“Negeri Tanpa Nepotisme: Jalan Menuju Indonesia Maju”

Oleh Mohsen Hasan A, Pemerhati Sosial, Politik, Budaya & Isu Global - Dewan Pakar DPP Partai NasDem

Oktober 9, 2025 - 02:32
 0
“Negeri Tanpa Nepotisme: Jalan Menuju Indonesia Maju”
Mohsen Hasan A

PELANTIKAN pejabat baru atau praktik merangkap jabatan sering kali menimbulkan kesan seolah-olah negeri berpenduduk lebih dari 280 juta jiwa ini kekurangan tenaga ahli.

Padahal, Indonesia tidak pernah kekurangan orang pintar. Kita memiliki ribuan profesional, akademisi, dan pakar berintegritas di berbagai bidang namun banyak dari mereka tersisih bukan karena kurang kompeten, melainkan karena tidak memiliki koneksi politik atau hubungan kekuasaan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kompetensi belum menjadi ukuran utama dalam sistem pengambilan keputusan publik.Yang berlaku bukan meritokrasi, tetapi apa yang oleh sebagian orang disebut “mitokrasi” sistem semu yang menilai seseorang bukan dari kapasitasnya, melainkan dari siapa dia dekat, siapa keluarganya, dan partai mana yang menaunginya.Dalam sistem seperti ini, pendidikan tinggi, pengalaman profesional, dan rekam jejak kerja keras sering kali kalah oleh jaringan politik dan patronase kekuasaan.

Lebih parah lagi, ketika korupsi telah menjelma menjadi budaya struktural yang menembus lembaga hukum, birokrasi, dan politik, maka keadilan pun kehilangan maknanya.Hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.

Rakyat kecil mudah dijerat, sementara pelaku besar sering lolos dengan alasan prosedural atau kompromi politik.

Inilah ironi besar bangsa yang mengaku berlandaskan hukum, tetapi belum menjadikan hukum sebagai alat keadilan sejati.

Dari analisis ini jelas bahwa Indonesia tidak akan mampu melangkah menuju status negara maju dan bermartabat tanpa dua langkah besar: pertama, menegakkan sistem meritokrasi sejati yang menghargai kemampuan dan integritas di atas koneksi dan kekuasaan; dan kedua, melakukan perang total terhadap korupsi yang telah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan bernegara.

Selama dua hal itu tidak dijalankan dengan keberanian politik dan ketulusan moral,  maka kemajuan bangsa ini akan terus tersandera oleh kepentingan sempit dan ketidakadilan yang dibiarkan hidup terlalu lama.

Negeri yang Ramai Tapi Lambat

Indonesia adalah negeri yang selalu ramai oleh narasi besar, tetapi lambat dalam langkah nyata.Ramai dengan visi 2045, dengan jargon “Indonesia Emas”, dengan data pertumbuhan ekonomi, bahkan dengan cita-cita menjadi poros maritim dunia. Namun, di balik semua keramaian itu, kita masih menghadapi realitas yang mengkhawatirkan: kesenjangan sosial yang melebar, produktivitas yang stagnan, dan birokrasi yang gemuk tapi lamban.

Sumber daya alam kita luar biasa, bonus demografi tengah mencapai puncaknya,  dan modal sosial bangsa ini masih kuat. Tetapi satu hal yang sering luput disadari: potensi besar tidak berarti apa-apa jika tidak dikelola oleh sistem yang berbasis keadilan dan kompetensi.

Negeri ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan sistem yang menempatkan mereka di posisi yang layak. Kita memiliki banyak sarjana, cendekia, dan profesional hebat — tetapi berapa banyak dari mereka yang terpinggirkan hanya karena tidak memiliki “jalur politik”, “kedekatan dengan elite”, atau “darah keturunan yang tepat”

Inilah akar dari kemacetan kemajuan kita: nepotisme yang masih hidup dalam tubuh meritokrasi yang belum lahir.

Meritokrasi: Mengganti Darah dengan Kemampuan

Dalam sejarah modern, tidak ada satu pun negara yang menjadi maju tanpa meritokrasi.Jepang, Korea Selatan, dan Singapura adalah contoh klasik di Asia: mereka memilih orang terbaik untuk posisi strategis, bukan karena hubungan keluarga, melainkan karena kemampuan dan etika kerja. Meritokrasi bukan sekadar konsep administratif, tetapi moralitas publik keyakinan bahwa keadilan dan kemajuan hanya lahir jika semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing secara jujur.

Di Indonesia, meritokrasi masih sering dikalahkan oleh patronase dan loyalitas politik.Dalam banyak kasus, jabatan bukan lagi hasil kerja keras, tapi hasil negosiasi; promosi bukan penghargaan atas prestasi, melainkan tanda jasa atas dukungan.

Akibatnya, sistem pemerintahan sering kehilangan moral authority dan profesionalisme. Birokrasi menjadi penuh kompromi, dan kebijakan publik kehilangan tajinya karena diatur oleh orang yang tidak memiliki kapasitas teknis maupun kepekaan etis.

Sebuah bangsa akan gagal jika talenta terbaiknya memilih diam, apatis, atau pindah negara karena merasa tak punya ruang untuk berkontribusi.Indonesia tidak boleh jatuh ke dalam jebakan itu.

Jika kita sungguh ingin maju, maka kita harus mengganti darah dengan kemampuan, mengganti koneksi dengan kompetensi, mengganti kesetiaan semu dengan prestasi nyata.

Meritokrasi bukan hanya cara merekrut pejabat, tetapi cara berpikir tentang bangsa. Ia adalah peradaban yang menghormati usaha, bukan asal-usul. Ia adalah bentuk tertinggi dari keadilan sosial.

Korupsi: Racun yang Membusukkan dari Dalam

Namun meritokrasi tak akan pernah tumbuh di tanah yang busuk oleh korupsi. Korupsi adalah musuh yang lebih berbahaya dari invasi mana pun, karena ia menghancurkan dari dalam perlahan, senyap, tetapi mematikan.Ia menciptakan sistem di mana kebohongan lebih menguntungkan daripada kejujuran, dan integritas menjadi kelemahan, bukan kelebihan.

Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindakan individu yang tamak. Ia telah berubah menjadi ekosistem sosial-politik yang kompleks dari level izin usaha, tender proyek, jabatan publik, hingga pelayanan dasar. Ia menular dari atas ke bawah, hingga masyarakat pun menganggap “uang pelicin” sebagai hal yang wajar. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi negara menurun, dan keadilan sosial menjadi slogan tanpa isi.

Menurut Transparency International, setiap kenaikan satu poin dalam indeks persepsi korupsi dapat meningkatkan arus investasi asing secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya moral issue, tapi juga economic imperative.

Namun perang terhadap korupsi di Indonesia seringkali berhenti di tengah jalan.Lembaga-lembaga penegak hukum kehilangan daya, dan kasus-kasus besar lebih sering berujung pada kompromi politik. Padahal, tanpa keadilan yang konsisten, masyarakat akan kehilangan keyakinan bahwa negara bekerja untuk mereka.

Perang melawan korupsi harus menjadi gerakan lintas sektor dan lintas generasi.

Kita memerlukan tiga langkah strategis: Penegakan hukum tanpa pandang bulu, bahkan terhadap pejabat tinggi; Digitalisasi transparansi publik, termasuk melalui blockchain atau open data agar semua transaksi bisa diaudit public; Pendidikan karakter anti-korupsi sejak  dini bukan sebatas pelajaran, tapi pembiasaan nilai-nilai integritas di sekolah dan rumah. Korupsi tidak akan mati oleh pidato, ia hanya akan mati oleh sistem yang membuatnya mustahil untuk hidup.

Politik: Dari Panggung Transaksi ke Ruang Pengabdian

Politik adalah alat mulia jika diarahkan untuk pengabdian, tapi menjadi racun bila dijadikan transaksi. Sayangnya, politik Indonesia masih kerap menjadi panggung dagang kuasa. Koalisi dibentuk bukan karena kesamaan visi, tetapi karena perhitungan posisi. Partai sering menjadi “kendaraan”, bukan “sekolah kader bangsa”. Padahal di situlah letak kunci reformasi moral bangsa: politik harus menjadi arena pengabdian, bukan pameran kepentingan.

Generasi muda hari ini perlu diyakinkan bahwa politik bukan dunia kotor, tetapi ladang amal bagi mereka yang berani memperjuangkan nilai.Namun hal itu hanya mungkin jika partai-partai menata ulang diri mereka dengan prinsip meritokrasi internal memilih kader karena kemampuan, bukan karena kekerabatan.

Kaderisasi sejati bukan sekadar loyalitas kepada ketua umum, tapi loyalitas kepada cita-cita bangsa. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pintar berpidato, tetapi juga kuat secara moral, independen secara berpikir, dan bersih dalam mengambil keputusan. Pemimpin yang tidak takut kehilangan jabatan demi kebenaran, dan tidak ingin  berkuasa tanpa keadilan.Pemimpin yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat tukar.

Jalan Baru Menuju Indonesia Bermartabat

Negeri ini hanya akan maju bila ia berani mengubah dua hal mendasar. Pertama, berhenti mengangkat yang dekat, dan mulai mengangkat yang layak. Kedua, menjadikan korupsi sebagai musuh bersama, bukan sekadar jargon politik.

Meritokrasi adalah bentuk keadilan sosial yang paling konkret.Ia memastikan bahwa setiap anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke, memiliki peluang yang sama  untuk menjadi bagian dari kepemimpinan nasional.Sementara perang melawan korupsi adalah bentuk tertinggi dari spiritualitas publik karena di situlah manusia mengembalikan nilai suci amanah dalam kehidupan bernegara.

Kita tidak sedang berjuang hanya untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi untuk menyelamatkan moral bangsa. Negara bisa kaya oleh sumber daya alam, tetapi akan hancur jika miskin kejujuran.

Dan sebaliknya, negara bisa miskin sumber daya, tapi akan bangkit jika kaya integritas seperti Jepang pasca-Perang Dunia II atau Singapura yang tanpa sumber daya alam tapi kaya etika publik.

 Kejujuran sebagai Aset Bangsa

Bangsa yang besar bukan bangsa yang paling kaya, tetapi yang paling adil Keadilan hanya akan tumbuh bila kompetensi dihargai dan korupsi dimusuhi.

Keduanya meritokrasi dan integritas  adalah dua sisi dari mata uang kemajuan. Satu memberi arah, yang lain memberi kekuatan moral untuk bertahan.

Sudah saatnya kita memandang ke depan dengan kesadaran baru: Bahwa revolusi sejati bukan di jalanan, tapi di sistem; bukan di media sosial, tapi di nilai-nilai yang kita hidupkan bersama. Bahwa Indonesia tidak butuh slogan baru, tapi mental baru yang menempatkan kemampuan di atas kedekatan, dan kejujuran di atas kepentingan.

Ketika itu terjadi, Indonesia tidak hanya akan menjadi negara maju,tetapi juga negara bermartabat, yang dihormati bukan karena kekayaannya,melainkan karena keadilannya.

“Negeri tanpa nepotisme bukan utopia, tapi kewajiban moral. Karena bangsa ini tidak akan terbang tinggi jika sayap meritokrasinya patah dan jantung kejujurannya berhenti berdetak.”

Kamis,9 Oktober 2025

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow