Home Opini Ilusi Fiskal di Sulteng

Ilusi Fiskal di Sulteng

Oleh: Ahlis Djirimu

611
0
Social Media Share
Ilusi Fiskal di Sulteng

Moh. Ahlis Djirimu, Associate Professor FEB-Untad. FOTO: UDIN SALIM/METROSULAWESI

UNDANG-UNDANG Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah didesain untuk memperkuat desentralisasi fiskal guna mewujudkan pemerataan layanan dan kesejahteraan. Tujuannya adalah pertama, meningkatkan kapasitas fiskal yang meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat, Transfer Berkualitas, Perluasan Akses Pembiayaan, terutama akses sumber pembiayaan hijau. Jadi keliru jika mengatakan Fiskal Meningkat, fiskal itu kebijakan yang membutuhkan persetujuan legislatif. Instrumen fiskal adalah Pajak, Belanja Pemerintah, Transfer Pemerintah maupun subsidi. Kebijakan Fiskal merupakan kebijakan yang ditempuh oleh suatu negara guna mempengaruhi perekonomian melalui instrument fiskal. Bila Pemerintah ingin meningkatkan derap perekonomian, maka Pemerintah menjalankan kebijakan fiskal ekspansif dengan cara mengurangi pajak, meningkatkan belanja, dan sebaliknya, bila Pemerintah ingin mengerem perekonomian, cukup menjalankan kebijakan fiskal kontraktif. PAD adalah fungsi dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Dalam konteks Provinsi Sulteng, bila PDRB meningkat 1 persen, maka PAD meningkat lebih besar dari kenaikan PDRB yakni mengalami kenaikan 1,7 sampai dengan 1,85 persen. Seharusnya, proyeksi PAD dibuat dalam bentuk target yang akan dicapai sebesar 1,7-1,85 persen. Bukan diturunkan targetnya menjadi hanya 1 persen karena dengan menurunkan target 1 persen, maka Badan Pendapatan daerah (Bapenda) Sulteng tidur pun, PAD pasti masuk ke kas daerah. Kedua, meningkatkan Kualitas Belanja Daerah yakni Belanjanya Fokus dan Lokusnya tepat, serta optimal baik sasaran, waktu, mutu dan administrasi. Jadi, jika PAD Sulteng naik dari Rp900,- miliar menjadi sekitar Rp2,- triliun, hal ini memang merupakan hasil proyeksi dalam Bab III RPJMD Sulteng Periode 2021-2026.

Delapan asumsi dalam RPJMD Sulteng Tahun 2021-2026 bila dijalankan, maka semua target PAD dapat tercapai bahkan terlampaui seperti diskursus berulang-ulang gubernur.Target PAD Rp1,94,- triliun di Tahun 2023 memang tercapai sesuai dengan target dalam RPJMD. Adapun target tersebut terlampaui capaiannya karena memang di dalam target RKPD diturunkan tidak selaras dengan target RPJMD. Hal ini dilakukan supaya targetnya melampaui. Dengan target seperti ini yakni target tanpa latar belakang historis empiris menetapkannya, maka tanpa bekerja pun, Badan Pendapatan Daerah akan menerima pemasukan dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD. Penetapan target seperti ini menggunakan teori LUKI berarti Lu Kira-Kira. Bila target dalam RPJMD yang telah dihitung sesuai pendekatan historis empiris, maka Bapenda tidak dapat lagi bekerja berdasarkan Business as Usual atau biasa-biasa saja, tetapi perlu kreatif dan inovatif dalam berpikir dan bekerja. Hal inilah yang tidak terjadi saat ini sehingga fenomena ini sampai kapanpun daerah ini nyaman bergantung pada dana Transfer ke Daerah (TKD). Sepatutnya, di Tahun 2024, target PAD sebesar Rp2,42,- triliun yang terdiri dari Rp1,9,- triliun berasal dari Pajak Daerah dan Rp25,86,- miliar berasal dari Retribusi Daerah. Di Tahun 2025, target PAD sebesar Rp3,08,- triliun yang terdiri dari Pajak Daerah sebesar Rp2,38,- triliun dan Retribusi Daerah Rp30,26,- miliar, serta Target PAD pada 2026 sebesar Rp3,89,- triliun yang terdiri dari Rp2,96,- triliun Pajak Daerah dan Rp35,42,- miliar Retribusi Daerah dapat dicapai tanpa menggunakan teori LUKI atau lu kira-kira.

Target Pendapatan Daerah di Provinsi Sulteng mencapai Rp24.887,36,- miliar di Tahun 2024. Realisasi Pendapatan Daerah sampai dengan April 2024 mencapai Rp3.429,23,- miliar atau proporsinya mencapai 13,78 persen. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditargetkan mencapai Rp4.455,21,- miliar, namun realisasinya hingga April 2024 hanya Rp501,43,- atau proporsinya mencapai 11,25 persen. Dalam komponen PAD tersebut terdapat pertama, Pajak Daerah yang ditargetkan mencapai Rp2.559,4,- miliar. Namun, realisasinya hingga April 2024 baru mencapai Rp378,87,- miliar atau proporsinya mencapai 14,80 persen. Kedua, Retribusi Daerah yang ditargetkan mencapai 487,31,- miliar, namun, realisasinya baru mencapai Rp51,40,- miliar atau proporsinya mencapai 10,55 persen. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan yang di dalam RPJMD oleh Gubernur menjadi andalan PAD yang ditargetkan mencapai Rp278,90,- miliar belum terealisasi atau masih nol.

Komponen Pendapatan Transfer ditargetkan mencapai Rp20.243,5,- miliar, namun, realisasinya hingga April 2024 baru mencapai Rp2.923,77,- miliar atau proporsinya baru mencapai 14,44 persen. Komponen Lain-Lain kekayaan Daerah yang Sah ditargetkan mencapai Rp186,62,- miliar, namun, realisasinya baru mencapai Rp4,03,- miliar atau proporsinya mencapai 2,16 persen.

Belanja Daerah ditargetkan mencapai Rp26.580,12,- miliar. Realisasinya pada April 2024 baru mencapai Rp2.302,23,- miliar atau proporsinya mencapai 8,66 persen. Belanja tersebut didominasi oleh sub komponen Belanja Operasi yang ditargetkan mencapai Rp18.409,59,-, namun, realisasi Belanja Operasi baru mencapai Rp2.039,57,- miliar atau proporsinya baru mencapai 11,08 persen. Dalam Belanja Operasi ini, terdapat Belanja Pegawai yang ditargetkan mencapai Rp9.890,78,- miliar, namun, realisasinya hingga April 2024 baru mencapai Rp1.487,14,- miliar dari target Belanja Pegawai mencapai Rp9.890,78,- miliar atau proporsinya mencapai 15,04 persen. Belanja Barang dan Jasa menempati posisi kedua terbanyak yang ditargetkan mencapai Rp7.164,55,- miliar. Hingga April 2024, realisasi belanja ini baru mencapai Rp425,87,- miliar atau proporsinya mencapai 5,94 persen.

Pagu defisit di Tahun 2024 mencapai minus Rp1.692,77,- miliar. Realisasinya hingga April 2024 mencapai Rp1.127,01,- miliar atau realisasi defisit mencapai -66,58 persen. Pagu pembiayaan ditargetkan mencapai Rp1.692,77,- miliar. Realisasinya hingga April 2024 mencapai Rp959,64,- miliar atau proporsinya mencapai 56,69 persen. Jumlah tersebut seluruhnya merupakan Penerimaan Pembiayaan. Sedangkan Pengeluaran Pembiayaan yang ditargetkan mencapai Rp129,5,- miliar pada 2024, belum terealisasi.

Realisasi per April 2024 menunjukkan pada kita bahwa, semua target PAD akan meleset terutama pos PAD dari andalan Pemerintah Provinsi Sulteng yakni komponen Lain-Lain Kekayaan Daerah yang dipisahkan (LLPADyS) dengan mengandalkan PT. Pembangunan Sulteng beserta anak perusahaannya sebagai mesin pencari uang daerah hanya akan menjadi ilusi ataupun angan-angan dalam pembangunan Sulteng. Dalam catatan evaluasi APBD Sulteng oleh Kemendagri, periode 2010-2019, PT. Pembangunan Sulteng telah mendapatkan suntikan dana Rp372,72,- miliar, namun minim kinerja. Optimalisasi asset Pemerintah Provinsi Sulteng bagi sumber operasional dan revenue generating korporasi daerah ini jauh panggang dari api.

Kenyataan data pada alinea empat dan lima di atas, sepatutnya pertama, mendorong Pemerintah Provinsi Sulteng melalui Bappeda, Bapenda dan BPKAD memperkuat sinkronisasi perencanaan dan penganggaran transfer ke daerah yang meliputi DBH, DAU, DID dan Dana Desa, maupun sumber dana Transfer Fiskal bagi daerah penjaga lingkungan, serta memperhatikan alokasi belanja Kementerian/Lembaga. Beberapa daerah di Indonesia saat ini lebih mengandalkan insentif lingkungan, hibah konservasi;

Kedua, kebangkitan ekonomi nasional sedikit lebih rendah daripada asumsi Bappenas dengan implikasi perkembangan DAU dan DAK normal. Dinamika DAK yang diemarked atau bermerek menjadi tantangan bagi daerah menunjukkan kinerja pengelolaan keuangan dan azas manfaat maupun multiplier effectnya;

Ketiga, kembali pada proyeksi melalui elastisitas pertumbuhan PDRB berkisar 1,7 poin sampai dengan 1,85 poin akan mendorong Bapenda akan berpikir, berkeasi dan berinovasi mencari dan mengoptimalkan sumber PAD. Angka ini bermakna, setiap kenaikan 1 persen PDRB, akan diikuti dengan kenaikan 1,7 sampai dengan 1,85 persen PAD. PAD pasti meningkat karena jumlah penduduk pasti meningkat, sehingga wajib pajak yang dikenakan Pajak Daerah akan semakin banyak juga. Penduduk pasti berbelanja di waralaba dan super market semakin banyak yang tentunya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penghasilan (PPh);

Keempat, pertumbuhan Pajak Daerah merupakan hasil perluasan investasi 7 tahun terakhir dan diasumsikan masih berlanjut 5 tahun ke depan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah menggariskanbawahi pilar Penguatan Local Taxing Power, Peningkatan Kualitas Belanja Daerah, dan Harmonisasi Belanja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kelima, asumsi bahwa Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan (LLPADyS) bertumbuh secara eksponensial hasil kemitraan Perusahaan Daerah dengan Perusahaan Besar untuk berinvestasi di Sulawesi Tengah tidak dibarengi kinerja mumpuni PT. Pembangunan Sulteng dan PT. Bank Sulteng. Pada 2023, LLPADyS ditargetkan dapat menghasilkan Penerimaan Daerah bagi Sulteng sebesar Rp212,68,- miliar. Namun, hasilnya jauh dari harapan hanya mencapai Rp0,68,- miliar atau hanya 0,32 persen target. Demikian pula dengan Lain-Lain PAD yang Sah ditarget mencapai Rp1.134,75,- miliar pada 2023, namun, hasilnya hanya mencapai Rp60,27,- miliar atau proporsinya 5,31 persen. Di Tahun 2024, Lain-Lain Kekayaan daerah yang Sah ditargetkan mencapai Rp1.129,60,- miliar. Realisasinya hingga 30 April 2024 mencapai Rp71,16,- miliar atau proporsinya mencapai 6,30 persen. Hal ini berarti realisasi Lain_lain PAD yang Sah telah melampaui realisasi Tahun 2023. Sayangnya, hingga 30 April 2024, terjadi kontraksi pada penerimaan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan (LLPADyS) karena hingga 30 April 2024, belum ada realisasi di Tahun 2024.

Keenam, pertumbuhan bagi hasil pajak dan bukan pajak yang tinggi adalah hasil dari perluasan investasi khususnya di Sektor Industri Manufaktur (Industri Logam Dasar) dan Sektor Pertambangan dan Penggalian (Pertambangan Bijih Logam). Kontribusi Penerimaan terbesar dan proporsinya dominan berasal dari Sektor Industri Pengolahan yang pada April 2024 mencapai Rp1.889,32,- miliar meningkat dari Rp1.190,14,- miliar pada 2023 atau terjadi kenaikan sebesar 3,93 persen, serta proporsinya mencapai 58,28 persen dalam struktur 10 sektor yang memberikan Penerimaan Pajak di Provinsi Sulteng. Selanjutnya, dominasi Sektor Industri Pengolahan tersebut diikuti oleh Penerimaan Negara dari Sektor Perdagangan Besar dan Eceran yang pada April 2024 mencapai Rp450,72,- miliar, meningkat dari Rp409,66,- miliar pada April 2023 atau terjadi kenaikan sebesar 0,80 persen.

Semoga Pemerintahan Provinsi Sulteng periode 2025-2029 dapat menyegarkan kembali target PAD dan asumsi dasar yang menyertainya sehingga Bapenda dapat bekerja berdasarkan indikator kinerja kunci (IKK) dalam memobilisasi kapasitas fiskal Sulteng, sehingga kemandirian fiskal meningkat dan belanja berkualitas. Dengan demikian, capaian ini merupakan koreksi atas lipservice rezim yang berkuasa saat ini.

Associate Professor FEB-Untad-Local Expert dan Regional Expert Sulawesi Kemenkeu.

tengah 1