Purbaya vs Luhut: Antara Rasionalitas Fiskal dan Manuver Politik dalam Kasus MBG

Oleh: Mohsen Hasan A, Pemerhati Sosial, Politik, Budaya & Isu Global -Dewan Pakar DPP Partai Nasdem

Oktober 6, 2025 - 17:11
 0
Purbaya vs Luhut: Antara Rasionalitas Fiskal dan Manuver Politik dalam Kasus MBG
Dr.Mohsen Hasan Alhinduan,Lc.MA

PERGANTIAN Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa menandai babak baru dalam arah kebijakan fiskal Indonesia. Di tengah transisi politik dan ekonomi yang penuh tekanan, muncul peristiwa penting yang menguji keseimbangan antara akal sehat fiskal dan kecerdikan politik: yaitu sikap Purbaya terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) serta tanggapannya terhadap pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan.

Dua figur ini -Purbaya dan Luhut - merepresentasikan dua arus besar dalam tata kelola pemerintahan Indonesia:  teknokrasi fiskal yang mengutamakan disiplin dan data; dan politik pembangunan yang mengutamakan simbol populis dan percepatan ekonomi.

Pertanyaannya kemudian: apakah sikap tegas Purbaya dalam menghadapi kasus MBG dan tanggapannya terhadap Luhut merupakan bentuk kecerdasan rasional atau manuver politis?

Dalam studi ekonomi politik modern, terdapat dua kutub ekstrem yang sering berhadap-hadapan dalam pemerintahan:

1)    Fiscal Prudence — menekankan pada stabilitas, efisiensi, dan akuntabilitas keuangan negara.

2)    Fiscal Populism — menekankan pada program populis dan kebijakan ekspansif yang memberi manfaat langsung bagi rakyat, namun sering kali mengabaikan keberlanjutan fiskal.

Menurut teori kebijakan publik Weberian, seorang birokrat sejati mesti menjaga netralitas administratif, namun dalam praktik negara demokrasi berkembang, netralitas itu selalu bernegosiasi dengan tekanan politik. Dalam konteks Indonesia, posisi Purbaya sebagai Menteri Keuangan tidak dapat dilepaskan dari keseimbangan dua logika ini: logika teknokratik (akuntabilitas fiskal) dan logika politis (konsolidasi kekuasaan).

Kasus MBG: Ujian Awal bagi Purbaya

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan kebijakan unggulan pemerintah baru simbol komitmen terhadap pemerataan sosial dan pengentasan gizi anak bangsa. Namun implementasinya diwarnai laporan keracunan massal, pelanggaran prosedur distribusi, dan serapan anggaran yang tidak merata.

Ketika Luhut Binsar Pandjaitan, selaku Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), memperingatkan agar anggaran MBG tidak “disunat”, Purbaya justru menegaskan bahwa: “Jika serapan rendah hingga akhir Oktober, kami akan evaluasi dan potong anggaran yang tidak efektif.”

Sikap ini menjadi sorotan publik karena jarang ada pejabat ekonomi yang secara terbuka menegaskan potensi cutback terhadap program prioritas pemerintah yang berlabel sosial. Namun di balik ketegasan itu, tersimpan makna strategis.

Dari kacamata administrasi publik dan kebijakan fiskal, langkah Purbaya dapat dikategorikan sebagai bentuk rational accountability sebuah pendekatan untuk menjaga efisiensi tanpa mengorbankan legitimasi sosial.

Beberapa alasan akademis mendukung pendekatan ini:

Prinsip Value for Money (VfM)

Dalam kebijakan keuangan publik, setiap rupiah harus memberikan hasil yang terukur. Bila anggaran MBG tidak terserap dengan baik atau menimbulkan risiko kesehatan, evaluasi bahkan pemotongan adalah langkah logis dan legal.

Fiscal Guard Function

Menteri Keuangan bertanggung jawab bukan hanya kepada presiden, tetapi juga kepada rakyat sebagai pemilik dana publik. Dalam teori principal–agent, Purbaya  sebagai “agen fiskal” harus memastikan dana publik tidak disalahgunakan, meskipun tekanan politik datang dari “principal politik.”

Responsibilitas Moral dan Birokratik

Tindakan mengoreksi kebijakan populis tidak berarti menolak program sosial, tetapi menjaga keberlanjutannya agar tidak menjadi proyek simbolik tanpa manfaat substantif. Dengan demikian, dari perspektif akademis, sikap Purbaya bisa dinilai cerdas dan rasional, sejauh ia didasari oleh data, transparansi, dan mekanisme evaluasi objektif.

Namun, analisis politik menampilkan wajah lain dari peristiwa yang sama. Sikap tegas Purbaya bukan sekadar rasional, melainkan juga sinyal politik bahwa ia ingin tampil sebagai menteri keuangan yang mandiri dan berani di hadapan figur senior seperti Luhut.

Ada tiga dimensi politis yang melekat dalam tindakannya:

Simbolisasi Kemandirian Teknis

Dalam pemerintahan baru, Purbaya berusaha menunjukkan bahwa ia bukan sekadar penerus Mulyani, tetapi figur dengan otoritas sendiri. Ketegasan terhadap Luhut adalah pesan simbolik: “Kementerian Keuangan bukan perpanjangan tangan kekuasaan, melainkan penjaga uang negara.”

Strategi Komunikasi Publik

Dengan tampil tegas di ruang publik, ia membangun citra “menteri pro rakyat tapi disiplin fiskal” sebuah kombinasi langka di Indonesia.

Ini langkah yang cerdas sekaligus berisiko, sebab ia bermain di garis tipis antara populisme rasional dan opportunisme politik.

Negosiasi Kekuasaan di Kabinet

Dalam politik kabinet, setiap sikap publik adalah bagian dari power signaling.

Dengan melawan tekanan halus dari Luhut, Purbaya menegaskan bahwa ia bukan bawahan politik, melainkan mitra strategis dalam arsitektur fiskal.

Antara Kecerdasan dan Risiko

Dalam konteks politik pemerintahan, sikap cerdas sekaligus berisiko Purbaya dapat dibaca melalui dua skenario:

Skenario A – Cerdas dan Visioner

Jika ia mampu membuktikan bahwa kebijakan evaluatifnya terhadap MBG meningkatkan efisiensi dan kepercayaan publik, maka Purbaya akan dikenang sebagai reformis fiskal yang menyeimbangkan keberanian politik dengan integritas teknokratik. Ia akan menjadi simbol “menteri rakyat yang rasional.”

Skenario B – Politis dan Konfrontatif

Namun, bila komunikasinya tidak diiringi hasil konkret atau memicu konflik terbuka dengan Luhut dan kelompok politik lain,  maka sikap tegasnya akan dianggap arogansi politis yang menimbulkan ketegangan di kabinet.

Dalam skenario ini, Purbaya akan terlihat bukan sebagai reformis, tetapi sebagai aktor politis yang kehilangan arah fiskal.

Purbaya saat ini berdiri di garis batas antara akal sehat ekonomi dan tekanan politik kekuasaan. Ia menghadapi dilema klasik seorang teknokrat di negara demokrasi:

 “Bagaimana menjaga uang rakyat tanpa kehilangan dukungan penguasa?”

Seperti kata Niccolò Machiavelli dalam The Prince, “Dalam politik, menjadi benar tidak selalu membuatmu aman; tetapi tanpa kebenaran, kekuasaan tidak akan bertahan lama.”

Sikap Purbaya adalah ujian bagi moralitas fiskal Indonesia: Apakah rasionalitas masih punya tempat dalam politik yang semakin emosional?

Sikap Purbaya dalam kasus MBG dan tanggapannya terhadap Luhut adalah gabungan antara kecerdasan teknokratik dan kecerdikan politis.

Ia tidak hanya menguji sistem akuntabilitas keuangan negara, tetapi juga struktur kekuasaan di dalamnya.

Jika langkahnya dijalankan dengan  konsistensi, transparansi, dan komunikasi publik yang elegan, maka Indonesia mungkin sedang menyaksikan lahirnya model baru kepemimpinan fiskal: menteri yang berani seperti politisi, tetapi berpikir seperti ekonom. Namun bila ia gagal menjaga keseimbangan ini, sejarah akan mencatatnya bukan sebagai reformis, melainkan sebagai simbol betapa sulitnya menjadi cerdas di tengah pusaran politik.

Senin,06 Oktober 2025

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow