Iran di Bawah Bayang Snapback: Antara Retorika Keras, Tekanan Ekonomi, Dan Krisis Legitimasi

Oleh: Mohsen Hasan A., Pemerhati Sosial, Politik, Budaya, Isu Global - Dewan Pakar DPP Partai NasDem

Sep 29, 2025 - 11:34
 0
Iran di Bawah Bayang Snapback: Antara Retorika Keras, Tekanan Ekonomi, Dan Krisis Legitimasi
Mohsen Hasan A.

KEPUTUSAN PBB memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran melalui mekanisme snapback memunculkan gelombang baru ketegangan global. Inggris, Prancis, dan Jerman menuding Teheran melanggar kesepakatan nuklir JCPOA, sementara Iran bereaksi dengan menarik duta besarnya. Di balik drama diplomatik ini, ada tiga dimensi penting yang perlu dicermati: dampak ekonomi, dinamika politik domestik, dan implikasi geopolitik.

Sanksi baru memukul jantung ekonomi Iran. Rial terjun bebas, harga pangan melonjak, dan biaya hidup rakyat makin berat. Meskipun pemerintah menggaungkan retorika perlawanan, kenyataan di pasar menunjukkan lain: rakyat kecil yang menanggung beban paling besar. Fenomena ini menimbulkan jurang antara janji para mullah untuk melindungi kesejahteraan rakyat dengan kenyataan pahit di lapangan.

Para mullah di Teheran tampil tegas dan berani dalam menentang Barat. Namun sikap keras ini sekaligus mempersempit ruang manuver diplomasi.

Bagi pemerintah, sanksi menjadi dalih untuk memperkuat kontrol politik dan membungkam oposisi.

Bagi oposisi dan civil society, sanksi justru menjadi bukti bahwa strategi konfrontatif pemerintah gagal, membuat rakyat semakin miskin dan terisolasi.

Polarisasi pun makin tajam: sebagian mendukung perlawanan demi martabat nasional, sebagian lain melihat rezim klerikal justru memperburuk keadaan. Eropa dan AS menegaskan bahwa langkah snapback adalah upaya menjaga non-proliferasi. Namun dunia Selatan memandang ada standar ganda yang jelas: Israel—yang tidak menandatangani NPT—tak mendapat perlakuan serupa. Bagi Iran, ini bukti bahwa hukum internasional hanya tajam ke satu pihak. Bagi dunia, ini menciptakan jurang kepercayaan terhadap sistem global yang mestinya adil dan konsisten.

Iran kini berada di persimpangan. Retorika tegas para mullah memberi kesan kekuatan, tetapi tekanan ekonomi dan sosial bisa menggerus legitimasi mereka dari dalam. Oposisi mendapat peluang moral untuk menuntut perubahan, meski represi tetap kuat. Dunia internasional juga menghadapi dilema: menekan Iran tanpa membiarkan rakyatnya jadi korban kolektif.

Apakah krisis ini akan melahirkan momentum diplomasi baru atau justru mempercepat erosi legitimasi rezim klerikal? Jawabannya tergantung pada dua hal: konsistensi komunitas internasional dalam menegakkan keadilan tanpa standar ganda, dan kemampuan rakyat Iran menuntut hak-hak mereka di tengah badai sanksi. (*)

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow