Home Opini Si Nursi Jadi Si Dora, Maskot Pilkada Donggala yang Berpolemik

Si Nursi Jadi Si Dora, Maskot Pilkada Donggala yang Berpolemik

Oleh: Fery, S.Sos., M.Si

1,043
0
Social Media Share
Si Nursi Jadi Si Dora, Maskot Pilkada Donggala yang Berpolemik

Fery, S.Sos., M.Si, Dosen UNISMUH Palu/Wakil Ketua PWI Sulawesi Tengah. FOTO: DOK PRIBADI

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Donggala telah resmi meluncurkan Maskot Pilkada Donggala yakni Si Dora (Demokrasi Donggala Bersaudara) pada tanggal 10 Juni 2024. Maskot Pilkada Donggala ini, sempat berpolemik dan menuai banyak kritikan. Bahkan orang nomor satu di Donggala, Pj. Bupati Donggala, Rifani Pakamundi sempat menyarankan kepada KPU Donggala untuk mencari fauna atau benda yang menjadi endemik atau khas Donggala.

Sebelumnya, Maskot Pilkada Donggala ini bernama Si Nursi atau singkatan dari Nuri Demokrasi. Maskot ini sempat mendapat penolakan masyarakat Kabupaten Donggala, karena dinilai Burung Nuri tidak terkait dengan Kabupaten Donggala. Dalam Pengumumam KPU Donggala, Cholid Munir yang menjadi pemenang Maskot si Nursi tersebut.

Namun belakangan, Maskot Pilkada Donggala pun berubah dari si Nursi menjadi si Dora. Tribunpalu.com menulis bahwa si Dora merupakan burung Nuri berkaos putih dengan logo KPU di bagian dadanya. Sayap kanan si dora tampak memperlihatkan tinta pencoblosan, dan sayap kiri si Dora memegang surat suara bertuliskan hari pencoblosan 27 November 2024.

Burung Dora atau lebih dikenal dengan nama Perkici Dora (Trichoglossus Ornatus) merupakan sejenis Nuri atau biasanya disebut Kasturi Sulawesi, dapat dijumpai di areal hutan dataran rendah di semua Provinsi di Pulau Sulawesi, mulai Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.

Di Provinsi Sulawesi Tengah, burung dora pernah dilaporkan berada di sepanjang tepi barat Teluk Tomini (Andrew & Holmes, 1990), kawasan hutan Morowali (Khaeruddin, 2007), kawasan hutan yang terletak di Kakamora dan Dongi-dongi, (Gibbs, 1990), dan di kawasan Cagar Alam Pangi Binangga (Nurdiansyah dkk., 2019).

Burung dora cukup akrab dengan manusia. Di Sirenja, sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an, burung ini jadi peliharaan yang dikenal dengan sebutan tonji koloe. Kombinasi warna yang indah, ditambah dengan tingkah laku yang lucu dan menggemaskan, menyebabkan burung paruh bengkok ini menjadi salah satu burung favorit yang diperdagangkan dan menyenangkan untuk dipelihara. Perkici dora juga tergolong burung mudah jinak dan beradaptasi dengan manusia.

Banyak pihak menilai bahwa Maskot Pilkada Donggala ini, masih kurang tepat, karena tidak menengok kearifan lokal di Kabupaten Donggala. Meskipun burung dora disebut endemic pulau sulawesi, tetapi tidak specifik di Donggala. Seharusnya, maskot yang lebih tepat adalah Buya Sabe atau sarung tenun Donggala yang sudah cukup terkenal. Selain mempromosikan budaya lokal, juga menjadi sarana persaudaraan di Kabupaten Donggala.

Maskot seperti Buya Sabe sebenarnya jauh lebih tepat untuk Pilkada Donggala, karena tenunan ini sudah ada sekitar tahun 1793 (asppuk.or.id, 2013). Kala itu, terbuat dari kapas yang ditanam penduduk lokal dan dipintal perempuan penenun sendiri hingga menjadi kain sutra.

Kearifan lokal Buya Sabe ini masih terdapat di Desa Limboro, Desa Salubomba, Desa Tosale, Towale, hingga Desa Kolakola. Bahkan masih ada di sejumlah kecamatan lainnya di Kabupaten Donggala.

Maskotnya bisa diberi nama “Si Buya” dengan kepanjangan “Demokrasi dan budaya” atau “Si Sabe” dipanjangkan menjadi “Demokrasi untuk semua bersaudara” atau ada kepanjangan lainnya. Namun, ibarat nasi telah jadi bubur, semua sudah ditetapkan. Paling tidak, baju mascot Si Dora saja yang diganti, dari baju kaos putih menjadi batik bomba atau batik tenun Donggala, semoga belum terlambat.

Sekadar gambaran, maskot yang memperhatikan kearifan lokal, seperti di Kabupaten Parigi Moutong, maskotnya adalah Durimo, singkatan dari Durian Pengawal Demokrasi. Hal itu, karena Durian di Parigi Moutong cukup terkenal hingga di ekspor ke Negeri Tiongkok. Begitu juga di Tolitoli, yang dijadikan Maskot adalah Rato Bili, singkatan dari Rakyat Tolitoli Bijak Memilih. Maskot ini menggambarkan rumah adat Tolitoli dan buah cengkeh sebagai simbol komoditi unggulan Masyarakat kabupaten dengan julukan kota cengkeh bersloghan Mosimbesang Mesoungu Motimpedes Magau.

(Penulis adalah Dosen UNISMUH Palu/Wakil Ketua PWI Sulawesi Tengah

tengah 1