Isolasi Israel di PBB dan Retorika Iran: Analisis Akademik serta Proyeksi Dampaknya bagi Indonesia ASEAN
Oleh: Mohsen Hasan A., Pemerhati Sosial, Politik, Budaya, Isu Global - Dewan Pakar DPP Partai NasDem

MAJELIS Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini menjadi panggung diplomasi yang menarik perhatian dunia. Pidato Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, justru memicu aksi walk out serentak dari sejumlah diplomat internasional. Fenomena ini kemudian dimanfaatkan oleh Iran melalui ejekan publik yang menegaskan klaim isolasi Israel di arena global.
Esai ini menganalisis fenomena tersebut dengan menggunakan perspektif teori hubungan internasional, yaitu Realisme, Konstruktivisme, dan Teori Keamanan Kritis. Selain itu, esai ini mengkaji proyeksi dampaknya terhadap politik luar negeri Indonesia dan posisi ASEAN dalam geopolitik global.
Dari perspektif realisme, ejekan Iran terhadap Netanyahu adalah bagian dari perebutan kekuasaan dalam sistem internasional yang anarkis. Retorika keras Iran berfungsi sebagai soft power untuk meningkatkan posisi tawarnya dalam konstelasi politik global. Dengan menampilkan Israel sebagai rezim terisolasi, Iran ingin memperkuat legitimasi domestik sekaligus mempertegas perannya sebagai penantang hegemoni Barat.
Dari kacamata konstruktivis, walk out di PBB adalah bentuk artikulasi norma dan identitas. Negara-negara yang meninggalkan ruang sidang ingin menegaskan identitas moralnya: menolak agresi Israel terhadap Palestina. Iran memanfaatkan narasi ini dengan membingkai dirinya sebagai simbol perlawanan, sementara Israel dikonstruksikan sebagai aktor yang kehilangan legitimasi.
Dalam perspektif keamanan kritis, isu Palestina dipandang bukan hanya sekadar konflik antarnegara, melainkan sebagai krisis kemanusiaan global. Walk out di PBB dapat dimaknai sebagai “aksi securitization” upaya menjadikan isu Palestina sebagai ancaman kemanusiaan yang harus ditangani bersama. Iran memanfaatkan kerangka ini untuk memperkuat solidaritas global terhadap Palestina dan memperlemah narasi keamanan Israel.
Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar memiliki posisi historis sebagai pendukung Palestina. Aksi walk out dan ejekan Iran memperkuat legitimasi diplomasi Indonesia di PBB. Indonesia kemungkinan akan semakin vokal menuntut solusi dua negara, konsisten dengan amanat konstitusi untuk menentang penjajahan di atas dunia.
Eskalasi Iran–Israel berpotensi mengguncang jalur minyak global, terutama di Selat Hormuz. Indonesia sebagai negara net-importir minyak akan menghadapi tekanan fiskal akibat kenaikan harga energi. Ini menuntut strategi diversifikasi energi, peningkatan cadangan strategis, dan percepatan transisi energi domestik.
Sikap tegas terhadap Israel akan mendapat dukungan publik domestik. Namun, pemerintah perlu mengelola keseimbangan agar hubungan strategis dengan mitra Barat tidak terganggu, mengingat posisi Indonesia yang juga membutuhkan investasi dan akses pasar global.
ASEAN berpotensi terpecah dalam isu Palestina–Israel. Indonesia dan Malaysia konsisten bersuara keras, sementara Singapura, Thailand, dan Vietnam cenderung pragmatis. Fragmentasi ini mengurangi efektivitas ASEAN sebagai aktor kolektif dalam isu global.
Eskalasi di Timur Tengah berpotensi menaikkan harga energi, memengaruhi negara ASEAN yang sangat bergantung pada impor minyak seperti Filipina dan Thailand. Stabilitas pangan dan energi bisa menjadi isu sensitif yang berdampak pada keamanan domestik.
Meski terfragmentasi, ASEAN berpotensi menjadi “mediator alternatif” melalui forum multilateral. Posisi netral sebagian negara anggota dapat digunakan untuk membuka kanal komunikasi, memperkuat citra ASEAN sebagai aktor kawasan yang mampu berkontribusi pada perdamaian global.
Fenomena walk out di PBB dan ejekan Iran terhadap Netanyahu menunjukkan bagaimana diplomasi kontemporer tak hanya berlangsung melalui kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga melalui retorika, simbol, dan narasi.
Bagi Indonesia, momen ini memperkuat posisi diplomasi moralnya sekaligus menuntut kesiapan menghadapi risiko ekonomi dari eskalasi konflik. Bagi ASEAN, tantangan terbesar adalah menjaga kesatuan sikap di tengah perbedaan pandangan negara anggota, sekaligus memanfaatkan peluang untuk memainkan peran diplomatik yang lebih besar.
Dengan kata lain, peristiwa ini bukan sekadar ejekan diplomatik, melainkan refleksi dari dinamika geopolitik yang akan terus memengaruhi arah politik internasional, termasuk di kawasan Asia Tenggara. (*)
Apa Reaksimu?






