Politik Kita dan Panggung Dramatologi Kekuasaan

Oleh: Mohsen Hasan A, Pemerhati Sosial, Politik, Budaya & Isu Global

Agustus 25, 2025 - 10:09
 0
Politik Kita dan Panggung Dramatologi Kekuasaan
Mohsen Hasan A

DALAM politik Indonesia—dan hampir di seluruh demokrasi modern—yang paling menonjol hari ini bukan lagi adu gagasan, melainkan adu peran. Bukan kontestasi visi, tetapi kompetisi akting. Inilah wajah politik yang kian sarat dengan nuansa dramatologi.

Konsep dramatologi pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Amerika, Erving Goffman dalam karyanya The Presentation of Self in Everyday Life (1956). Menurut Goffman, kehidupan sosial adalah panggung besar, dan setiap individu memainkan peran sesuai dengan harapan audiensinya. Dalam konteks politik, panggung itu adalah ruang publik, dan aktornya adalah para politisi yang berlomba-lomba tampil meyakinkan di hadapan rakyat dan media.

Kita dapat melihatnya setiap hari: Pejabat yang menangis di depan kamera saat mengunjungi lokasi bencana; Tokoh publik yang tiba-tiba aktif blusukan ke pasar menjelang pemilu; Rival politik yang tampak keras berdebat di depan publik, namun duduk semeja dalam negosiasi kekuasaan di balik layar.

Apakah itu semua tulus? Ataukah bagian dari sandiwara politik?


Penelitian Lembaga Survei Indonesia (2023) menunjukkan bahwa 73% masyarakat menilai politisi lebih sibuk membangun citra daripada menyelesaikan masalah substantif. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia.

Studi Harvard Kennedy School (2021) mengungkap bahwa di banyak negara demokrasi, kampanye politik telah bergeser dari debat programatik menuju pengelolaan persepsi (image management).

Dalam laporan OECD (2022), lebih dari 60% responden di 26 negara anggota menyatakan tidak percaya bahwa politisi akan memenuhi janji kampanye mereka.

Dengan kata lain, politik modern cenderung menjadi industri pencitraan. Konflik kerap dipertontonkan, keprihatinan dibuat-buat, bahkan “lawan politik” kadang diciptakan demi memperkuat posisi moral atau elektoral.

Di mana posisi rakyat dalam panggung ini?

Sering kali publik hanya menjadi penonton pasif: diminta bertepuk tangan; diajak percaya; lalu dilupakan setelah pemilu usai.

Menurut Edelman Trust Barometer (2024), hanya 34% masyarakat Indonesia percaya pada institusi politik, angka ini turun dari 45% pada 2020. Rendahnya kepercayaan ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara narasi politik yang ditampilkan dengan kenyataan di lapangan.

Jika rakyat tidak membekali diri dengan kesadaran kritis, demokrasi akan terus terjebak menjadi sekadar teater kekuasaan-lebih banyak drama daripada kebijakan.

Kita membutuhkan: Kejujuran dan transparansi, bukan sekadar panggung emosional; Konsistensi antara kata dan perbuatan, bukan kontradiksi antara janji dan realisasi; Kontrol publik yang aktif, bukan hanya reaksi saat pemilu.

Seperti yang diingatkan Francis Fukuyama (2014) dalam Political Order and Political Decay: “Demokrasi hanya bisa bertahan jika institusi politiknya memiliki legitimasi berbasis kinerja, bukan sekadar retorika.”

Demokrasi Indonesia tidak memerlukan lebih banyak drama; yang kita butuhkan adalah integritas dan keberanian untuk menyelesaikan masalah nyata.

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow