Antara ASEAN dan BRICS: Ke Mana Arah Politik Luar Negeri Indonesia?

Oleh: Rina Rizky Amalia*

Sep 8, 2025 - 05:36
 0
Antara ASEAN dan BRICS: Ke Mana Arah Politik Luar Negeri Indonesia?
Rina Rizky Amalia. FOTO: DOK PRIBADI

DUNIA internasional tengah mengalami pergeseran konstelasi kekuatan yang tak lagi didominasi satu kutub. Kemunculan BRICS sebagai simbol perlawanan terhadap tatanan global Barat membawa sinyal bahwa keseimbangan kekuatan (balance of power) bukan lagi sekadar teori klasik dalam hubungan internasional, tetapi realitas yang tengah dipertarungkan. Di tengah dinamika ini, Indonesia dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif berdiri di persimpangan. Antara kesetiaan historis pada ASEAN dan ketertarikan baru terhadap BRICS, muncul pertanyaan krusial: ke mana arah langkah diplomasi Indonesia selanjutnya?

Dunia tak lagi bisa disederhanakan dalam poros Timur dan Barat. Ketika BRICS menggugat dominasi Barat dan Global South mulai bersuara lantang, negara-negara seperti Indonesia berada dalam dilema strategis: tetap bermain aman bersama ASEAN, atau mulai membuka diri terhadap konstelasi kekuatan baru? Prinsip 'bebas aktif' yang dahulu menjadi kebanggaan, kini ditantang untuk lebih dari sekadar jargon.

Namun, peran Indonesia di kawasan melalui ASEAN belakangan ini menghadapi tantangan serius. Meskipun secara historis dipandang sebagai natural leader, kemampuan Indonesia untuk mendorong respons kolektif terhadap krisis regional seperti konflik militer di Myanmar dan eskalasi ketegangan di Laut China Selatan terbukti terbatas. Hal ini bukan semata karena kurangnya kemauan politik, tetapi juga karena arsitektur ASEAN yang menekankan prinsip non-intervensi dan pengambilan keputusan berbasis konsensus. Prinsip-prinsip ini, meskipun menjaga stabilitas internal, sering kali menjadikan ASEAN lamban, bahkan tidak relevan, dalam menghadapi isu-isu geopolitik yang menuntut posisi tegas dan aksi cepat.

Dalam konteks global yang semakin kompleks dan multipolar, keterbatasan tersebut membuka ruang bagi Indonesia untuk mulai melirik platform alternatif yang lebih fleksibel dan strategis salah satunya adalah BRICS. Kelompok negara-negara berkembang yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan ini kini mulai memainkan peran signifikan sebagai konstelasi tandingan terhadap dominasi tatanan global berbasis Barat, baik dalam aspek keuangan, teknologi, energi, hingga diplomasi multilateral. Bagi Indonesia, keterlibatan yang lebih aktif meskipun belum sebagai anggota penuh bisa menjadi jalan menuju diversifikasi mitra strategis global, serta memperkuat posisi sebagai aktor penting di tengah transformasi tata kelola dunia.


Tidak hanya itu, BRICS menawarkan kerangka kerja yang lebih progresif dalam memperjuangkan kepentingan Global South, termasuk dalam isu pembiayaan pembangunan, reformasi lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia, serta perimbangan narasi dalam forum-forum global. Bagi Indonesia, yang tengah mencari ruang manuver baru di luar poros tradisional Barat, peluang ini bukan sekadar simbolik, melainkan strategis. Tantangannya adalah bagaimana Indonesia dapat mengambil posisi yang cermat: tetap menjaga kredibilitasnya di ASEAN, namun tidak ragu untuk memainkan peran lebih aktif di panggung global melalui kolaborasi lintas kawasan.

Meskipun kehadiran Indonesia di BRICS membuka peluang strategis baru, pendekatan ini tidak bebas dari risiko. Keterlibatan yang lebih intens dengan blok ekonomi yang kerap diasosiasikan sebagai antitesis tatanan liberal internasional dapat menimbulkan persepsi bahwa Indonesia mulai condong ke kutub non-Barat. Dalam konteks hubungan internasional, persepsi adalah kekuatan itu sendiri sebagaimana ditegaskan oleh teori konstruktivisme yang melihat identitas dan narasi sebagai faktor pembentuk kepentingan negara. Jika persepsi tersebut menguat, Indonesia berpotensi menghadapi tekanan diplomatik dan ekonomi dari mitra-mitra tradisionalnya, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang telah menjadi mitra dagang, keamanan, dan teknologi utama selama beberapa dekade.

Kekhawatiran ini semakin relevan mengingat dinamika politik AS di bawah kepemimpinan Donald Trump, yang cenderung mengambil posisi unilateralis dan transaksional dalam membangun relasi bilateral. Masuknya Indonesia ke dalam orbit BRICS dapat dianggap sebagai "deviasi strategis" oleh Washington, yang berpotensi merespons dengan kebijakan luar negeri yang kurang akomodatif, seperti hambatan dagang, pembatasan teknologi, hingga berkurangnya dukungan dalam forum multilateral. Di sisi lain, manfaat langsung dari BRICS sendiri masih bersifat potensial dan belum tentu sebanding dengan konsekuensi geopolitik yang harus ditanggung.

Selain itu, keputusan untuk mendekat ke BRICS dapat memicu gesekan internal dalam kebijakan luar negeri Indonesia, yang selama ini dibangun di atas prinsip equidistance—berjarak sama terhadap semua kekuatan besar. Jika langkah ini tidak dibarengi dengan kalkulasi diplomatik yang matang, Indonesia justru bisa kehilangan reputasinya sebagai kekuatan menengah yang kredibel (credible middle power) dan kehilangan pengaruh dalam forum yang selama ini diandalkannya, seperti ASEAN dan G20. Maka dari itu, pertanyaan mendasarnya bukan sekadar apakah Indonesia perlu mendekat ke BRICS, tetapi apakah Indonesia siap untuk keluar dari zona nyaman netralitasnya dan memasuki arus persaingan geopolitik yang lebih tajam dan penuh konsekuensi.

Menjawab tantangan geopolitik abad ke-21 menuntut Indonesia untuk tidak lagi berlindung di balik slogan "bebas aktif" yang sekadar netral. Redefinisi terhadap prinsip ini harus dimaknai sebagai dorongan untuk lebih proaktif. Dunia saat ini bukan lagi panggung satu aktor tunggal, melainkan arena di mana banyak kekuatan bertarung dan berkolaborasi secara simultan. Di tengah gelombang perubahan global yang demikian cepat, Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton yang pasif. Politik luar negeri “bebas aktif” yang menjadi pilar selama ini haruslah berevolusi menjadi kebijakan yang lebih proaktif dan berani menentukan langkah untuk membentuk lingkungan strategis yang sesuai dengan kepentingan nasional bukan hanya bereaksi terhadap tekanan eksternal.

Dalam lanskap global yang semakin terfragmentasi, pendekatan multi-poros menjadi keniscayaan. Maka dari itu, Indonesia perlu berani membuka cakrawala baru dengan mengadopsi pendekatan multi-poros. Artinya, selain menjaga hubungan baik dengan negara-negara Barat yang selama ini menjadi mitra utama, Indonesia juga harus secara strategis membuka jalur kerja sama yang lebih berimbang dengan poros-poros baru seperti BRICS, Afrika, dan Timur Tengah. Ini bukan sekadar diversifikasi hubungan diplomatik, melainkan penegasan posisi Indonesia sebagai negara yang mampu beradaptasi dan mengambil peran di berbagai arena kekuatan global.

Lebih dari sekadar menyeimbangkan hubungan antarblok, Indonesia memiliki kesempatan unik untuk menjadi “jembatan” yang menghubungkan Global North dan Global South. Dalam dunia yang kerap terpecah oleh kepentingan yang berbeda, peran sebagai bridge-builder ini adalah kekuatan diplomasi yang nyata seperti memfasilitasi dialog, memperkuat kerja sama, dan membangun solidaritas antarnegara yang saling membutuhkan.

Dengan keberanian untuk berperan aktif dan visi yang jelas, Indonesia tidak hanya akan mempertahankan relevansinya di dunia internasional, tetapi juga menjadi kekuatan yang mendorong perdamaian, keadilan, dan kemakmuran bersama. Inilah saatnya Indonesia menyongsong era baru politik luar negeri yang lebih dinamis, inklusif, dan berwawasan jauh ke depan.

*) Penulis adalah Lulusan Hubungan Internasional, spesialisasi Diplomasi dan Studi Keamanan/Asisten Pengajar dan Peneliti di Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow