Selamat Datang Penganggur Terdidik
Oleh Moh. Ahlis Djirimu*
SAYA memberi warna merah judul di atas karena bila Penganggur Terdidik meningkat terus, fenomena ini dapat menjadi ancaman nyata pada ketahanan bangsa. Hampir setiap bulan, kita menyaksikan pemandangan kebahagiaan instan para keluarga saat menyaksikan anak, keponakan, mereka diwisuda sebagai sarjana maupun pasca sarjana pada berbagai perguruan tinggi di daerah ini. Mereka yang diwisuda adalah generasi yang beruntung, karena di luar kampus, ada 208.930 orang usia kuliah yang kurang beruntung tak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Mereka ini merepresentasikan 67,99 persen dari usia 19-24 tahun, generasi yang akan hilang kompetensinya, digilas oleh generasi migran yang sangat kompetitif.
Namun, pada sisi lain, pernahkah kita memikirkan, setelah kebahagiaan seperempat hari, mereka akan menjadi Penganggur Terdidik. Mereka lulusan Pendidikan Tinggi, namun, mereka kesulitan menciptakan maupun mendapatkan lapangan kerja yang sesuai disiplin ilmunya. Di saat perguruan tinggi sebagai penyedia pendidikan sibuk dengan indikator-indikator kinerja, akreditasi, sebaliknya, para lulusan yang telah meninggalkan PTN/PTS setahun, dua tahun, tiga tahun, malah menjadi Penganggur Terdidik. Apakah setiap PTN/PTS melakukan studi penelusuran (tracer study) berapa lama waiting time dibutuhkan menunggu mereka tiba pada pekerjaan benar-benar tepat sesuai disiplin ilmunya? Baru-baru ini sebuah kampus PTS di Jakarta yang mewisuda 7000 lulusannya menyebutkan bahwa 86 persen lulusannya telah diterima bekerja saat enam bulan sebelum tamat (T-6 bulan). Selain itu, saat penulis presentasi di LPEM-FEBUI dan berdiskusi dengan kawan ekonom yang pernah pimpin FEBUI dan UI berusaha mencapai target agar lulusan di FEBUI dapat diinden di bawah 6 bulan sebelum lulus. Apakah kita telah melakukan seperti ini?
Suatu ketika, seorang kawan Ketua Kadin di kabupaten berkisah pada saya bahwa dia baru saja memberikan pembekalan dan motivasi di Balai Latihan Kerja (BLK) yang diperuntukkan bagi lulusan SMA/SMK yang ingin menambah ketrampilan diri sebagai lifeskill. Betapa kagetnya beliau, saat menginventarisir di antara 150 peserta, hanya 6 orang yang lulusan SMK/SMA. Selebihnya adalah lulusan Strata 1 dan Strata 2. Ini mengindikasikan bahwa PTN/PTS tak dapat lagi diandalkan menjadi titik awal menjanjikan masa depan layak bagi lulusannya. PTN/PTS saat ini tidak lebih dari produsen secarik kertas formal yang diserahkan saat wisuda, sebagai konsekuensi kapitalisasi kampus. Kampus relatif hanya menjadi de-linkage lulusan dan bursa kerja, yang berarti cukup sampai pada produsen penganggur terdidik sebagai tupoksi supply side. PTN/PTS saat ini, menghadapi tantangan sebagai penyedia jasa Pendidikan (supply side) seperti rendahnya serapan lulusan, kurang efektifnya kualitas dan pemanfaatan dana Pendidikan, kurangnya perhatian pada pembangunan talenta sains dan teknologi, adanya kesenjangan antara pendidikan tinggi dan kebutuhan masyarakat, serta regulasi pendidikan yang cepat berubah.
Munculnya permasalahan ini karena perguruan tinggi belum antisipatif terhadap perubahan global. Perguruan tinggi masih berkutat pada Paradigma Pengajaran dengan berbagai perubahan kurikulum dari waktu ke waktu. Kapitalisasi kampus menyumbang pada stagnasi universitas sebagai kampus pengajaran karena menjadikan kampus otonom. Artinya PTN/PTS relatif masih dominan menjalankan Darma Tunggal yakni Pendidikan dan pengajaran yang tercermin pada pengajarnya memegang mata kuliah lebih dari beban kinerja dosen (BKD) maksimal 4 mata kuliah dengan 3 sistem kredit semester (SKS). Inilah penyebab mengapa kampus relatif belum berada pada kampus generasi kedua yakni kampus riset karena tersitanya waktu pada pengajaran dan riset hanya menjadi kebutuhan wajib naik pangkat/jabatan, apalagi bertransformasi menjadi kampus generasi ketiga yakni kampus kewirausahaan, kampus yang memberikan link & match hasil riset dan pengabdian, lalu berdampak pada masyarakat sekitar kampus. Pada sisi kampus generasi ketiga inilah penyiapan lifeskill lulusan.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM-FEBUI) setelah mengolah data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2025 menunjukkan bahwa di Indonesia ada 1,87 juta jiwa Penganggur Putus Asa mencari kerja. Jumlah ini meningkat dari Tahun 2024 mencapai 1,84 juta jiwa atau proporsinya terhadap total pengangguran terbuka meningkat dari 24,7 persen pada 2024 menjadi 25,7 persen. Angka ini bermakna bahwa seperempat para penganggur di Indonesia merupakan pengangguran putus asa yang disebabkan oleh empat hal yakni pertama, Sistem Pendidikan dan Pelatihan tidak sesuai kebutuhan. Kedua, Perubahan Struktur Industri dan Bias Seleksi. Ketiga, Kompetisi Tinggi dan Peluang Kerja minim di perkotaan, serta, keempat, Kurangnya akses pelatihan di perdesaan. Mayoritas di antara mereka atau 50,1 persen adalah penganggur berpendidikan SD/MI dan tak tamat SD/MI, 20,2 persen adalah SMP sederajat, 17,3 persen berpendidikan SMA dan 8,1 persen berpendidikan SMK. Adapun penganggur putus asa lulusan Diploma sampai dengan Strata 3 mencapai 4,3 persen atau berjumlah 80.410 orang yang di Sulteng diperkirakan mencapai 2.364 orang. Pemerintah telah dan sedang menempuh berbagai solusi yakni melaksanakan pelatihan kerja via Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, proyeksi penyerapan kerja pada Koperasi Desa, Replanting Perkebunan rakyat yang diperkirakan dapat menyerap lebih kurang 1,6 juta jiwa tenaga kerja, Program Magang bagi 96 ribu pekerja pada batch 1-3, serta Program Kampung nelayan dan Revitalisasi Kapal bagi 200 ribu pekerja.
Sulteng saat ini, menghadapi masalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yakni sebesar 49,70 ribu orang atau proporsinya 2,92 persen dari jumlah penduduk Sulteng dengan persentase pengangguran tertinggi berada di Kota Palu yakni 5,59 persen dan Kabupaten Banggai laut mencapai 3,69 persen di posisi kedua. Sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka di Morowali mencapai 2.84 persen, 3,11 persen di Kabupaten Banggai, serta 2,38 persen di Morowali Utara. TPT di Morowali tidak berubah dari Tahun 2023. Sedangkan TPT di Banggai berkurang 0,01 persen, sebaliknya, TPT Morowali Utara justru mengalami kenaikan 2,23 persen pada Tahun 2023 menjadi 2,38 persen pada 2024 atau naik 0,15 persen. Kita tidak mesti terpaku oleh angka rendahnya TPT tersebut karena definisi bekerja di Indonesia sangat sederhana yakni orang yang berusia 15 tahun ke atas bekerja 1 jam saja dalam seminggu sebelum sensus termasuk kategori bekerja.
Tingkat pengangguran terbuka laki-laki mencapai 2,69 persen lebih sedikit dibandingkan tingkat pengangguran terbuka Perempuan mencapai 3,29 persen. Pengangguran di Sulteng didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang menjadi ironi karena SMK disiapkan sebagai lifeskill memasuki lapangan kerja mencapai 5,48 persen. Sedangkan Tingkat pengangguran terbuka tertinggi kedua adalah lulusan Diploma IV, lulusan S1, S2, S3 mencapai 4,11 persen.
Investasi di Sulteng memang berdampak pada penyerapan Tenaga Kerja. Penyerapan Tenaga Kerja meningkat dari 40.959 jiwa pada 2022 menjadi 50.773 jiwa pada 2024 atau meningkat 11,34 persen. Di Tahun 2025, serapan Tenaga Kerja atas terbukanya lapangan kerja tersebut mencapai 22.329 jiwa. Namun demikian, terbukanya lapangan kerja tersebut, tidak serta merta menyerap 49,70 ribu jiwa penganggur di Sulteng. Terbukanya lapangan kerja tersebut justru dimanfaatkan oleh pekerja migran asal luar daerah yang kompetensi tinggi dan mereka bukan lulusan PTN/PTS di Sulteng karena hanya beberapa program studi yang mempunyai link and match.
Terbukanya lapangan kerja tersebut patut dimaknai bahwa investasi berada pada sektor padat modal pada Kawasan Industri yakni PT. Indonesia Morowali Industrial Park (PT. IMIP), PT. Wanxian Nickle Industries, PT. Transon Bumindo Resource, serta terakhir pada PT. Indonesia Huabao Industrial Park (PT. IHIP), serta eksplorasi dan ekspoitasi logam dasar nikel di Banggai dan Tojo Una-Una tidak serta merta pula menyerap para Penganggur Terdidik Sulteng. Tentu saja Kawasan Industri Padat Modal membutuhkan Tenaga Kerja berketrampilan tinggi, sehingga lulusan sarjana baru atau fresh graduate wajib mengikuti program ketrampilan di Balai Latihan Kerja (BLK) industri dan memiliki masa probation period atau masa percobaan sebagai tenaga kerja alih daya. Selain itu, korporasi lebih memilih tenaga kerja alih daya ketimbang pekerja tetap karena lebih mudah memberhentikan kontraknya tanpa pesangon.
Studi Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa distribusi kebutuhan tenaga kerja di wilayah pertambangan Sulteng adalah sebanyak 57,7 persen lulusan sarjana, 14,9 persen adalah SMA, 14,60 persen merupakan lulusan diploma dan 12,7 persen tidak dijelaskan.
Data lowongan pekerjaan menunjukkan bahwa Kawasan Industri berbasis logal dasar membutuhkan tenaga berketrampilan tinggi seperti Tehnik Pertambangan 20,93 persen, Tehnik Geologi 12,56 persen, Tehnik Sipil sebanyak 7,03 persen, Tehnik Kimia sebesar 6,44 persen, Tehnik Lingkungan sebanyak 6,37 persen, Tehnik Mesin sebanyak 5,10 persen, Tehnik Industri sebesar 4,48 persen, Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebanyak 3,17 persen, Tehnik Metalurgi sebanyak 2,66 persen, serta Tehnik Elektro sebanyak 2,33 persen. Apakah PTN/PTS di sulteng mempuyai prodi metalurgi, prodi keselamatan dan Kesehatan kerja (K3)? Saya yakin tidak ada. Dari fenomena di atas PTN/PTS di Sulteng hanya sampai pada perguruan tinggi generasi pertama yakni Kampus Pengajaran.
*) Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNTAD.
Apa Reaksimu?


