Gegara Lahan Huntap Tondo, Kemenkeu Digugat Ganti Kerugian Rp10

Sengketa lahan hunian tetap (Huntap) Tondo seperti tak ada habisnya. Kali ini, James Henry Hamdani, melalui dua pengacaranya, Isman SH Med, dan Erasmus CJ Bofe SH dari Lembaga Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (LBH-HAM) Sulawesi Tengah menggugat Kementerian Keungan (Kemenkeu). Mereka menuntut agar Kementerian Keuangan itu dihukum membayar 10 rupiah (Rp10).

Des 5, 2025 - 08:16
 0
Gegara Lahan Huntap Tondo, Kemenkeu Digugat Ganti Kerugian Rp10
Isman SH Med, kuasa hukum James Henry Hamdani. FOTO: DOK

PALU, METROSULAWESI.NET- Sengketa lahan hunian tetap (Huntap) Tondo seperti tak ada habisnya. Kali ini,  James Henry Hamdani, melalui dua pengacaranya, Isman SH Med, dan Erasmus CJ Bofe SH dari Lembaga Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (LBH-HAM) Sulawesi Tengah menggugat Kementerian Keungan (Kemenkeu). Mereka menuntut agar Kementerian Keuangan itu dihukum membayar 10 rupiah (Rp10).

Dalam gugatannya, penggugat menempatkan Kementerian Keuangan dan Kementerian PUPR masing-masing sebagai terugat IV tergugat V.  Sedangkan tergugat I hingga III adalah Pemkot, BPN Sulteng dan Pemprov Sulteng.

Isman mengatakan, dimasukkannya Kemenkeu dan Kementerian PUPR dalam perkara ini, karena kedua lembaga itu telah melakukan pembiaran dan tidak melakukan pengawasan. "Mereka tidak melakukan fungsi monitoring dan pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara, mengingat dana pembangunan hunian tetap Tondo sebagian besarnya diperoleh dari utang negara kepada Bank Dunia, APBN dan APBD yang sudah barang tentu dalam tujuan penggunaannya telah termasuk biaya ganti rugi lahan milik penggugat," jelas Isman.

"Maka dalam gugatan ini, kami memohon yang mulia majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini berkenan menjatuhkan hukuman kepada tergugat IV dan V, membayar ganti kerugian sebesar Rp10 (sepuluh rupiah), seraya memerintahkan untuk disetorkan ke kas negara," tambah Isman.

Seperti diberitakan, gugatan yang akan segera disidangkan di Pengadilan Negeri Palu pada Rabu 17 Desember 2025 itu, menyeret Pemkot Palu selaku tergugat I, dan BPN Sulteng dan Pemprov masing-masing sebagai tergugat II dan III.

Isman mengatakan, para tergugat tidak membayarkan ganti rugi terhadap lahan milik kliennya yang dijadikan lokasi pembangunan Huntap. "Di atas lahan klien kami di Jalan Jaksa Agung R Soeprapto Kelurahan Tondo, seluas kurang lebih 6.967 meter persegi itu sudah dibangun kurang lebih 60 unit huntap," kata Isman.

Menurut Isman, lokasi itu adalah sah milik kliennya, dibuktikan dengan sertipikat hak milik (SHM) atas nama James Henry selaku penggugat. "Ada tiga sertipikat semua atas nama klien kami. Total luas tanah seluruhnya 6.967 meter persegi," kata Isman.

Isman mengatakan, ganti rugi atas pembangunan huntap di lokasi milik kliennya itu beralasan dan dijamin oleh UU. "UU nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum, mewajibkan para tergugat untuk membayar ganti rugi atas tanah milik penggugat yang terdampak," kata Isman.

Isman menegaskan bahwa tanah milik kliennya itu bukan bagian dan tidak terikat pada HGB dan HGU manapun atau milik siapapun.

Kasus ini kata Isman berawal ketika Gubernur Sulteng menerbitkan SK penetapan lokasi Huntap tanggal 28 Desember 2018. SK itu menunjuk lokasi di Kelurahan Tondo yang tidak lain, sebagian dari lokasi itu masuk pada lahan milik kliennya.

Atas SK tersebut kata Isman, kemudian BPN Sulteng menerbitkan SK tentang pembatalan sertipikat atas nama I Made Sukarianta dkk, termasuk tiga bidang tanah di antaranya milik kliennya.

Belasan pemilik tanah itu kata Isman sempat menemui instansi yang bersangkutan, untuk meminta kejelasan status tanah mereka, yang tidak diberi ganti rugi sebagaimana diatur dalam UU, tapi tidak berhasil. "Upaya kekeluargaan tidak mendapat respons positif. Malah sebaliknya memperoleh tindakan intimidasi secara verbal oleh pemerintah dan aparat penegak hukum," kata Isman.

Karena tidak mendapat respons, penggugat menggugat SK pembatalan sertipikat tersebut ke PTUN Palu. Hasilnya, gugatan diterima, PTUN Palu dalam putusannya membatalkan SK pembatalan sertipikat tersebut karena dinilai cacad hukum administrasi. Putusan ini dikuatkan oleh PTTUN Makassar dan kini sudah berkekuatam hukum tetap.

Pasca putusan PTTUN Makassar itu, penggugat dan belasan pemilik tanah kembali menemui tergugat I hingga III untuk menuntut ganti rugi, namun lagi-lagi tidak mendapat respon. Mereka saling lempar tanggung jawab. Padahal dana pembebasan lahan telah tersedia.

Penggugat kata Isman kemudian mengajukan gugatan ke PN Palu pada 20 Maret 2023. Namun, PN Palu kala itu memutuskan gugatan tersebut tidak dapat diterima. Alasannya, karena tidak mencantumkan rincian mengenai kerugian yang dituntut.

Atas dasar itu kemudian penggugat menggunakan jasa penilai independen untuk melakukan penilaian yang wajar atas ganti rugi tanah penggugat. Hasilnya, berdasarkan penilaian jasa penilai independen itu, ganti rugi yang layak terhadap lahan seluas 6.967 meter persegi sebesar Rp6,2 miliar lebih.

"Dengan adanya harga yang wajah dan layak dari penilai independen, yang diperkuat dengan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, adalah wajar menurut hukum para tergugat dengan penuh iktikad baik memenuhi hak-hak penggugat sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 2 tahun 2012," kata Isman.

Dalam gugatannya, penggugat menuntut para tergugat untuk membayar kerugian materil sebesar Rp6,7 miliar lebih, dan kerugian immaterial sebesar Rp12,5 miliar. Di bagian lain, penggugat juga menuntut agar SK pembatalan sertipikat itu dibatalkan.  (din)

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow