda) Sulteng tidur pun, PAD pasti masuk ke kas daerah. Kedua, meningkatkan Kualitas Belanja Daerah yakni Belanjanya Fokus dan Lokusnya tepat, serta optimal baik sasaran, waktu, mutu dan administrasi. Jadi, jika PAD Sulteng naik dari Rp900,- miliar menjadi sekitar Rp2,- triliun, hal ini memang merupakan hasil proyeksi dalam Bab III RPJMD Sulteng Periode 2021-2026.
Delapan asumsi dalam RPJMD Sulteng Tahun 2021-2026 bila dijalankan, maka semua target PAD dapat tercapai bahkan terlampaui seperti diskursus berulang-ulang gubernur. Target PAD Rp1,94,- triliun di Tahun 2023 memang tercapai sesuai dengan target dalam RPJMD. Adapun target tersebut terlampaui capaiannya karena memang di dalam target RKPD diturunkan tidak selaras dengan target RPJMD. Hal ini dilakukan supaya targetnya melampaui. Dengan target seperti ini yakni target tanpa latar belakang historis empiris menetapkannya, maka tanpa bekerja pun, Badan Pendapatan Daerah akan menerima pemasukan dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Bila target dalam RPJMD yang telah dihitung sesuai pendekatan historis empiris, maka Bapenda tidak dapat lagi bekerja berdasarkan Business as Usual atau biasa-biasa saja, tetapi perlu kreatif dan inovatif dalam berpikir dan bekerja. Hal inilah yang tidak terjadi saat ini sehingga fenomena ini sampai kapanpun daerah ini nyaman bergantung pada dana Transfer ke Daerah (TKD). Sepatutnya, di Tahun 2024, target PAD sebesar Rp2,42,- triliun yang terdiri dari Rp1,9,- triliun berasal dari Pajak Daerah dan Rp25,86,- miliar berasal dari Retribusi Daerah. Di Tahun 2025, target PAD sebesar Rp3,08,- triliun yang terdiri dari Pajak Daerah sebesar Rp2,38,- triliun dan Retribusi Daerah Rp30,26,- miliar, serta Target PAD pada 2026 sebesar Rp3,89,- triliun yang terdiri dari Rp2,96,- triliun Pajak Daerah dan Rp35,42,- miliar. Diskursus Gubernur tentang kinerja fiskal mencengangkan hanyalah ilusi semata dan kebanggaan semu yang pernah juga dicapai oleh pemerintahan sebelumnya. Logika fiskal membuktikan bahwa kinerja tersebut hanyalah kinerja kurang bayar pada Pemerintah Provinsi Sulteng dan target yang direndahkan. Pembuktiannya, cukup melihat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran atau Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SILPA/SIKPA) atau bila lebih sabar dapat membedah dan membandingkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Penjabaran APBD per OPD dengan Realisasi Penjabaran APBD per OPD, sehingga Gubernur dalam setiap diskursus tidak lagi disuguhi informasi asimetris yang dapat menimbulkan “pembodohan struktural”, bagi yang paham regulasi dan implementasinya.
Langkah-langkah yang ditempuh sepatutnya adalah, pertama, mendorong Pemerintah Provinsi Sulteng melalui Bappeda, Bapenda dan BPKAD memperkuat sinkronisasi perencanaan dan penganggaran transfer ke daerah yang meliputi DBH, DAU, DID dan Dana Desa, maupun sumber dana Transfer Fiskal Lingkungan bagi daerah penjaga lingkungan, serta memperhatikan alokasi belanja Kementerian/Lembaga. Beberapa daerah di Indonesia saat ini seperti Kaltara dan Kaltim lebih mengandalkan insentif lingkungan, hibah konservasi, SDGs One, hibah dunia karena menjaga paru-paru dunia, serta mengalokasikan anggaran bagi Pooling Fund Asuransi Bencana (PFAB); Kedua, kebangkitan ekonomi nasional sedikit lebih rendah daripada asumsi Bappenas dengan implikasi perkembangan DAU dan DAK normal. Dinamika DAK yang diemarked atau bermerek menjadi tantangan bagi daerah menunjukkan kinerja pengelolaan keuangan dan azas manfaat maupun multiplier effectnya supaya tidak menciptakan “BELANJA HURA-HURA” dan menciptakan idle money atau dana mengendap yang selalu dibelanjakan melalui Perjalanan Dinas mendekati waktu tutup tahun kalender; Ketiga, kembali pada proyeksi melalui elastisitas pertumbuhan PDRB berkisar 1,7 poin sampai dengan 1,85 poin akan mendorong Bapenda akan berpikir, berkreasi dan berinovasi mencari dan mengoptimalkan sumber PAD. Angka ini bermakna, setiap kenaikan 1 persen PDRB, akan diikuti dengan kenaikan 1,7 sampai dengan 1,85 persen PAD. PAD pasti meningkat karena jumlah penduduk pasti meningkat, sehingga wajib pajak yang dikenakan Pajak Daerah akan semakin banyak juga. Penduduk pasti berbelanja di waralaba dan super market semakin banyak yang tentunya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penghasilan (PPh).
*) Penulis adalah Associate Professor FEB-Untad
LEAVE A REPLY