Tegas, Transparan, dan Transformasional: Sikap Purbaya yang Menegakkan Martabat Birokrasi
Oleh: Mohsen Hasan Alhinduan, Pemerhati Sosial, Politik, Budaya & Isu Global - Dewan Pakar DPP Partai NasDem
KETIKA Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa 26 pegawai Direktorat Jenderal Pajak harus dipecat karena terbukti menerima uang di luar kewenangan, publik melihat bukan hanya tindakan administratif, tetapi sebuah pernyataan moral: bahwa integritas tidak bisa ditawar.
“Dia menemukan orang-orang yang menerima uang, yang enggak bisa diampuni lagi, ya dipecat, ya biar aja,” ujar Purbaya lugas. Kalimat yang sederhana, namun mengandung pesan kuat negara ini tidak lagi memberi ruang bagi oknum yang mencederai kepercayaan publik.
Etika sebagai Pondasi Kekuasaan
Dalam dunia birokrasi, kekuasaan tanpa moral ibarat pedang tanpa sarung tajam, tetapi mudah melukai siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
Langkah Purbaya menunjukkan bahwa etika harus menjadi pondasi setiap kekuasaan administratif. Ketika seseorang diberi wewenang untuk mengelola pajak, ia sejatinya sedang memegang amanah rakyat, bukan kekuasaan pribadi.
Penerimaan uang di luar tugas formal bukan sekadar pelanggaran disiplin, melainkan pengkhianatan terhadap mandat publik. Karena itu, pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) adalah konsekuensi logis yang tidak perlu ditawar.
Dalam pandangan kepemimpinan moral, tindakan ini adalah pemurnian nilai. Ia mengingatkan kembali kepada aparatur negara bahwa jabatan adalah pelayanan, bukan privilese.
Selama bertahun-tahun, reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan sering disebut sebagai yang paling progresif di antara lembaga lain. Namun berbagai kasus dari gaya hidup mewah hingga gratifikasi membuat publik kembali ragu terhadap makna kata “reformasi” itu sendiri.
Di titik inilah, tindakan Purbaya mengembalikan makna sejati reformasi: berani membersihkan rumah sendiri.
Ia tidak sekadar menyampaikan slogan integritas, melainkan memberikan teladan bahwa accountability dimulai dari tindakan nyata. Dalam konteks kepemimpinan modern, ini disebut “restorative leadership” pemimpin yang menata ulang nilai moral lembaga dengan keberanian moral.
Sikap ini penting karena dalam birokrasi yang besar seperti Kementerian Keuangan, pembusukan moral tidak terjadi karena banyaknya orang jahat, tetapi karena sedikitnya orang baik yang berani bersuara.
Purbaya memilih jalan sulit itu: menegakkan disiplin sekaligus memulihkan martabat institusi.
Menegakkan Meritokrasi, Menolak Nepotisme
Indonesia sering berbicara tentang good governance, tetapi masih sulit mempraktikkannya secara konsisten.
Di banyak lembaga, integritas sering terhenti di tataran slogan. Ketika pejabat berani mengambil tindakan tegas tanpa pandang bulu, sebenarnya ia sedang membangun pondasi meritokrasi sistem di mana karier dan penghargaan didasarkan pada kemampuan dan etika, bukan kedekatan atau koneksi.
Dengan menegakkan sanksi berat terhadap pelaku pelanggaran, Purbaya juga mengirimkan pesan kepada publik bahwa negara tidak kekurangan orang jujur.
Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk menempatkan mereka di posisi yang tepat, tanpa kompromi terhadap pelaku penyimpangan.
Pemulihan Kepercayaan Publik
Tantangan terbesar birokrasi saat ini bukan hanya efisiensi, melainkan krisis kepercayaan. Masyarakat yang taat membayar pajak berhak mendapatkan keyakinan bahwa uang mereka tidak diselewengkan oleh oknum.
Kepercayaan itu tidak bisa dipulihkan dengan iklan layanan publik atau kampanye moral, melainkan melalui tindakan nyata yang konsisten.
Sikap Purbaya, dalam konteks ini, adalah terapi kepercayaan publik. Ia menunjukkan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap pelanggaran internal. Dan yang lebih penting — ia tidak membiarkan pelaku berlindung di balik status ASN.
Inilah bentuk tanggung jawab yang jarang muncul: pemimpin yang tidak hanya bicara akuntabilitas, tetapi mempraktikkannya.
Reformasi sejati bukan hanya menulis aturan baru, tetapi menumbuhkan budaya baru. Ketika pegawai tahu bahwa pelanggaran sekecil apa pun tidak akan ditoleransi, mereka belajar menghormati jabatan sebagai amanah, bukan alat mencari keuntungan. Ketika publik melihat pemimpin bersikap jujur dan tegas, mereka belajar percaya bahwa negara ini masih punya arah moral.
Itulah inti dari governance with soul pemerintahan yang menegakkan hukum dengan nurani.
Dan sikap Purbaya menjadi contoh nyata bahwa kejujuran bukan hanya urusan pribadi, melainkan strategi nasional untuk memulihkan kepercayaan terhadap negara.
Dalam situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, reformasi internal menjadi faktor penentu ketahanan bangsa.
Purbaya Yudhi Sadewa telah menunjukkan bahwa menjaga integritas birokrasi sama pentingnya dengan menjaga stabilitas fiskal.
Tindakan memecat pegawai yang menyeleweng mungkin terasa keras, tetapi justru di sanalah letak kasih sayang terhadap bangsa — karena tanpa disiplin moral, negara akan terus bocor dari dalam.
Sikap tegas, transparan, dan transformasional seperti ini seharusnya tidak hanya menjadi berita, tetapi menjadi budaya. Sebab di tengah hiruk-pikuk politik dan kepentingan, masih ada pejabat yang berani berkata: “yang salah harus dipecat, titik.”
Dan dari keberanian moral semacam inilah, peradaban yang bersih dan adil bisa tumbuh kembali. (*)
Apa Reaksimu?


