Menuju Kampus Mandiri
Oleh: Suparman, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako
DI setiap masa perubahan besar dalam dunia pendidikan tinggi, selalu ada keraguan yang bersembunyi di balik harapan. Kampus yang sedang bergerak menuju bentuk baru seperti halnya negara yang mengganti sistem: Untad menanggalkan kulit lamanya, sekaligus menata ulang cara berpikir. Itulah fase yang kini mulai didekati oleh Universitas Tadulako. Sebuah momentum ketika pilihan Untad harus ditentukan: tetap melangkah sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (BLU), atau berani melompat menuju status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Status itu menjanjikan kemandirian, kelincahan, kreativitas, dan daya saing global.
Perubahan ini bukanlah jalan sunyi. Ia telah dilalui oleh beberapa perguruan tinggi besar di Indonesia, salah satunya Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Jawa Timur. Dari perjalanan kampus itu, kita belajar bahwa transformasi menuju PTN BH, bukan sekadar perubahan administrasi semata. Untad harus melakukan metamorfosis cara hidup seluruh ekosistem kampus.
Momentum inilah yang menjadi dasar dilaksanakannya Workshop “Penguatan Kemitraan Perguruan Tinggi dengan Mitra Usaha dan Industri untuk Mendorong Income Generating Menuju Kampus PTN BH” pada Selasa, 18 November 2025. Suasana workshop bukan sekadar rapat rutin, tetapi ruang belajar kolektif untuk memetakan masa depan Untad melalui pengalaman empiris ITS. Salah satu momen paling penting dalam workshop itu hadir ketika Tri Joko Wahyu Adi, dari Direktorat Kerja Sama dan Pengelolaan Usaha ITS, membagikan kisah “susah dan senang” ITS selama mengarungi transformasi menjadi PTN BH. Ia berbicara bukan sebagai birokrat, tetapi sebagai saksi hidup dari perjalanan perubahan yang panjang. Suka duka perubahan status PTN BH memaksa ITS harus berubah, jika tidak maka tentu saja ITS akan selesai.
Belajar dari Pengalaman ITS
Sebuah kalimat yang menancap kuat di benak peserta: menjadi PTN BH itu seperti belajar berenang di lautan luas. Kadang arusnya tenang, kadang ombaknya tinggi. Tapi di situlah kita belajar menguasai arah. Tentu tidak mudah untuk menjalaninya.
Sepert pengalaman ITS, mengapa ITS justru merasakan banyak manfaat setelah menjadi PTN BH. Lima poin penting mengemuka: sebut saja, keluwesan akademik dan keuangan. Status PTN BH memberi ITS ruang luas untuk mengambil keputusan akademik dan finansial secara cepat dan tepat. Program studi yang relevan dengan dunia industri dapat dibuka tanpa menunggu putaran birokrasi panjang. Program studi dapat dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan dunia industri. Mengutip Peter Drucker: organisasi yang mampu beradaptasi lebih cepat daripada lingkungannya adalah yang akan bertahan. Selain itu, ITS juga memiliki kemandirian dalam mengelola finansial dan kreativitas bisnis. Dimana, ITS membangun teaching factory, unit usaha, dan riset demand-driven atas kebutuhan industri. Kampus tidak lagi bergantung penuh pada APBN. Kreativitas bisnis tumbuh, dan revenue meningkat. Pendek kata, ITS menjual apa saja untuk dapat menghasilkan.
Melalui pengalaman, terbuka kesempata ITS menjadi inovator. PTN BH memberi ruang legal bagi hilirisasi inovasi. ITS melesat melalui robotika, smart mobility, teknologi kelautan, hingga kendaraan listrik. Bahkan, ITS membuat motor listrik bagi Pemerintah Daerah Papua untuk melayani masyarakat pegunungan. Sebuah ikhtiar yang patut diapresiasi dengan bangga.
Menjalani status baru, tentu saja ITS melakukan perubahan dari budaya birokrasi ke budaya kerja. Ini adalah perubahan paling berat, namun paling menentukan. Budaya kampus berubah dari sekadar menjalankan SOP menjadi mengejar output, kualitas, dan layanan profesional. Ujungnya, tentu mudah bagi ITS, karena terbuknya jalan menuju World Class University. Dengan otonomi penuh, ITS mudah memperluas kerja sama global dan menggenjot reputasi akademik. Sesuai dengan pandangan, John Kotter mengingatkan: Perubahan besar dimulai dari keberanian mengambil keputusan sendiri.
Mengapa Kekhawatiran Itu Tetap Ada?
Meski banyak manfaat, perubahan status tetap membawa kecemasan. Dalam workshop tersebut, kekhawatiran itu muncul dari para peserta, dan kondisi seperti dirasakan civitas akademika Untad, juga hal serupa pernah terjadi di ITS. Seperti tekanan birokrasi dan adaptasi tata kelola baru. Sistem tata kelola, PTN BH membutuhkan Dewan Wali Amanat, struktur audit baru, manajemen risiko, dan standar kinerja yang ketat. Selain itu, kekhawatiran finansial. Pendapatan kampus harus dihasilkan sendiri. Tanpa ekosistem bisnis yang matang, PTN BH bisa menghadapi tekanan finansial besar. Kondisi ini sudah dirasakan banyak PTN BH yang tidak siap masuk dalam atmosfir akademik dengan beban kuangan yang tidak kecil. Tentu, saja ekspektasi kinerja yang tinggi bagi universitas dalam kerangka PTN BH. Mau atau tidak mau, seluruh dosen dituntut lebih produktif, lebih inovatif dan lebih kreatif. Tanpa ditunjung oleh itu, maka dosen akan keteteran. Tenaga kependidikan juga dituntut harus lebih gesit. Semuanya menjadi target-oriented. Dalam kondisi bayak kekhawatiran itu, kita pasti juga menghadapi konflik budaya dan pergeseran pola pikir. Dan, tentu saja terjadi transformasi budaya, menjadi tantangan paling berat. Alvin Toffler pernah menjelaskan mereka yang melek masa depan adalah yang mampu belajar, melupakan, dan belajar kembali.
Kita semua sadar atas banyaknya kekhawatiran tersebut, merujuk pada pengalaman dari kampus-kampus tersebut. ITS membuktikan bahwa transformasi menuju PTN BH memiliki hambatan riil antara lain, pendanaan bergeser dari subsidi negar ke kemandirian kampus, adanya sumber pendapatan lama kampus tidak cukup kuat untuk menopas beban biaya, belum siapnya ekosistem bisnis akademik karena belum terbangun, belum adanya sistem keuangan kampus yang modern dan kapabilitas SDM kampus yang belum merata. Tanpa ekosistem yang baik, PTN BH hanya akan menjadi status, bukan kekuatan. Bahkan, mungkin membuka luka yang menganga.
Pelajaran untuk Untad
Dalam sesi diskusi yang cukup panjang dan melelahkan tersebut. Civitas akademika Untad menyadari, transformasi tidak bisa dilakukan secara instan. Pikiran seperti ini bermuncul, jika kita belum sanggup menggap harus memaksakan diri. Disinilah ruang kontemplatif itu muncul. Namun, kita dapat memetik pelajaran penting dari ITS yang relevan bagi kampus Untad, antara lain membangun visi dan konsensus internal dengan komitmen bekerja bersama-sama dan kolaboratif. ITS berhasil karena perubahan disepakati bersama. Tadulako harus memulai dialog panjang, bukan percepatan dokumen. Seluruh pihak harus terlibat dari cita-cita besar ini. Yang tak kalah pentingnya, menyusun ekosistem Inovasi. Adanya Science Techno Park, teaching industry, dan pusat riset inovatif-produktif harus disiapkan sebelum status berubah. Semua ini harus didukung regulasi yang disiapkan jauh-jauh hari.
Ketika Untad berkeinginan masuk dalam arena itu, maka memodernisasi manajemen keuangan harus segera dikerjakan. Berbagai instrumen dan entitas harus dirapikan sedini mungkin. Sistem keuangan yang cepat, akurat, dan transparan adalah fondasi utama PTN BH. Bagaimana proses sistem dan mekanisme keuangan berlangsung secara real-time. Tanpa semua itu, maka kita sulit untuk dapat masuk dalam wilayah yang baru ini.
Untad sejak saat ini, harus menyusun peta jalan menciptakan budaya kerja inovatif dan poduktif. Budaya kerja lama harus digantikan dengan budaya layanan, profesionalisme, dan kecepatan. Tak boleh dilupakan, membangun kemitraan industri sebagai tulang punggung Income Generating. Pengalaman ITS berdiri kuat, karena kemitraannya luas: industri besar, UMKM, BUMN, hingga lembaga internasional.
Kalau ingin menjadi PTN BH, jangan bertanya berapa besar bantuan negara. Tetapi bertanya: seberapa besar nilai yang bisa kita tawarkan kepada dunia industri. Nilai tawaran yang tinggi akan mendatangkan pemasukan besar bagi institusi.
Lagi-lagi, Untad kini berada di perempatan jalan. Menjadi PTN BH, bukan hanya perubahan status, tetapi perubahan jati diri. Perubahan dari ketergantungan pada kemandirian, terutama kemandirian keuangan. Tak boleh lagi hanya bersumber pada Uang Kuliah Tunggal (UKT). Keragaman sumber pendapatan mejadikan PTN BH dapat berdiri kokoh dan mandiri.
Ada harapan, ada kekhawatiran, dan ada tantangan. Namun setiap perjalanan besar selalu dimulai dari langkah pertama. Langkah untuk percaya bahwa masa depan dapat dibentuk, bukan hanya ditunggu. Kemandirian kampus bukan tujuan akhir, tetapi pintu menuju kreativitas, inovasi, dan keberhasilan secara global.
Universitas Tadulako dapat mengambil langkah awal ini. Sebuah langkah penting dan strategis, yang mungkin kecil di kalender, tetapi sangat besar dalam sejarah transformasi kampus menuju kampus mandiri. Tentu saja semua ini tidak semudah membalikan telapak tangan. (*)
Apa Reaksimu?


