Moh. Ahlis Djirimu (kiri) dalam suatu kesempatan bersama Faisal Basri .
Kamis kemarin, 5 September 2024, saya speechless dan nyaris tak produktif menerima kabar mentorku di Pusat Antar Universitas-Ekonomi-Universitas Indonesia, mas Faisal Basri, demikian saya menyebutnya berpulang selamanya. Selamat jalan mas, kami melanjutnya integritas dan idealisme mas.
Saya mengenal mas Faisal Basri sejak Mei 1990. Bersama mas Eko Jokolelono menjemputnya di bandara Mutiara Palu. Itulah sentuhan pertama dengan mas Faisal. Sebelum masuk mobil kijang terbuka, mas Faisal keluarkan buku tebal “Handbook of Development Economic” sambil berpesan, mas Eko, baca nih, supaya buku Ekonomi Pembangunan yang sedang mas Eko susun lebih kaya teoretis dan empiris. Ciri khas sepatu sendal, ransel, celana jean Levi’s dan pandangan ke depan yang sesekali melihat wajah lawan bicaranya menjadi symbol ketenangannya sebagai guru. Mas Faisal diutus oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEUI saat itu untuk mengetes calon peserta kursus jangka panjang Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) merupakan kerjasama antara LPEM-FEUI dan Bappenas. Sejak saat itu, mas Faisal beberapa kali ke Palu, termasuk menghadiri Seminar Nasional Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Palu yang mempunyai tradisi setiap Musyawarah Daerah (MUSDA) seiring pergantian kepengurusan. Sebuah tradisi yang lenyap saat ini digantikan tradisi estafet.
Di sela-sela, Seminar Nasional tersebutlah mas Faisal sempat utarakan kekagumannya pada ISEI Cabang Palu mendatangkan para pembicara: Bapak Jusuf Kalla, almarhum Bapak Tanri Abeng yang menurut super sibuk meluangkan waktunya masih berkesempatan luangkan waktu memajukan Pendidikan.
Pada Agustus 1990, mas Faisal mengajak saya mengikuti kursus jangka panjang Regional Science sekaligus ajang bertemu pada ekonom muda dari berbagai universitas. Mas Faisallah yang memperkenalkan saya dengan para mentor bu Hera Susanti, pak Direktur Pusat Antar Universitas-Ekonomi- Universitas Indonesia (PAU-EK-UI) pak Iwan Jaya Azis, bu Mary Elka Pangestu, bu Sri Hartati Djamtomo, pak almarhum Widjajono Partowidagdo, serta para ekonom pengajar di beberapa Universitas di Amerika: Nathan Kevitz, Tjsangko John Kim. Mas Faisal memperkenalkan saya pada Ekonomi Internasional selama hampir setahun magang di PAU-EK-UI. Di Tahun 1991, mas Faisal merekomendasikan penulis mengambil strata 2 Ekonomi Internasional di Eropa dengan alasan, filosofi ilmu ekonomi lebih kental tanpa tinggalkan modelisasi matematika sebagai alat.
Pada 1994, mas Faisal menjadi Kepala LPEM FEUI dan ruangannyadi Salemba terbuka bagi siapa saja yang datang berdiskusi. Saya termasuk lama berdiskusi tentang dasar ekonomi mikro dalam Ekonomi Internasional utamanya perdebatan antara Constant Return so scale dan Increasing return to scale serta oligopoli Organisasi Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC). Keakraban dengan mas Faisal selalu membawa pulang ole-ole textbook maupun buku hasil karyanya. Ini cara mas Faisal “mencambuk” kami para ekonom muda di masa itu menjadi penulis. Karya Robert Barro pemberiannyalah yang membuat saya menulis buku tentang Pengharapan Rasional dalam Ekonomi Makro. Perhatian mas Faisal pada Ekonomi Politik tidak serta merta meninggalkan Ekonomi Internasional, yang beliau dalami sejak nyantri di Vanderbilth University. Kecintaaannya pada negaranya membuatnya kritis, lengkap dengan data dan fakta sebagai senjata utama para ekonom.
Pada April 2016, saya bertemu lagi dengan mas Faisal di sela-sela acara yang diorganisasir Institut Harkat Negeri pimpinan bang Sudirman Said di UGM. Momen itulah menjadi ajang reuni sekaligus bertemu dengan beberapa akademisi, ketua ormas, eks menteri dan peneliti. Ingatannya pada sahabatnya di Untad tak pernah terlupakan karena setiap kali kawan-kawan di Untad ke Jakarta, beliau sempatkan diri berkunjung say hello termasuk saya pernah temani mas Faisal bergelantungan di bus PPD 900B jurusan Gambir-Depok di hotel Sriwijaya Pasar Baru kunjungi dekan FE-Untad.
Di masa COVID, di sela-sela webinar diorganisir oleh KPw BI Sulteng, mas Faisal saling japri terkait “hilirisasi Nikel Setengah Hati”. Diskusi berbasis data dan fakta, serta ajakan saya ke Morowali tak pernah terwujud. Kiriman buku saya tentang “Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok” yang diberi pengantar oleh Prof. Didin S. Damanhuri, sehabatnya sesama pendiri Institute for Development Economic and Finance (INDEF) diWA mas Faisal dimulai permohonan maaf baru 2 hari sempat membalasnya karena kesehatanku menurun mas, katanya mau ke Sumut.
Nasehatnya tentang immisering growth atau pertumbuhan membenamkan di Sulteng menjadi bekal kajian karena menjadikan daerah pertambangan sebagai comprador atau pelayan asing bila ingatkan kita pada pengalaman Latino Americano.
Mas Faisal, ingatanku atas kekagumanmu pada Anwar Ibrahim actual Perdana Menteri Malaysia menjadimu memberi nama anak lelakimu Anwar Ibrahim Basri menjadi kenangan tak terlupakan. Pada 9 November 2024 nanti adalah HUtmu, di momen itulah saya berhenti mengWhatsappmu, tentu saya akan mengenangmu. Selamat jalan mas Faisal, doa menyertaimu, engkau telah ajarkan kami bagaimana menjadi kakak, mentor dan engkau menjadi inspirasi kami dalam ide kritis dan solusi kebijakan. Karyamu akan selalu dikenang.
*) Penulis adalah Associate Professor FEB-Untad
LEAVE A REPLY