Home Opini Sistem Pembayaran di Wilayah Tertinggal

Sistem Pembayaran di Wilayah Tertinggal

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu*

404
0
Social Media Share
Sistem Pembayaran di Wilayah Tertinggal

Moh Ahlis Djirimu

LIMA tahun terakhir, Ekonomi Keuangan Digital (EKD) bergerak sangat dinamis seiring dengan perubahan lingkungan global yang melampaui batas administratif negara sedemikian tipis untuk tidak mengatakan hilang. Bank Indonesia merancang Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI). Pada Februari 2020, di Pekanbaru, penulis mulai mengenal SPI horizon 2025. Bank Indonesia fokus membangun infrastruktur digital yang tonggak historisnya tepat pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke 74 tahun pada 17 Agustus 2019 yang menandai peluncuran Quick Respon Indonesia Standard (QRIS). Hal ini merupakan penanda, yakni pertama, antisipasi atas besarnya partisipasi generasi milenial atau generasi Indonesia berusia 25-39 tahun, generasi Z atau mereka berusia 10-24 tahun dan generasi X berusia 40-59 tahun. Kedua, inovasi sistem pembayaran digital semakin pesat yang fokus pada kebutuhan dan preferensi konsumen. Ketiga, interkoneksi transaksi ekonomi dan keuangan lintas negara akan semakin menguat, 

Pada horizon 2030, Bank Indonesia memasuki fase berikutnya yang fokus implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang mengarah pada tiga sasaran kebijakan yakni Transaksi dan Velositas, Struktur Sistem Pembayaran dan Infrastruktur sistem pembayaran. Transaksi dan Velositas mengedepankan layanan sistem pembayaran pada transaksi ritel dan grosiran yang cepat, mudah, murah, aman dan handal (CEMUMUAH). Struktur mengedepankan layanan sebagai industri jasa sistem pembayaran sehat, kompetitif, inovatif dengan praktek pasar yang efisien dan wajar. Infrastruktur mengedepankan infrastruktur yang stabil dan modern sesuai standar internasional, dan memenuhi aspek interkoneksi, interoperability, integrasi (3i) baik bagi infrastruktur yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia maupun oleh industri jasa sistem pembayaran. 

Namun, karena sistem pembayaran ini melayani di sisi hilir transaksi keuangan digital, tentu sangat tergantung pada infrastruktur dan struktur ekonomi di hulu. Di Indonesia, terdapat enam puluh daerah tertinggal berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Setiap lima tahun, pemerintahan baru Republik Indonesia akan menetapkan daerah tertinggal yakni daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Daerah tertinggal tersebut mencakup tujuh kabupaten di Sumatra, empat belas di Nusa Tenggara Timur (NTT), tiga kabupaten di Sulawesi Tengah, enam kabupaten di Maluku, dua di Maluku Utara, delapan di Papua Barat, serta dua puluh dua kabupaten di Papua sebelum pemekaran kedua provinsi ini. Penetapan Daerah Tertinggal merujuk pada enam kriteria yakni perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, kemapuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah.

Infastruktur paling utama yang berada di sisi hulu yang patut terpenuhi adalah Listrik, Akses Internet, Edukasi dan Literasi Digital. Pada sisi ketersediaan listrik menunjukkan bahwa Siaran Pers Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 27.Pers/04/SJI/2024 tertanggal 15 Januari 2024 menyatakan bahwa rasio elektrifikasi di Tahun 2023 mencapai 99,78 poin dan Rasio Desa Berlistrik mencapai 99,83 poin. Target Kementrian ESDM adalah 100 poin pada 2024. Namun, bila diteliti lebih lanjut, infrastruktur listriknya benar 100 persen, tetapi masa aktifnya ada yang hanya dua belas jam atas hanya menjadi listrik aktif di malam hari. Itulah sebabnya masyarakat di daerah tertinggal selalu menyiapkan Pembangkit Listrik Tenaga Generator Setrum (PLTG-Set). 

Pada sisi Akses Internet, Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menunjukkan bahwa di Provinsi Papua dan Papua Barat (PAPA) sebelum pemekaran wilayah, terdapat masing-masing 4.506 desa dan 1.363 desa yang belum terakses internet. Jumlah ini setara dengan 43,23 persen. Di Maluku dan Maluku Utara (MAMA), desa-desa yang belum terakses internet mencapai masing-masing 719 desa dan 536 desa yang tersebar di berbagai belahan pulau termasuk pulau terdepan, terluar dan terpencil yang jumlahnya 92 pulau atau proporsinya mencapai 9,24 persen. Di Daratan Sulawesi, desa yang belum terlayani internet berjumlah 1.660 desa atau proporsinya 12,26 persen dari keseluruhan desa di Indonesia yang belum terakses internet berjumlah 13.577 desa. Di Bali dan Nusa Tenggara, desa yang belum terakses internet berjumlah 834 desa atau proporsinya mencapai 6,14 desa dan di Jawa, desa yang belum terakses internat mencapai 275 desa atau proporsinya 2,02 persen, serta di Sumatra mencapai 1.793 desa atau proporsinya mencapai 13,21 persen. Bilapun ada desa yang sudah terakses, tetapi Coverage 4G belum sebanding dengan luas wilayah per kilometre persegi. Akibatnya, masyarakat sering mengeluarkan kata-kata satir: jika anda membeli pulsa, beli juga dengan Menara Base Tranciever Station (BTS).

Tantangan ketiga dan paling sulit adalah edukasi dan literasi sistem pembayaran digital. Namun, tidak ada yang tidak mungkin. Tingkat Pendidikan rata-rata penduduk Indonesia SMP menjadi seni dalam BEREAKSI atau bersama akademisi kita galakkan literasi sistem pembayaran digital di wilayah tertinggal. Optimis bekerja bersama menuju Indonesia Incorporated on Digital Payment.

---

*Staf Pengajar FEB-Universitas Tadulako

tengah 1