
PERLOMBAAN kecerdasan buatan (AI) semakin sengit. Baru-baru ini, China meluncurkan model AI terbaru bernama DeepSeek, yang dikembangkan dengan biaya jauh lebih murah dibandingkan ChatGPT dari OpenAI.
Yang mengejutkan, pengembangan DeepSeek hanya menelan biaya sekitar 90 miliar rupiah, atau sekitar sepuluh kali lebih murah dibandingkan pengembangan ChatGPT. Meskipun murah, kemampuannya diklaim relatif setara dengan model AI open AI Amerika.
Fakta ini menunjukkan bahwa inovasi adalah kunci dalam kompetisi AI global. China berhasil mengembangkan AI canggih meskipun menghadapi hambatan besar, seperti larangan ekspor chip canggih dari Amerika Serikat. Tapi mereka tidak menyerah.
Alih-alih bergantung pada chip tercanggih, mereka memanfaatkan hardware yang lebih sederhana dan murah tetapi tetap mampu menopang model AI yang kompetitif.
Dari sini, muncul pertanyaan besar: Jika China bisa mengembangkan AI dengan biaya terjangkau, mengapa Indonesia tidak?
Indonesia dan Potensi AI: Mampukah Kita?
Dengan angka 90 miliar rupiah, sebenarnya Indonesia punya potensi besar untuk mengembangkan AI sendiri. Jumlah ini bukan angka yang mustahil dikumpulkan, bahkan dalam lingkup organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Jika kedua organisasi ini mau mengumpulkan para pakar AI, membangun infrastruktur, serta berinvestasi pada riset dan pengembangan, bukan tidak mungkin kita bisa memiliki AI buatan Indonesia yang setara dengan ChatGPT atau DeepSeek.
Lantas, mengapa kita belum melihat gebrakan besar di bidang AI? Jawabannya adalah kurangnya visi strategis dan keberanian untuk berinvestasi dalam teknologi mutakhir. Indonesia memiliki banyak pakar AI, ilmuwan data, dan insinyur perangkat lunak yang tersebar di dalam dan luar negeri. Namun, hingga kini, belum ada inisiatif besar yang benar-benar serius dalam membangun AI tingkat tinggi di dalam negeri.
Salah satu organisasi yang memiliki potensi besar untuk memimpin inisiatif ini adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Korps Alumni HMI (KAHMI).
Dies Natalis HMI ke-78: Tantangan Besar untuk HMI dan KAHMI
Pada 5 Februari, HMI merayakan Dies Natalis ke-78. Ini adalah momentum penting untuk menantang para sumber daya terbaik HMI dan KAHMI agar tidak sekadar menjadi penonton dalam revolusi AI, tetapi turut berperan aktif sebagai pencipta teknologi.
Selama ini, HMI dan KAHMI sering diejek hanya mampu membuat media sosial atau website, tetapi tidak mampu mengisinya dengan informasi dan tulisan berkualitas.
Bahkan, dalam dunia digital, mereka dianggap belum memiliki inovasi besar yang bisa dibanggakan.
Oleh karena itu, pada peringatan 78 tahun HMI, mari kita lemparkan tantangan:
Bisakah HMI dan KAHMI mengembangkan AI setara DeepSeek atau ChatGPT?
Jika biaya pengembangan AI berkisar 90 hingga 100 miliar rupiah, rasanya para alumni HMI bisa patungan untuk mewujudkan proyek ini. Dengan jaringan alumni yang tersebar di berbagai sektor strategis—dari akademisi, teknokrat, politisi, hingga pengusaha—penggalangan dana sebesar itu bukan sesuatu yang mustahil.
Mengapa AI?
Karena di era digital ini, AI bukan sekadar teknologi, tetapi juga alat peradaban. Misalnya, AI dapat diarahkan untuk:
pertama, membantu umat dalam bidang pendidikan melalui platform pembelajaran berbasis AI.
Kedua, mengembangkan teknologi dakwah interaktif yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan keislaman dengan sumber terpercaya.
Ketiga, mendukung ekonomi digital dengan analisis bisnis yang lebih canggih untuk UMKM.
Keempat, mengoptimalkan layanan sosial dengan sistem AI yang mampu mendeteksi permasalahan di masyarakat secara lebih cepat dan akurat.
****
Jika HMI dan KAHMI benar-benar ingin membuktikan eksistensinya dalam dunia digital, inilah saatnya! Jangan hanya berhenti pada seminar, kajian, atau sekadar diskusi wacana. Saatnya mengambil langkah konkret untuk membuktikan bahwa HMI tidak mengalami kemunduran dan mampu memberikan sumbangsih nyata bagi umat.
Bagaimana Memulainya? Rasanya saya saya tdk perlu menuliskan secara rinci. Tapi secara garis besar mungkin langkah awal yg bisa dilakukan,
Pertama, membentuk Konsorsium AI HMI-KAHMI.Kumpulkan pakar AI, ilmuwan data, dan insinyur dari kalangan HMI dan KAHMI. Kemudian buat roadmap pengembangan AI dengan target yang jelas.
Kedua, penggalangan Dana dari Alumni. Alumni HMI banyak yang sukses di berbagai bidang. Jika 100 orang alumni berkontribusi 1 miliar rupiah, dana sudah cukup untuk memulai proyek AI.
Ketiga, kolaborasi dengan Kampus dan Institusi Teknologi.HMI punya banyak kader di universitas ternama. Libatkan mereka dalam riset AI ini. Apalagi saat ini Kahmi mempunyai Universitas Insan Cita Indonesia yg fokus pada pembelajaran digital. Kemdian, jalin kerja sama dengan institusi yang sudah berpengalaman dalam pengembangan AI.
Keempat, fokus pada AI yang Memiliki Nilai Tambah untuk Umat. Jangan sekadar meniru ChatGPT, tetapi buat AI yang lebih spesifik untuk kebutuhan Indonesia.
Bisa berupa AI untuk pendidikan, ekonomi syariah, hukum Islam, atau layanan masyarakat berbasis AI.
Berani Mewujudkan Tantangan Ini?
HMI dan KAHMI punya sejarah panjang sebagai organisasi intelektual yang selalu berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.
Tetapi dalam dunia digital, keberadaan mereka belum signifikan. Dies Natalis ke-78 ini adalah momentum untuk membalikkan keadaan.
Kita tidak boleh hanya menjadi pengguna teknologi yang dikembangkan bangsa dan umat lain.
Saatnya HMI dan KAHMI menciptakan AI buatan sendiri, dengan visi besar untuk membangun teknologi yang mencerahkan dan memberi manfaat bagi umat dan bangsa.
Jika China bisa, mengapa kita tidak?
LEAVE A REPLY