Buruh Sulawesi Tengah Minta Pengawasan Ketat UMP–UMK 2026
Aliansi Buruh Tadulako (ABT) Provinsi Sulawesi Tengah mendesak pemerintah memperketat pengawasan dalam penetapan dan penerapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2026. Desakan itu mengemuka dalam konsolidasi buruh yang digelar Kamis, 18 September, menyusul surat Kementerian Ketenagakerjaan yang meminta proses penetapan upah minimum segera dibahas di Dewan Pengupahan.
PALU, METROSULAWESI.NET - Aliansi Buruh Tadulako (ABT) Provinsi Sulawesi Tengah mendesak pemerintah memperketat pengawasan dalam penetapan dan penerapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2026. Desakan itu mengemuka dalam konsolidasi buruh yang digelar Kamis, 18 September, menyusul surat Kementerian Ketenagakerjaan yang meminta proses penetapan upah minimum segera dibahas di Dewan Pengupahan.
Konsolidasi tersebut diikuti tujuh serikat pekerja, yakni KSBSI, K.SBSI, KSPSI, FSP KEP, FSPMI, PPMI, dan FNPBI. Dalam pertemuan itu, buruh menilai problem pengupahan selama ini bukan semata pada mekanisme penetapan, melainkan pada lemahnya pengawasan dan penegakan aturan setelah upah minimum ditetapkan.
Aliansi Buruh Tadulako mencatat pelanggaran terhadap UMP dan UMK masih kerap terjadi di lapangan. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan telah menempatkan upah minimum sebagai jaring pengaman dan batas terendah yang wajib dipatuhi oleh pengusaha.
Kerangka pengupahan tersebut kemudian diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025, yang menegaskan penguatan rezim pengupahan nasional. Regulasi ini memperjelas kewajiban pengusaha membayar upah sesuai upah minimum yang ditetapkan serta memperkuat peran pemerintah daerah dan pengawas ketenagakerjaan dalam memastikan kepatuhan. Dalam konteks ini, upah minimum diposisikan sebagai batas paling rendah yang tidak dapat diturunkan dengan alasan apa pun, disertai mekanisme penindakan administratif terhadap pelanggaran pengupahan.
“Setiap tahun upah minimum ditetapkan, tetapi pelanggaran tetap berulang. Ini menunjukkan pengawasan belum berjalan efektif, meskipun kerangka regulasinya sudah semakin diperkuat,” ujar perwakilan Aliansi Buruh Tadulako.
Menurut Aliansi, tanpa pengawasan yang tegas, PP 36 Tahun 2021 yang diperkuat PP 49 Tahun 2025 berpotensi berhenti sebagai norma administratif. Negara dinilai belum sepenuhnya hadir untuk memastikan hasil pembahasan Dewan Pengupahan benar-benar dijalankan oleh pengusaha.
Selain soal upah minimum, Aliansi juga menyoroti masih minimnya penerapan Struktur dan Skala Upah di perusahaan. Padahal, rezim pengupahan mewajibkan penyusunan sistem upah berdasarkan jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi, sehingga UMK tidak dijadikan upah tunggal.
Aliansi Buruh Tadulako mendesak pemerintah daerah dan pengawas ketenagakerjaan agar menjalankan mandat PP 36 Tahun 2021 yang diperkuat PP 49 Tahun 2025 secara konsisten, serta tidak melakukan pembiaran terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan pengupahan hasil pembahasan Dewan Pengupahan 2026.
Sementara itu, Ketua Aliansi Buruh Tadulako, Abdul Wahyudin, menilai penguatan regulasi nasional perlu diikuti penyesuaian kebijakan di tingkat daerah. Ia menyoroti pentingnya revisi Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 1 Tahun 2019 tentang Ketenagakerjaan agar selaras dengan perkembangan regulasi nasional.
“Perda itu perlu diperbarui agar sejalan dengan penguatan rezim pengupahan nasional, sekaligus memberi dasar hukum yang lebih kuat bagi pengawasan dan pemberian sanksi di tingkat daerah,” kata Abdul Wahyudin.
Ke depan, Aliansi Buruh Tadulako menyatakan akan terus mengawal proses penetapan hingga penerapan UMP dan UMK 2026. Jika pelanggaran pengupahan masih terus terjadi, buruh menyatakan siap menempuh langkah lanjutan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. (din/*)
Apa Reaksimu?


