Negara Maju dan Soemitronomics

Oleh Suparman*)

Oktober 3, 2025 - 16:09
 0
Negara Maju dan Soemitronomics
Suparman, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako. FOTO: DOK. PRIBADI

INDONESIA, boleh dibilang, sedang berdiri di persimpangan sejarah yang penting. Kita sudah mengusung Visi Indonesia Emas 2045—ambisi kolektif untuk bertransformasi menjadi negara maju—bukan lagi sekadar mimpi manis di atas kertas. Ini adalah blue-print pembangunan yang menuntut strategi konkret, fundamental, dan terukur. Baru saja, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berpidato di Rapat Paripurna DPR RI terkait Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2026 patut kita cermati secara mendalam.

Sebab, di sanalah terkandung penegasan kembali pada filosofi yang mungkin telah lama terlupakan, yang disebutnya: Soemitronomics. Ini bukan sekadar retorika nostalgia, melainkan penegasan ulang bahwa untuk mencapai lompatan kualitatif dan kuantitati, Indonesia harus kembali pada kerangka pikir yang teruji. Dimana pembangunan yang harus terencana, terstruktur, dan berorientasi jangka panjang. Namun, keberanian untuk menggunakan nama besar Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, seorang arsitek ekonomi modern Indonesia, juga membawa beban ekspektasi sekaligus pertaruhan yang sangat tinggi. Apakah tepat atau sekadar jargon semata.

Menteri Keuangan Purbaya, secara eksplisit menyebutkan bahwa strategi pembangunan berbasis Soemitronomics yang diusung bertumpu pada tiga pilar utama: pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerataan pembangunan yang dinamis, dan stabilitas nasional yang dinamis. Kita harus mengakui, ini adalah trinitas yang harus bekerja secara mulus: Stabilitas menjadi fondasi, pertumbuhan adalah mesin pendorong, dan pemerataan adalah tujuan fundamental keadilan sosial.

Fokus utamanya tentu sudah sangat jelas: sinergi antara kebijakan fiskal, sektor keuangan, dan perbaikan iklim investasi harus segera mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi target untuk dapat melampaui 6 persen dalam waktu dekat. Bahkan, target jangka menengah terbilang sangat ambisius, yakni mendorong ekonomi tumbuh hingga 8 persen. Memang untuk masuk ke negara maju, kita harus keluar dari pertumbuhan rendah. Bertahan dengan pertumbuhan tinggi.

Target pertumbuhan 6-8 persen per tahun, jujur saja, adalah angka ajaib. Angka pertumbuhan inilah yang secara universal diyakini para ekonom sebagai syarat mutlak untuk mendobrak pintu jebakan pendapatan menengah (middle-income trap). Tanpa laju pertumbuhan yang substansial tinggi dan, yang lebih penting, berkelanjutan secara terus menerus di atas 6 persen, potensi Indonesia menyandang status negara maju pada 2045 akan terbentur tembok tebal. Di sinilah, sesungguhnya, letak pertaruhan terbesar Soemitronomics era digital ini. Apakah resep ini dapat menjadi Solusi bagi jalan on the track menjadi negara maju.

Pertumbuhan Rendah

Kita tahu persis, untuk mengejar pertumbuhan di atas 6 persen bukanlah hal yang mustahil, tetapi untuk mempertahankan laju pertumbuhan tinggi secara konsisten selama dua dekade menjadi urusan tak mudah. Pertumbuhan ekonomi tinggi saat ini tidak dapat lagi, hanya diandalkan pada konsumsi domestik yang massif, atau adanya eksploitasi sumber daya alam yang tak berkesudahan. Kita perlu untuk mengubah arah sumber pertumbuhan juga dapat didorong dari investment dan government spending.

Pandangan ekonomi kelas dunia sangat relevan di sini. Paul Krugman, peraih Nobel Ekonomi, pernah memperingatkan bahwa Produktivitas bukanlah segalanya, tetapi dalam jangka panjang, ia hampir segalanya. (Productivity isn't everything, but in the long run, it is almost everything.) Pandangan ini menegaskan bahwa kunci pertumbuhan terletak pada peningkatan Produktivitas Total Faktor (TFP)—yakni, sisa pertumbuhan yang didorong oleh inovasi, kemajuan teknologi, dan efisiensi manajemen, bukan sekadar penambahan tenaga kerja atau modal.

Namun, patut dipertanyakan: Apakah pertumbuhan 8 persen itu akan dicapai dengan cara lama—yakni, hanya menggenjot investasi modal besar-besaran dan pembangunan infrastruktur? Jika ya, tanpa diikuti oleh TFP yang signifikan, kita hanya akan memicu kenaikan biaya produksi, melemahkan daya saing internasional, dan pada akhirnya, pertumbuhan akan cepat terhenti di tengah jalan. Oleh karena itu, Soemitronomics modern harus menempatkan TFP sebagai fokus utama. Belanja fiskal harus dialihkan secara radikal ke investasi sumber daya manusia—pendidikan, kesehatan, dan pelatihan vokasi—yang merupakan critical engine bagi TFP. Sementara sektor keuangan wajib berani membiayai sektor-sektor berisiko tinggi namun berpotensi high-return, seperti industri berbasis teknologi canggih dan ekonomi hijau. Tanpa lompatan produktivitas radikal, target 8 persen hanya akan menjadi utopia matematis.

Pemerataan dan Stabilitas Dinamis

Pemerataan pembangunan yang dinamis, adalah inti dari keadilan sosial dan penangkal paling efektif terhadap jebakan pendapatan menengah. Sejak era Soemitro, isu pemerataan selalu menjadi tema sentral: pembangunan harus menyentuh seluruh lapisan masyarakat dan wilayah, tidak boleh terpusat di satu pulau atau di pusat-pusat industri saja.

Purbaya menambahkan kata kunci 'dinamis' pada pemerataan, menyiratkan bahwa ini bukan kondisi statis, melainkan proses berkelanjutan di mana peluang terus tercipta dan redistribusi kekayaan terjadi secara terstruktur. Padahal, kita tidak bisa mengabaikan realitas: ketidaksetaraan struktural masih menganga lebar. Meskipun angka Gini rasio menunjukkan sedikit perbaikan, ketimpangan kekayaan dan akses terhadap layanan publik berkualitas—terutama antara kelompok 1 persen teratas dengan 50 persen terbawah—masih menjadi masalah laten.

Terkait isu ketidaksetaraan ini, ekonom Prancis terkemuka, Thomas Piketty, dalam karyanya Capital in the Twenty-First Century, secara tajam mengemukakan bahwa "Ketidaksetaraan tidak diciptakan oleh kekuatan ekonomi alamiah, tetapi oleh institusi dan kebijakan yang kita pilih." Pandangan ini sangat relevan bagi Indonesia. Kualitas pertumbuhan kita sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia mampu menciptakan pekerjaan berkualitas dan memperluas basis kelas menengah.

Untuk mencapai pemerataan dinamis dalam kerangka Soemitronomics, sinergi kebijakan harus memotong simpul-simpul struktural tersebut. Kita harus berani mengarahkan kebijakan pada antara lain: pertama, memperluas inklusi keuangan dan digital. Kebijakan ini bukan hanya memastikan sektor keuangan menjangkau UMKM, tetapi juga mengubah paradigma pemberian kredit dan modal. Ini bukan lagi soal agunan fisik, melainkan soal kepercayaan pada potensi bisnis rakyat kecil di daerah terpencil. Kedua, adanya kebijakan desentralisasi fiskal yang bermakna. Pemerintah pusat harus memastikan dana perimbangan (DAU dan DAK) mampu memberdayakan pemerintah daerah. Pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk membangun infrastruktur sosial (pendidikan dan kesehatan) yang berkualitas, bukan sekadar untuk belanja rutin yang konsumtif. Pemerintah daerah seringkali terjebak dengan pengeluaran yang tidak mendukung produktivitas dan kinerja. Dan ketiga, reformasi pajak dan subsidi. Kebijakan fiskal ini harus memiliki gigi yang tajam, untuk melakukan redistribusi secara efektif. Struktur pajak yang lebih progresif dan mekanisme subsidi yang tidak bocor, adalah kunci untuk mendanai program sosial yang menciptakan safety net yang kuat bagi masyarakat rentan.

Pilar pemerataan ini, sayangnya, seringkali menjadi titik lemah dan tidak bocor, sebab ia menuntut pengorbanan politik jangka pendek demi keuntungan sosial-ekonomi jangka panjang. Banyak Pemerintah daerah sekedar memberikan nama program dan kegiatan berbasis pemerataan, namun secara subtansi sangat jauh dari kondisi ideal.

Kita tahu bersama, stabilitas nasional yang dinamis, mengakui bahwa pembangunan ekonomi yang agresif (pertumbuhan 8%) harus berjalan beriringan dengan kondisi sosial dan politik yang tenang. Stabilitas di sini tidak berarti stagnasi atau kepatuhan buta, melainkan kemampuan sistem untuk menyerap guncangan—baik internal (gejolak politik, bencana) maupun eksternal (resesi global, perang dagang).

Dalam konteks ekonomi, stabilitas sangat bergantung pada pengelolaan makroekonomi yang prudent dan, yang ditekankan Purbaya, perbaikan iklim investasi. Iklim investasi yang sehat mensyaratkan kepastian hukum, birokrasi yang efisien, dan yang paling krusial, kebijakan yang tidak berubah-ubah. Investor, baik domestik maupun asing, sangat menghindari risiko regulasi.

Kita perlu mencermati peringatan Bank Dunia, yang dalam banyak laporannya, selalu menyoroti risiko politik dan regulasi sebagai penghambat utama investasi di Indonesia. Jebakan politik dan regulasi ini sudah mengerogoti tubuh pemerintah sudah kronis. Stabilitas dinamis dalam Soemitronomics menuntut pemerintah untuk berani mengambil sikap dan memangkas regulasi yang tumpang tindih dan memberantas high-cost economy. Penyakit ini bersumber dari pungutan liar dan korupsi. Jika Soemitronomics hanya dijadikan kerangka retorika tanpa diikuti dengan reformasi birokrasi dan hukum yang mengakar, iklim investasi yang diharapkan tidak akan pernah terwujud. Inilah pragmatisme yang harus diimbangi dengan reformasi sejati.

Sinergi Strategi dan Kebijakan

Inti dari keseluruhan strategi ini, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Purbaya, adalah sinergi. Tidak mungkin target pertumbuhan 8 persen bisa dicapai oleh satu kementerian atau satu sektor saja. Sinergi yang dimaksud harus diwujudkan melalui mekanisme formal dan non-formal yang memaksa kolaborasi. Sebut saja sinergi fiskal dan Investasi. Dimana, kebijakan fiskal (misalnya, tax holiday atau super deduction tax) harus diselaraskan sepenuhnya dengan prioritas investasi. Jika pemerintah ingin mendorong industri hilir nikel, maka insentif pajak harus ditujukan secara spesifik, dan proses perizinan investasinya (iklim investasi) harus dipermudah tanpa hambatan. Dan lanjutnya, sinergi sektor keuangan dan sektor riil. Sebut saja, otoritas sektor keuangan (Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia), perlu memastikan likuiditas dan biaya dana yang kompetitif untuk membiayai proyek-proyek strategis. Sektor keuangan tidak boleh hanya menjadi menara gading yang melayani korporasi besar hanya Jakarta, tetapi harus menjadi penyalur modal yang efektif hingga ke tingkat UMKM di daerah. Tanpa koordinasi yang kuat dan pengawasan yang ketat, sinergi ini hanya akan menjadi jargon manis. Pengalaman menunjukkan, seringkali konflik kepentingan antar-lembaga atau ego sektoral menjadi batu sandungan terbesar dalam implementasi kebijakan ekonomi.
Menggunakan nama besar Soemitro Djojohadikusumo dalam strategi pembangunan adalah sebuah pengakuan akan pentingnya pemikiran struktural dan perencanaan jangka panjang. Sumitro percaya bahwa negara harus berperan aktif dalam menciptakan struktur ekonomi yang kuat dan mandiri, sebuah antitesis terhadap ekonomi laissez-faire yang sepenuhnya menyerahkan pada mekanisme pasar.

Soemitronomics hari ini harus menjadi jembatan antara semangat pembangunan struktural Soemitro dengan tantangan kontemporer, yaitu ekonomi digital, perubahan iklim, dan geopolitik global. Ini bukan sekadar tentang memimpin pertumbuhan, tetapi mengelola transformasi itu sendiri. Target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, pemerataan yang dinamis, dan stabilitas yang terkelola, adalah tiga janji besar. Keberhasilan mencapai Visi Indonesia Emas 2045 akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh pemerintah, melalui RUU APBN 2026 dan kebijakan tahun-tahun berikutnya, mampu menerjemahkan sinergi kebijakan ini menjadi aksi nyata. Jika ketiga pilar ini berdiri tegak dan saling menopang, Indonesia memiliki peluang nyata untuk duduk sejajar dengan negara-negara maju di dunia. Namun, jika salah satu pilar rapuh, cita-cita Indonesia Emas hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah kegagalan middle-income trap.

Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar retorika dan target angka. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang berani dalam reformasi struktural, yang siap mengambil risiko politik jangka pendek demi memastikan bahwa Indonesia Emas 2045 bukan hanya milik segelintir elite, melainkan milik seluruh rakyat. Inilah esensi sejati dari Soemitronomics yang harus kita perjuangkan. Paradigma Soemitronomics ini dilakukan, bukan sekadar karena sekarang Presiden Prabowo memimpin negeri ini. Pilihan atas paradigma Soemitronomics benar-benar kebutuhan bagi solusi menuju negara maju.
*) Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow