Home Opini PSU Pilkada Parigi Moutong 2024: Ujian Integritas Demokrasi

PSU Pilkada Parigi Moutong 2024: Ujian Integritas Demokrasi

Oleh: Dr. Ilham, ST., MT*

864
0
Social Media Share
PSU Pilkada Parigi Moutong 2024: Ujian Integritas Demokrasi

Dr. Ilham, ST., MT Peneliti Independen dan Penelaah Teknis Kebijakan. FOTO: DOK PRIBADI

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Parigi Moutong tahun 2024 menghadapi ujian besar dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Keputusan ini bukan hanya soal prosedur hukum, tetapi juga menyentuh esensi demokrasi itu sendiri: bagaimana keadilan, legitimasi, dan kepercayaan publik terhadap proses pemilihan dapat dijaga. PSU bukan hanya sekadar mengulang pemungutan suara, tetapi juga menjadi refleksi atas lemahnya tata kelola pemilu serta tantangan yang harus dihadapi oleh penyelenggara dan peserta pemilu.

Keputusan MK: Koreksi atau Bukti Ketidaksiapan?

Putusan MK yang membatalkan pencalonan Amrullah S. Kasim Almahdaly karena tidak memenuhi masa jeda lima tahun sebagai mantan narapidana menunjukkan bahwa terdapat kelalaian dalam tahapan verifikasi calon. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang kandidat dapat melaju hingga ke tahap pemilihan sebelum akhirnya dinyatakan tidak memenuhi syarat?

Seharusnya, proses seleksi dan verifikasi administratif di tingkat KPU dan Bawaslu dilakukan dengan lebih ketat sejak awal. Jika ada ketidaksesuaian dalam dokumen pencalonan, maka gugurnya seorang kandidat seharusnya terjadi jauh sebelum pemungutan suara, bukan setelahnya. Fakta bahwa kasus ini harus diselesaikan melalui MK menunjukkan adanya celah dalam sistem pemilu kita.

Peran Serta Masyarakat

Tidak semua permasalahan yang menyebabkan PSU sepenuhnya bisa dilimpahkan kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengawal jalannya demokrasi, termasuk dalam tahap awal pencalonan pasangan calon (Paslon). Sayangnya, masih banyak masyarakat yang bersikap apatis dan kurang memahami fungsi pengawasan terhadap daftar Paslon yang telah ditetapkan. Padahal, dalam ketentuan yang berlaku, masyarakat memiliki hak untuk memberikan koreksi, masukan, atau bahkan keberatan terhadap Paslon yang dianggap tidak memenuhi syarat sebelum pelaksanaan Pemilukada 2024. Jika sejak awal ada kepedulian dan keterlibatan aktif dari masyarakat dalam mengawasi tahapan pencalonan, potensi pelanggaran administratif atau hukum dapat dicegah lebih dini, sehingga kejadian seperti PSU bisa diminimalisir atau bahkan dihindari sama sekali. Oleh karena itu, kesadaran dan partisipasi publik dalam setiap tahapan pemilu menjadi kunci utama untuk menjaga kualitas demokrasi yang lebih baik.

Tanggung Jawab KPU dan Bawaslu: Haruskah Ada Evaluasi Besar?

KPU dan Bawaslu memegang peran kunci dalam memastikan bahwa PSU berjalan dengan lancar dan adil. Namun, tanggung jawab mereka tidak hanya sebatas menyelenggarakan PSU, tetapi juga harus mengevaluasi secara menyeluruh mengapa kejadian seperti ini bisa terjadi.

Jika kesalahan ini berasal dari lemahnya verifikasi calon di awal, maka harus ada mekanisme yang lebih ketat untuk memastikan hal serupa tidak terulang di masa depan. KPU dan Bawaslu harus berani mengakui kelemahan mereka dan melakukan reformasi yang diperlukan agar sistem pemilu di Indonesia lebih akurat dan tidak merugikan banyak pihak.

Dampak Psikologis: Pukulan bagi Pasangan Calon, Partai, dan Pemilih

PSU tidak hanya berdampak pada aspek administratif dan keuangan, tetapi juga menimbulkan efek psikologis bagi berbagai pihak. Bagi pasangan calon yang telah bertarung dalam Pilkada sebelumnya, keputusan ini membawa tekanan mental yang besar. Tim pemenangan harus kembali mengerahkan sumber daya, memobilisasi massa, dan membangun ulang strategi kampanye mereka dalam waktu singkat.

Bagi partai politik pengusung, PSU juga menjadi ujian terhadap konsolidasi internal dan kepercayaan konstituen. Bagaimana mereka dapat meyakinkan pemilih untuk tetap solid mendukung kandidatnya? Di sisi lain, pemilih mungkin mulai merasa lelah dan skeptis terhadap proses demokrasi. Rasa jenuh ini berpotensi menurunkan partisipasi masyarakat dalam PSU, yang pada akhirnya dapat memengaruhi legitimasi pemenang pemilihan.

Dinamika Demografi dan Pengaruh pada Partisipasi Pemilih

Satu hal yang perlu diwaspadai dalam PSU adalah potensi perubahan dalam daftar pemilih. Beberapa pemilih mungkin sudah berpindah domisili, sementara yang lainnya bisa saja kehilangan semangat untuk ikut serta dalam pemilihan ulang.

Hal ini berpotensi memunculkan ketimpangan demografi dalam hasil PSU. Bisa saja pemilih yang masih antusias justru berasal dari basis massa pasangan calon tertentu, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keinginan mayoritas masyarakat. Ini adalah tantangan bagi KPU dalam memastikan bahwa semua pemilih memiliki akses yang adil untuk memberikan suaranya kembali.

Legitimasi Pemenang Pasca-PSU: Benarkah Akan Diterima?

Legitimasi seorang pemimpin bukan hanya ditentukan oleh jumlah suara yang diraihnya, tetapi juga oleh bagaimana proses pemilihannya berlangsung. Jika PSU dilakukan secara transparan dan dengan partisipasi tinggi, maka siapa pun pemenangnya akan mendapatkan legitimasi yang kuat.

Namun, jika PSU diwarnai oleh ketidakpuasan, rendahnya partisipasi pemilih, atau indikasi kecurangan, maka hasilnya justru dapat menimbulkan ketidakstabilan politik di Parigi Moutong. Jangan sampai PSU justru melahirkan ketidakpercayaan baru terhadap demokrasi di tingkat daerah.

Biaya Politik dan Pemborosan Anggaran

Pelaksanaan PSU bukan perkara murah. Dana yang telah dikeluarkan untuk tahapan Pilkada sebelumnya harus kembali dikucurkan dalam jumlah besar. KPU Parigi Moutong harus mengalokasikan anggaran untuk logistik, honorarium petugas, dan kampanye sosial agar PSU berjalan dengan baik.

Namun, pertanyaannya adalah siapa yang bertanggung jawab atas pemborosan ini? Jika kesalahan terjadi di tahap verifikasi, apakah KPU sebagai penyelenggara siap bertanggung jawab atas konsekuensi keuangan ini? Ataukah semua beban ini kembali dibebankan kepada rakyat melalui anggaran negara?

Di sisi lain, pasangan calon juga harus merogoh kocek lebih dalam untuk menghadapi PSU. Biaya kampanye ulang, mobilisasi tim sukses, dan strategi politik baru tentu memerlukan anggaran besar. Ini menunjukkan bagaimana lemahnya sistem justru membebani banyak pihak yang seharusnya tidak perlu menanggung biaya tambahan.

Pertanggungjawaban Keuangan: Transparan dan Akuntabel

Namun, dalam konteks pertanggungjawaban keuangan negara, perlu diperjelas bahwa selama seluruh pengeluaran sebelum dan sesudah PSU dapat dipertanggungjawabkan secara transparan, sesuai dengan prinsip administrasi negara dan akuntansi pemerintahan, maka secara hukum dan tata kelola keuangan negara, hal ini tidak bisa serta-merta dianggap sebagai kerugian. Setiap anggaran yang dikeluarkan harus dicatat secara akurat, diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta memenuhi standar efisiensi dan efektivitas penggunaan dana publik. Dengan demikian, meskipun PSU memerlukan biaya tambahan, jika mekanisme pengelolaannya sesuai prosedur yang berlaku dan memberikan manfaat bagi demokrasi yang lebih sehat, maka anggaran yang dikeluarkan tetap dapat dikategorikan sebagai investasi dalam tata kelola pemerintahan yang lebih baik, bukan sebagai pemborosan.

Kesimpulan: Demokrasi yang Diuji, Reformasi yang Diperlukan

PSU Pilkada Parigi Moutong 2024 bukan sekadar pengulangan pemungutan suara, tetapi sebuah ujian bagi integritas demokrasi di daerah. Jika proses ini berjalan dengan baik, maka masyarakat akan tetap percaya pada mekanisme demokrasi yang sehat. Namun, jika PSU kembali diwarnai oleh ketidakjelasan dan kontroversi, maka ini bisa menjadi preseden buruk bagi pemilu-pemilu berikutnya.

Yang jelas, pelajaran dari PSU ini adalah pentingnya penegakan aturan sejak awal, transparansi dalam verifikasi calon, serta tanggung jawab semua pihak untuk memastikan demokrasi berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan kejujuran.

*) Penulis adalah Penelaah Kebijakan dan Peneliti Independen