Bahasa Kekuasaan: Dari Candaan Elit hingga Luka Rakyat
Oleh: Mohsen Hasan A, Pemerhati Sosial,Politik,Budaya& Isu Global

BAHASA, dalam peradaban bangsa, semestinya jadi perekat, penyejuk, dan teladan. Namun di panggung kekuasaan kita, bahasa justru sering jadi sumber luka.
Ketua Umum PAN yang juga Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, pernah melontarkan kalimat yang menusuk: “Rakyat jangan hanya minta-minta saja.”
"Tidak boleh rakyat kita ajarkan meminta-minta terus, sedekah terus," katanya dalam acara Zikir Kebangsaan di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat pada Ahad malam, 10 Agustus 2025.
Alih-alih memberi motivasi, ucapan ini terdengar merendahkan mereka yang justru tengah dihimpit krisis. Kata-kata seorang pejabat seharusnya menjadi penguat, bukan menambah luka sosial.
Belum reda, publik juga digegerkan dengan pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid pun sempat viral saat membahas terkait kepemilikan tanah masyarakat yang mengatakan tanah nganggur akan diambil pemerintah. Belakangan, ia menyebut itu hanya “candaan”. Masalahnya, apakah wajar urusan serius seperti tanah yang bagi rakyat kecil adalah sumber hidup dijadikan bahan guyonan pejabat negara? Candaan elit bisa menjadi keresahan nyata di akar rumput.
Lalu,Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggemparkan publik pembayaran pajak sama halnya dengan kewajiban mengeluarkan sebagian harta untuk zakat dan wakaf dalam syariat Islam. Menurut dia, di setiap harta milik orang, di dalamnya ada hak orang lain yang tidak mampu artinya menyamakan zakat dengan pajak. Padahal zakat adalah ibadah sakral dalam agama, sementara pajak adalah kewajiban negara. Penyamaan itu bukan hanya problem semantik, tapi bisa menyinggung aspek teologis sekaligus memperkeruh relasi negara dengan rakyat.
Bahasa elit kini seperti kehilangan akar etikanya. Di legislatif, perdebatan sering jadi arena makian. Di eksekutif, bahasa kekuasaan lebih banyak jadi alat pembenaran kebijakan. Di yudikatif, bahasa hukum kerap indah di atas kertas, tapi tak menyentuh rasa keadilan rakyat.
Kita mesti sadar: bahasa pejabat bukan sekadar retorika. Ia adalah wajah negara. Dan wajah itu kini tampak buram ketika bahasa berubah jadi candaan, pernyataan yang merendahkan, atau penyamaan konsep yang merusak rasa keadilan.
Pertanyaan mendesak bagi bangsa ini: apakah bahasa elit masih mewakili martabat rakyat, atau sekadar menjadi senjata politik untuk menutup borok kekuasaan?
Bahasa santun adalah penggunaan bahasa yang sopan, halus, dan penuh tata krama dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, yang bertujuan untuk menjaga hubungan baik dan menghindari konflik. Bahasa santun mencerminkan kesadaran akan perasaan orang lain dan kepatuhan pada norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Ketahuilah bahwa menggunakan ungkapan sopan, menunjukkan empati, dan memperhatikan norma budaya serta preferensi individu .
Sabtu, 16 Agustus 2025.
Apa Reaksimu?






