Hilirisasi Nikel Dan Arah Pembangunan Sulawesi Tengah 2045: Strategi Ekonomi Pasca Habisnya Sumber Daya Alam

Oleh: Nurul Fatima Khairunnisa*

Des 3, 2025 - 05:07
 0
Hilirisasi Nikel Dan Arah Pembangunan Sulawesi Tengah 2045: Strategi Ekonomi Pasca Habisnya Sumber Daya Alam
Nurul Fatima Khairunnisa, Mahasiswa S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. FOTO: DOK PRIBADI

SULAWESI Tengah sebagai satu di antara lima provinsi penghasil tambang di Indonesia kini menjadi sorotan. Hal ini karena ketersediaan Sumberdaya Alam (SDA) mineral kritis, khususnya nikel sebagai komoditas tidak terbarukan. Nikel diperkirakan hanya mampu bertahan sekitar 20- 25 tahun ke depan, Hal ini disebabkan karena terjadinya tingkat eksploitasi yang tinggi.

Ketergantungan ekonomi Kabupaten Morowali, Morowali Utara, lalu Banggai dan Tojo Una-Una dan sekitarnya terhadap sektor tambang logam dasar membuat daerah ini sangat rentan mengalami guncangan ekonomi ketika cadangan menurun. Selain itu, sebagian besar tenaga kerja lokal terikat pada industri ekstraktif sehingga berpotensi menimbulkan pengangguran besar-besaran di masa depan yang saat ini mencapai 49,70 ribu orang atau mencapai 2,94 persen dari jumlah penduduk Sulteng. Hal tersebut juga mempengaruhi beberapa sektor lainnya seperti transportasi, pendidikan,dan lingkungan.

Sektor Ekstraktif yang cepat inilah yang membuat cadangan nikel menurun.  Hal ini menyebabkan smelter kekurangan bahan baku (Ore), diikuti dengan penutupan fasilitas industri, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, serta penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang proporsinya disumbangkan oleh Sektor Pertambangan sebesar 16 persen dan Sektor Industri Pengolahan sebesar 41 persen menurut publikasi Badan Pusat Stastistik (BPS) Provinsi Sulteng pada triwulan III 2025. Pada horizon dalam jangka panjang, hal ini dapat memicu kemunduran wilayah Kawasan Industri dan guncangan ekonomi yang serius, serta dapat menimbulkan muncul Kota Hantu (Ghost City) bila exit strategy belum disiapkan serius sejak saat ini.

 Sejalan dengan kebijakan nasional, hilirisasi nikel mengalami perkembangan cukup signifikan, dari yang awalnya berbasis ekspor bijih mentah (ore), kemudian beralih ke pengolahan melalui smelter menghasilkan Nickle Piq Iron (NPI), hingga menghasilkan stainless steel, dan kini mulai masuk ke ekosistem baterai kendaraan listrik melalui produksi bahan prekursor dan material Electric Vehicle (EV). Meskipun demikian, ekosistem ini masih sangat bergantung pada pasokan bijih nikel, sehingga keberlanjutan industri tetap berada pada posisi yang rawan. Jadi, walaupun Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, tetapi ada masalah di sisi hulu yang terlihat dari impor nikel dari Filipina, negara yang hanya mempunyai proporsi produksi 4 persen nikel dunia.

Adapun pembelajaran dari praktik global menunjukkan pentingnya transformasi ekonomi pasca tambang yang dapat kita contoh yaitu wilayah Ruhr di Jerman, berhasil beralih dari kawasan tambang batubara menjadi pusat teknologi dan jasa industri hijau. Kitakyushu di Jepang sukses bertransformasi dari kota industri berat menjadi kota ramah lingkungan, sementara Finlandia unggul dalam teknologi daur ulang baterai dan material sirkular meskipun tidak memiliki banyak tambang. Praktik-praktik ini menegaskan bahwa hilirisasi harus bergeser dari ore-based industry menuju innovation-based industry.

Data yang bersumber dari kajian Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulteng pada pelaksanaan INDEF School of Political Economy (ISPE) pada 27-29 November 2025, yaitu mengenai identifikasi sumber pertumbuhan baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan menunjukkan untuk kedepannya, Sulawesi Tengah memiliki peluang besar untuk bertransformasi menjadi daerah yang unggul dalam sektor pertanian dalam arti luas yakni Sub Sektor Pangan dan Hortikultura, Agromaritim, dan Perkebunan. Namun untuk tercapainya hal tersebut diperlukan kebijakan yang terintegrasi. Dalam jangka pendek, Pemerintah perlu melakukan audit cadangan nikel secara transparan, menetapkan target tenaga kerja lokal tersertifikasi, memperkuat pengawasan lingkungan berbasis data satelit, serta menyusun Masterplan Pasca Tambang Sulawesi Tengah 2045. Pada jangka menengah, difokuskan pada penguatan perizinan dan tata kelola industri, sementara jangka panjang diarahkan pada transformasi Morowali, Morowali Utara menjadi kota industri hijau, pengembangan hub daur ulang baterai, diversifikasi ekonomi, hingga pembangunan pusat riset metalurgi dan energi untuk Asia Tenggara.

Dengan demikian, terwujudnya Sulawesi Tengah 2045, memerlukan adanya kontribusi dan kerja sama langsung dari Pemerintah, Masyarakat, dan Universitas, dan mitra Pembangunan lain secara pentahelix. (*)

*) Mahasiswa S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow