SP Palu Minta Hukum Berat Delapan Tersangka Kekerasan Seksual terhadap Anak di Bangkep
Kasus eksploitasi seksual terhadap anak berusia 11 tahun di Banggai Kepulauan yang menyeret delapan tersangka, termasuk anggota keluarga korban, memicu kecaman dari kalangan feminis dan pemerhati perempuan. Penegak hukum diminta bertindak tegas yang seadil-adilnya terhadap para pelaku.

PALU, METROSULAWESI.NET- Kasus eksploitasi seksual terhadap anak berusia 11 tahun di Banggai Kepulauan yang menyeret delapan tersangka, termasuk anggota keluarga korban, memicu kecaman dari kalangan feminis dan pemerhati perempuan. Penegak hukum diminta menghukum berat para pelaku.
“Tindakan tegas dan penegakan hukum seadil-adilnya sangat diperlukan. Perlindungan keamanan maksimal bagi korban, penyembuhan trauma yang dialami korban juga harus segera ditindak dengan secepatnya guna mencegah adanya gangguan psikologis bagi korban,” kata staf kampanye SP Palu, Amalia dalam keterangan tertulisnya kepada Metrosulawesi, Senin 13 Oktober 2025.
“Hukuman berat bagi semua pelaku tanpa terkecuali dua pelaku yang masih di bawah umur. Fakta bahwa pelaku utama melibatkan orang tua kandung serta pihak-pihak terdekat korban menambah kekejian peristiwa ini,” tambah Amalia.
Menurutnya, kekerasan seksual terhadap anak perempuan berakar pada budaya patriarki yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan dan anak pada posisi subordinat. Hubungan kekuasaan yang tidak setara ini menciptakan ruang bagi terjadinya kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki terhadap anak perempuan.
Amalia mengatakan, dari perspektif feminis, kekerasan ekonomi yang dilakukan oleh ibu kandung dengan menjual tubuh anak untuk melayani ‘pelanggan’ menunjukkan eksploitasi yang terjadi karena tekanan atau mekanisme struktur sosial-ekonomi yang menindas perempuan dan anak.
“Kekerasan seksual adalah bagian dari kekerasan berbasis gender. Anak perempuan dalam kasus ini menjadi korban ganda sebagai subjek kekerasan seksual laki-laki dalam keluarga dan objek eksploitasi ekonomi oleh ibu kandungnya,” katanya.
“Bagaimana seorang anak perempuan dianggap tidak memiliki kuasa atau kekuatan atas tubuhnya, ruang geraknya dianggap tidak penting. Adanya pelemahan tersebut membuka jalan bagi orang tua, saudara atapun orang lain melakukan eksploitasi terhadap anak,” tambahnya.
Terhadap peristiwa itu Solidaritas Perempuan (SP) Palu menuntut pemerintah dalam beberapa hal. Pertama, menodorong pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu dalam penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban tersebut, dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak atau UPTD PPA Kabupaten Banggai Kepulauan dalam menjalankan tugasnya dapat bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, LPSK, dan institusi lainnya.
Kedua, meminta pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan untuk melakukan pengenalan dan pencegahan seksual sejak dini pada anak, pemerintah, lembaga, dan masyarakat dapat berkolaborasi melalui berbagai kegiatan edukasi sejak dini mengenai tubuh dan batasan pribadi, pembentukan forum penanganan korban dan penguatan jejaringnya, serta sosialisasi Undang-undang Perlindungan Anak dan UU TPKS kepada masyarakat. Upaya ini meliputi advokasi, penyediaan pos pengaduan, konsultasi, rujukan, serta pelayanan kesehatan dan rehabilitasi bagi korban dengan melibatkan peran aktif anak, orang tua dan lembaga terkait.
Ketiga, Menuntut para pelaku kekerasan seksual dapat dituntut dengan pasal-pasal dalam UU TPKS yang memberikan ancaman pidana hingga 15 tahun penjara.
Keempat, mendorong Peradilan Negeri agar hak asuh anak dialihkan kepada pihak yang layak dan bertanggung jawab seperti anggota keluarga lain yang mampu memberikan pengasuhan, perlindungan, dan pemenuhan kebutuhan anak. (*)
Apa Reaksimu?






