Home Opini Transformasi Perencanaan-Penganggaran Berbasis Bukti bagi Belanja Publik Berkualitas dan Inklusif

Transformasi Perencanaan-Penganggaran Berbasis Bukti bagi Belanja Publik Berkualitas dan Inklusif

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu*

537
0
Social Media Share
Transformasi Perencanaan-Penganggaran Berbasis Bukti bagi Belanja Publik Berkualitas dan Inklusif

Moh. Ahlis Djirimu, Associate Professor FEB-Untad. FOTO: UDIN SALIM/METROSULAWESI

Pada 15-17 Juli 2024, Penulis diundang sebagai satu dari empat narasumber dalam konferensi internasional tahunan the Indonesian Regional Science Association (IRSA) ke 19 di Ambon. Tema pembahasannya adalah “Empirical Evidence, Local Experience: Shaping Maluku’s Public Finance Management Strategies for Inclusive Service Delivery”. Kegiatan ini diorganisir oleh Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar (SKALA), merupakan Kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia. SKALA berfokus pada penguatan elemen strategis sistem pemerintahan daerah di Indonesia, seperti perumusan kebijakan, perencanaan dan penganggaran berbasis bukti, manajemen keuangan publik, kepemimpinan lokal dan penguatan perspektif dan pengarusutamaan kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial. 

Pintu masuk public service deliveries ada pada Perencanaan karena separuh keberhasilan pembangunan ditentukan oleh Perencanaan. Arsitektur Perencanaan Pembangunan meliputi Rencana Pembangunan Daerah. Rencana Pembangunan Daerah (RPD) ini meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). RPJPD merupakan penjabaran dari visi, misi, arah kebijakan, dan sasaran pokok pembangunan daerah jangka panjang untuk 20 (dua puluh) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPN dan RTRW. Dokumen RPJPD ditetapkan dengan PERDA paling lama 6 (enam) bulan setelah RPJPD periode sebelumnya berakhir. Dalam konteks RPJPD Tahun 2025-2045 Menuju Indonesia Emas, semua RPJPD wajib disahkan pada pekan keempat Agustus 2024 sesuai Inmendagri Nomor 1 tahun 2024. Selanjutnya di dalam RPD ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yakni penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN. Dokumen RPJMD ditetapkan dengan PERDA paling lama 6 (enam) bulan setelah Kepala Daerah terpilih dilantik. Lalu, di dalam RPD ada pula dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yakni penjabaran dari RPJMD yang memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, serta rencana kerja dan pendanaan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang disusun dengan berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. RKPD memuat tujuan, sasaran, program, dan kegiatan pembangunan dalam rangka pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib dan/atau Urusan Pemerintahan Pilihan sesuai dengan tugas dan fungsi setiap Perangkat Daerah. RKPD ini ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Ketiga dokumen ini disusun sesuai amanah dalam Pasal 263-264 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Sangatlah naif menilai keberhasilan dan kegagalan pencapaian kinerja makro ekonomi menggunakan RKPD yang stratanya lebih rendah ketimbang RPJMD.

Selain itu, di dalam Perencanaan Pembangunan Daerah, ada Perencanaan Perangkat Daerah memuat juga dua dokumen perencanaan yakni dokumen pertama adalah Rencana Strategis Perangkat Daerah (Renstra) yang periodenya sama dengan RPJMD. Renstra OPD memuat tujuan, sasaran, program, dan kegiatan pembangunan dalam rangka pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib dan/atau Urusan Pemerintahan Pilihan sesuai dengan tugas dan fungsi setiap Perangkat Daerah. ditetapkan dengan Perkada setelah RPJMD ditetapkan.

Dokumen kedua adalah Rencana Kerja (Renja) atau Rencana Tahunan. Renja memuat program, kegiatan, lokasi, dan kelompok sasaran yang disertai indikator kinerja dan pendanaan sesuai dengan tugas dan fungsi setiap Perangkat Daerah. Renja ditetapkan oleh kepala daerah setelah RKPD diperkadakan. Kedua dokumen ini disusun juga sesuai amanah Pasal 272-273 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Alasan kedua, episode strata implementasi regulasi belum dipahami secara jelas. RPJPD dilaksanakan melalui RPJMD; RPJMD dijabarkan kedalam Renstra Perangkat Daerah dan diterjemahkan kedalam RKPD; RPJMD menjadi dasar pencapaian kinerja daerah jangka menengah yang dilaksanakan melalui Renstra Perangkat Daerah; Keberhasilan pencapaian visi & misi kepala daerah ditentukan oleh keberhasilan pencapaian Renstra Perangkat Daerah; Seluruh program selama lima tahun seluruh Renstra memedomani program prioritas dalam RPJMD; RPJMD dilaksanakan melalui RKPD; Renja Perangkat Daerah menerjemahkan program prioritas (RKPD) kedalam kegiatan prioritas; RKPD sebagai dasar penyusunan RAPBD; Realisasi (triwulan) DPA-PD menjadi dasar pengendalian (hasil) RKPD dan Renja Perangkat Daerah. Bila Bappeda memahami jelas esensi regulasi, maka hal yang paling penting adalah Pra Rakortekbang-Pra Forum OPD yang membahas menyepakati amanah indikator provinsi di masing-masing kabupaten/kota yang diikuti oleh dukungan program/kegiatan/sub kegiatan, serta membahas pula draft Renja OPD dan Renja OPD kabupaten/kota khususnya menyepakati penentuan lokasi. Pertanyaannya apakah penyepakatan indikator tersebut dilakukan? Apakah draft renja OPD telah ada? Rakortekrenbang-Forum OPD, tinggal acara seremonial menyepakati indikator dan komitmen program/kegiatan spasial, tematik, inklusif pada masing-masing kabupaten/kota. Hal ini tentu berlaku pula pada RKPD, lebih penting momennya pra-musrenbang RKPD, sedangkan Musrenbang menjadi seremonial agenda kerja tahun berikutnya.

Selanjutnya, pada Juli-Agustus merupakan masa di mana Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) membahas tindak lanjut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun depan dalam bentuk Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (R-KUA & PPAS). Dalam perjalanannya, baik legislatif maupun eksekutif mesti memahami sesuai regulasi bahwa ada episode perencanaan dan penganggaran di Indonesia.

Perencanaan-Penanggaran berbasis bukti menunjukkan adanya keselarasan sasaran, spasial, waktu, mutu, administrasi, kualitas yang patut ditaati dalam penyelenggaraan pembangunan. Hal ini juga dimaksudkan untuk ‘Membiasakan perangkat daerah bekerja yang sebenarnya dalam penyelenggaraan pembangunan, bukan membenarkan yang biasanya”.

Setelah dokumen Rancangan Awal RPJMD dibahas pada Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Kemendagri bagi RPJMD provinsi dan juga dokumen yang sama dibahas di DPRD berbarengan dengan kegiatan tersebut, Rancangan Awal RPJMD kabupaten/kota dibahas di Bappeda Provinsi Sulteng dan DPRD kabupaten/kota. Selanjutnya, Rancangan Awal RPJMD yang telah berubah menjadi Rancangan RPJMD ini menjadi rujukan bagi OPD menyusun draft Rencana Strategis (Renstra). Dokumen Renstra hanya sekali dalam lima tahun disusun, sama persis dengan dokumen RPJMD. Hal ini patut digarisbawahi karena penulis menemukan, adanya perangkat daerah yang menganggarkan setiap tahun penyusunan Renstra. Perubahan terjadi bila ada perubahan kebijakan nasional, adanya bencana alam dan non alam, dan lain-lain. Perubahan RPJPD dan RPJMD dimungkinkan dilakukan apabila masa berlaku RPJPD masih di atas 7 tahun dan masa berlaku RPJMD masih di atas 3 tahun. Perubahan RPJMD suatu daerah terjadi ketika masanya telah di bawah 3 tahun, dimungkinkan karena force majeure dan disetujui oleh DPRD dan Kemendagri.

Dokumen Renstra yang telah mengalami pembahasan dan perbaikan oleh Bappeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Kerja OPD (Renja OPD) atau Rencana tahunan yang biasanya disusun pada triwulan keempat tahun berjalan. Akumulasi Renja OPD ditambah dengan usulan-usulan yang muncul di belakang baik berupa hasil reses maupun pokok-pokok pikiran DPRD, usulan masyarakat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 menjadi bahan baku dalam penyusunan RKPD dengan berpedoman pada Permendagri tentang RKPD yang setiap tahun dikeluarkan oleh Kemendagri bagi tahun berikutnya. Kekeliruan yang terjadi adalah adanya daerah yang setiap tahun mengubah RKPD hanya karena adanya tambahan anggaran pembangunan. Seharusnya, yang diubah adalah Kebijakan Umum Anggaran dan prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) menjadi KUPA-PPAS yang berlanjut pada perubahan APBD tahun berjalan.

Dokumen RKPD yang menjadi tupoksi Bappeda setelah disahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota menjadi Peraturan Gubernur/Peraturan bupati/Peraturan Walikota menjadi acuan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dalam menyusun Rancangan Kebijakan Umum Anggaran & Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS). Titik ini merupakan poin penting antara Bappeda dan BPKAD dalam wilayah arahan Sekretaris Provinsi/Sekab/Sekot selaku ketua TAPD yang dipayungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran. Keselarasan antar Dokumen Perencanaan dan Penganggaran merupakan sinergi antara Bappeda dan BPKAD melalui Sekprov/Sekab/Sekot sebagai Ketua TAPD karena Bappeda dan BPKAD menjadi sekretaris dan wakil ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Dalam dokumen Rancangan PPAS, selain rasionalitas nominal besaran anggaran, fokus pencapaian misi sebagai implementasi Money Follow Program Program Follow Result yang ditunjang oleh program dan kegiatan juga patut dilakukan. Namun, sayang demi sayang, kolom indikator program dan kegiatan kosong. Jikapun ada, belum tepat karena indikator Program atau outcome satuannya hanya rupiah dan persentase. Sedangkan indikator kegiatan/output satuannya kuatitatif (unit, rim, orang, eksampelar, dll). Hal ini memerlukan pendampingan dari bappeda karena penetapannya mengacu pada Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK), indikator Kemenpan Reformasi Birokrasi, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimum, indikator Sustainable Development Goals. Inilah wujud konkrit missing-link Perencanaan-Penganggaran.

Kegagalan dalam reformasi kelembagaan dan SDM perencanaan akan menjadi pangkal kegagalan pembangunan di daerah. Lalu KUA & PPAS menjadi pedoman bagi OPD dalam menyusun Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) masing-masing OPD. Lalu RKA OPD ini menjadi pedoman Pemerintah Daerah dalam menyusun RAPBD. Pada konteks ini, missing-link sering terjadi pada penentuan indikator output dan outcome karena OPD belum terbiasa bekerja berdasarkan indikator, hanya terbiasa bekerja berdasarkan Business as Usual (BAU).

Dalam konteks perencanaan, semua daerah mempedomani Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Rencana Pembangunan dan operasionalnya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017. Kelemahannya adalah, paradigma berpikir masih pada tataran Uang Mengikuti Fungsi, belum menjalankan Uang Mengikuti Program. Seiring berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017, maka berlaku paradigma uang mengikuti program, program mengikuti hasil, meninggalkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 yang tidak berlaku. Sayangnya, implementasinya masih menggunakan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, paradigma tetap Uang Mengikuti Fungsi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah melahirkan berbagai turunan regulasi yang patut dibaca dan dirujuk oleh penyelenggara daerah dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran agar tidak terjadi planning-budgeting by unsincronizing. Regulasi tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 merupakan jabaran dari Amanah Pasal 232 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah merupakan jabaran amanah Pasal 353 dan Pasal 383 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2017 Tentang Inovasi Daerah merupakan jabaran Amanah Pasal 390 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah merupakan jabaran amanah Amanat Pasal 354 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Standar Pelayanan Minimal merupakan jabaran amanat Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Lebih lanjut Peraturan Pemerintah di atas terjabarkan lagi dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 55 Tahun 2017, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 90 Tahun 2019, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2020, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2020, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020.

Dalam konteks daerah, Koordinasi menjadi kata yang mahal dalam penyusunan dokumen perencanaan. Peran TAPD belum berfungsi optimal, sehingga koordinasi hanya berakhir pada kopi susu rokok dan nasi (koordinasi). Integrasi merupakan kata yang minim terjadi terutama karena sistem belum terbangun. Eksekutif belum terbiasa bekerja Bersama-sama, tetapi masih bekerja pada tataran sama-sama bekerja. Sistem Informasi Perencanaan Daerah (SIPD) dan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) belum terintegrasi dalam pola kerja aparat sipil negara (ASN) belum tersistem yang saling terkait satu sama lain. Hal ini karena daerah lebih fokus pada peran aktor pembangunan, bukan pada digitalisasi sistem pembangunan. Sinkronisasi belum berjalan, karena ego tupoksi. Perencanaan Pembangunan putus pada dokumen RPKD sehingga sayang dokumen yang sangat selaras dengan RKP belum implementatif. Harmonisasi, bermakna bahwa regulasi yang disusun oleh Pemerinah Pusat seharusnya memberikan persepsi yang sama bagi penyelenggara negara di daerah sehingga dalam setiap pembahasan di DPRD, fokus diskusinya hanya pada hal-hal yang subtantif, bukan pada nominal besaran program dan kegiatan yang terkadang irasional.

Di Indonesia, ada tiga belas belas daerah kepulauan yakni Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat. Dalam konteks daerah kepulauan tersebut, ada Faktor-faktor penyebab Ketimpangan antar daerah adalah: Tingginya Kemiskinan dan Ketimpangan, Non-inklusivitas Pertumbuhan Ekonomi, Rendahnya Daya Saing Ekonomi Regional, Transportasi dan Komunikasi belum optimal, Akses, Kualitas dan Tata Kelola Pemerintahan belum optimal, Kualitas Pendidikan masih rendah, Adanya Efisiensi Manajemen Keuangan Daerah. Solusi utama dari permasalahan tersebut adalah memulai perubahan paradigma perencanaan. Paradigma uang mengikuti fungsi yang menekankan Perangkat Daerah atau Dinas/Badan sebagai aktor pembangunan pada step kedua bertransformasi menjadi paradigma Uang mengikuti Program, Program mengikuti hasil yang lebih mengedepankan Hasil mengikuti bakat. Program dan Kegiatan sebagai penekanan aktor utama pada step kedua setelah misi, sementara Regional Apparatus/Dinas/Badan berada pada step keempat. Kebutuhan akan Undang-Undang Kepulauan menjadi sebuah keniscayaan sebagai payung regulasi.

Tahap pertama adalah menentukan koefisien program yang merujuk pada urusan pemerintah. Hal ini dilakukan dengan cara menentukan Misi, lalu menentukan Misi Prioritas. Selanjutnya menentukan bobot masing-masing misi. Misi yang diprioritaskan adalah Misi yang mempunyai bobot yang besar. Selanjutnya, menentukan program yang mendukung pencapaian Misi sesuai pembobotan. Program tersebut diutamakan dengan mempertimbangkan program prioritas nasional di bidang Pendidikan, kesehatan, infrastruktur di urutan utama, program prioritas kepala daerah di urutan kedua, serta program rutin di urutan ketiga. Anggaran masing-masing program ditentukan oleh besaran bobot koefisien masing-masing program. Semakin besar koefisien bobot, maka semakin besar pula anggarannya. Semakin besar indikator program dan kegiatan, maka semakin besar pula anggarannya.

Pola cascading, dilakukan sebagai contoh bila Pemerintah Daerah ingin memperbaiki Kualitas Sumberdaya Manusia melalui transformasi Pendidikan dan Kesehatan Dasar, maka tujuan akhirnya adalah mewujudkan perbaikan SDM melalui Pendidikan vokasi dan kemudahan akses pada layanan dasar. Langkah pertama adalah menentukan indikatornya yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Lalu menentukan Sasaran Strategis yakni Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan, Kesehatan, Peningkatan Konsumsi Perkapita, Perlindungan Nilai Budaya Lokal, serta Peningkatan Peran Pemuda dan Olahraga. Indikator keberhasilan dan kegagalannya diukur melalui indeks pendidikan, indeks kesehatan, konsumsi perkapita, indeks pembangunan kebudayaan, indeks pembangunan pemuda. Adapun Dinas/badan yang menjadi focal point-nya adalah Urusan: Pendidikan, Kesehatan, Sekretariat Daerah, Kebudayaan, Urusan Pemuda dan Olahraga. Sedangkan urusan pendukung adalah Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan, Permukiman dan Pertanahan, Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA), serta perangkat daerah pelaksana program rutin. Perencanaan berbasis kinerja dapat diterapkan mengikuti langkah-lamgkah di atas

Beberapa kasus yang muncul di lapangan setelah implementasi adalah, pertama, Sasaran Strategis tidak terfokus pada hasil, namun masih berorientasi pada kegiatan. Kedua, Indikator Kinerja tidak mengukur hasil secara tepat. Sasarannya berorientasi pada hasil, namun indikatornya berorientasi kegiatan. Ketiga, Program/Kegiatan tidak terkait dengan pencapaian tujuan/hasil. Keempat, rincian kegiatan tidak sesuai dengan tujuan kegiatan. Spending review merupakan satu dari beberapa solusi yang terdiri dari reviu strategis yang fokus utamanya pada efektivitas dan skala prioritas, serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh. Reviu fungsional berfokus pada efisiensi atau bagaimana suatu kebijakan atau program dilaksanakan dengan sumberdaya lebih sedikit.

Transformasi Perencanaan-Penganggaran bagi belanja publik berkualitas dan inklusif dilakukan memperhatikan pula dua hal yakni penduduk difabel, penduduk lansia. Di Indonesia, menurut data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) Badan Pusat Statistik Tahun 2022, penyandang disabilitas mencapai 4.369.766 jiwa. Dari jumlah tersebut, 13,81 persen merupakan penyandang disabilitas miskin atau berjumlah 603.465 jiwa. Sedangkan penduduk lanjut usia mencapai 22.126.321 atau proporsinya mencapai 7,94 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia. Penduduk miskin lanjut usia mencapai 10,04 persen atau merepresentasi 2.221.483 jiwa.

Kemiskinan Penyandang Disabilitas terbanyak berdasarkan data Regsosek berada pada desil 1 (kategori “sangat miskin”) mencapai 941.415 jiwa atau proporsinya mencapai 21,54 persen dari keseluruhan penyandang disabilitas di Indonesia. Selanjutnya, penyandang disabilitas desil 2 (miskin) dan desil 3 (rentan miskin), berturut-turut mencapai 590.638 jiwa (13,52 persen) dan 420.953 jiwa (9,63 persen). Sedangkan penyandang disabilitas desil 4 (hampir miskin) mencapai 437.578 jiwa (10,01 persen). Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2023, di daratan Sulawesi, penyandang disabilitas terbanyak berada di Sulawesi Selatan mencapai 211.463 jiwa atau proporsinya mencapai 2,33 persen. Selanjutnya angka tersebut diikuti oleh penyandang disabilitas di Sulawesi Tengah mencapai 69.632 jiwa atau proporsinya 2,18 persen. Penyandang disabilitas di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara masing-masing mencapai 51.568 jiwa (2,01 persen) dan 49.311 jiwa (1,75 persen). Sedangkan penyandang disabilitas di Sulawesi Barat dan Gorontalo berturut-turut mencapai 28.186 jiwa (1,97 persen) dan 22.161 jiwa (1,87 persen).

Indonesia saat ini penduduknya bergerak menuju era struktur penduduk penuaan penduduk. Data tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 10 persen penduduk Indonesia adalah penduduk berusia 60 tahun ke atas. Selanjutnya, 18 provinsi memasuki masa Ageing Population yakni Jawa Timur (15,57 persen), Jawa Barat (11,21 persen), Jawa Tengah (15,05 persen), Banten (10,11 persen), Jakarta (10,18 persen), Sulawesi Selatan (11,97 persen), Lampung (11,07 persen), Sumatra Barat (10,46 persen), Nusa Tenggara Timur (10,06 persen), Nusa Tenggara Barat (10,20 persen), Kalimantan Selatan (10,81 persen), Jambi (10,23 persen), Sulawesi Utara (13,70 persen), Bengkulu (10,51 persen), Bangka Belitung (10,15 persen), Gorontalo (10,45 persen), DIY (16,02 persen dan Bali (13,97 persen). Enam daerah bergerak hampir memasuki ageing population adalah Sumatra Utara (9,75 persen), Sumatra Selatan (9,92 persen), Kalimantan Barat (9,67 persen), Kalimantan Timur (9,09 persen), Sulawesi Tengah (9,63 persen), Maluku (9,52 persen). Perubahan struktur kependudukan memiliki berbagai tantangan bagi perumusan kebijakan inklusif seperti: akses layanan dasar bagi penyandang difabel dan penduduk lanjut usia, perlindungan sosial dan pemberdayaan kelembagaan ekonomi, kesehatan bagi penyandang disabilitas dan perubahan fisik, mental dan perilaku di masa lanjut usia, kesejahteraan sosial hingga perawatan termasuk homecare dan kohesi sosial, asuransi maupun perilaku menghadapi perubahan iklim.

Adanya konstetasi politik pada 27 November 2024 di daerah menjadi momen bagi kita mengkaji apakah setiap kandidat fokus dan lokus implementasi Visi dan Misi pembangunannya pada inklusivitas pertumbuhan ekonomi khususnya pada pertumbuhan berkeadilan secara tematik dan spasial? Pada konteks transformasi perencanaan-penganggaran bagi pelayanan publik berkulitas dan inklusif, tentunya kita menghendaki adanya pertama, perubahan paradigma dari money follow function ke money follow program, program follow result, result follow talent. Kedua, baik pada tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, integrasi bagan akun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus dilakukan sesegera mungkin agar program/kegiatan yang selama ini bersinegi dan berkolaborasi dalam makna peralihan dari sama-sama bekerja menjadi bekerja Bersama-sama. Ketiga, untuk menghindari terjadi fenomena “merencanakan kegagalan dan menggagalkan perencanaan”, sepatutnya makna Peraturan Pemerintah Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 dapat digaungkan dalam setiap pendampingan perencanaan-penganggaran di tingkat daerah. Penentuan indikator program dan kegiatan menjadi bagian dari diskusi kelompok terpumpun dan pendampingan di daerah. Implementasi inilah terkandung makna Sinergi dan Kolaborasi untuk Akselerasi Layanan Dasar bagi semua, semoga.

*) Mohamad Ahlis Djirimu, Associate Professor FEB-Untad

    

 

tengah 1