Panggung Anggaran Populis

Oleh Suparman*)

Nov 13, 2025 - 04:29
 0
Panggung Anggaran Populis
Suparman

RUANG Polibu, Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, Senin pagi (10/11) itu terasa berbeda. Tidak ada basa-basi politik, tidak pula kalimat seremonial. Gubernur Sulteng, Anwar Hafid, berbicara dengan nada yang menembus batas administratif. Kita harus tahu posisi keuangan kita. Siapa yang menghasilkan dan siapa yang hanya menghabiskan. Semua harus jelas supaya kita tahu arah belanja kita.
Kalimat itu menggema seperti lonceng kesadaran di tengah birokrasi yang sering sibuk menyusun laporan, tetapi lupa menyentuh realitas. Budaya birokrasi sudah lama terjebak dengan rutinitas, tanpa mau tahu dan berfikir prioritas.

Padahal publik tahu, disiplin fiskal sebagai bentuk etika, bukan sekadar teknis administrasi semata. Disiplin anggaran adalah ujian moral sebelum ia menjadi laporan keuangan. Uang publik tidak pernah netral.  Anggaran publik menyimpan doa dan harapan masyarakat. Setiap kesalahan dalam mengelolanya adalah semacam “pengkhianatan” terhadap kepercayaan besar. Amanah rakyat yang sudah dititipkan dipundak kekuasaan politik. Mesin birokrasi semestinya bekerja secara optimal, dan profesional.

Kita semua paham, disiplin dan transparansi bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi kebutuhan moral. Pemerintahan yang berdisiplin fiskal berarti pemerintahan yang sadar batas: batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Jika batas ini tak jelas, atau abu-abu, maka seringkali menjadi justifikasi atas tindakan buruk dan perbuatan yang berbau moral hazard.

Ekonom seperti John Kenneth Galbraith berpendapat, kesejahteraan sebuah bangsa tidak ditentukan oleh seberapa banyak uang beredar di pemerintahannya, tetapi oleh seberapa bijak uang itu dibelanjakan. Terjemahan ini sederhana tapi tajam, artinya kesejahteraan lahir bukan dari angka APBD yang tinggi menjulang, melainkan dari kebijakan membelanjakannya secara tepat dan cermat. Tanpa acuan itu, maka upaya menghabiskan anggaran secara bar-bar terus terjadi. Tentu tindakan seperti akan membuat anggaran tidak tepat sasaran. Alih-alih untuk mencapai hasil yang optimal.

Laporan Indah, Realita Suram

Teknologi bisa memanipulasi gambar.  Kalimat sederhana ini, dengan nada tegas membuyarkan  lamunan atas tindakan manipulatif yang sering dilakukan. Kalimat pendek itu, seperti sindiran halus bagi para birokrat yang sibuk menghias laporan anggaran, namun enggan menjejak kaki di lumpur lapangan.

Dalam birokrasi modern, kerap terjadi apa yang disebut paper compliance—kepatuhan di atas kertas. Padahal, masyarakat tidak hidup dari laporan, melainkan dari kenyataan. Seperti diingatkan oleh peraih Nobel Ekonomi, Herbert Simon, dalam refleksinya tentang keputusan publik. Kebijakan yang baik tidak lahir dari data yang banyak, tetapi dari keberanian melihat fakta apa adanya. Maka, ketika Pimpinan Daerah meminta para kepala perangkat daerah turun ke lapangan, itu bukan perintah administratif, melainkan ajakan moral: temui kenyataan, dengarkan rakyat, jangan biarkan laporan menggantikan realita.

Dua bulan menjelang akhir tahun anggaran tahun ini, adalah masa kritis. Banyak kegiatan menumpuk, banyak target dikejar, dan sering kali banyak kualitas dikorbankan. Namun, sebagaimana diingatkan oleh pakar tata kelola pemerintahan James Q. Wilson, kecepatan birokrasi tanpa integritas hanya akan mempercepat keburukan. Efisiensi tanpa makna adalah kesia-siaan yang disusun rapi.

Kita semua harus secara sadar menolak logika itu. Pentingnya, memastikan bahwa setiap kegiatan yang telah dikontrakkan selesai tepat waktu dan tepat mutu. Karena pembangunan yang terburu-buru sering kali menyisakan kerusakan yang lama.

Siapa Menghasilkan, Siapa Menghabiskan

Gema ucapan, kita harus tahu siapa yang menghasilkan dan siapa yang menghabiskan. Kalimat ini adalah kritik halus terhadap budaya birokrasi yang cenderung konsumtif. Dalam keuangan publik, prinsip keseimbangan antara pendapatan dan belanja, bukan hanya teori akuntansi, melainkan etika tanggung jawab.

Ekonom dari Swedia, Gunnar Myrdal pernah mengingatkan, negara yang gagal menata keuangannya akan gagal menata keadilannya. Pesan itu menegaskan bahwa tata kelola fiskal yang buruk tidak hanya merusak ekonomi, tidak hanya menurunkan aktivitas usaha masyarakat, tapi juga meruntuhkan kepercayaan sosial. Karena anggaran publik yang salah arah akan menimbulkan luka yang tak terlihat, yaitu ketidakadilan. Maka, arah belanja harus produktif dan implemenatif, seperti membangun sekolah, rumah sakit, membuat irigasi dan infrastruktur dasar, bukan sekadar kegiatan administratif yang menghabiskan tanpa menumbuhkan. Apalagi perjalanan wisata yang dibungkus dalam bentuk perjalanan dinas.

Transparansi bukan berarti membuka semua dokumen, tetapi membuka semua niat.
Filsuf politik Hannah Arendt pernah menulis, kekuasaan yang tertutup pada akhirnya akan menelan dirinya sendiri. Makna kalimat itu menjadi relevan bagi birokrasi modern saat ini, termasuk dalam tubuh Pemerintahan Daerah Sulteng. Ketertutupan hanya menciptakan kecurigaan, sedangkan keterbukaan membangun legitimasi moral. Transparansi adalah bentuk keberanian. Berani diawasi, berani dikritik, dan berani dievaluasi. Pemerintah Daerah yang berani membuka diri terhadap penilaian publik sesungguhnya sedang memperkuat wibawanya, bukan melemahkan dan menurunkan martabatnya.

Anggaran Sebagai Amanah

APBD sejatinya bukan sekadar dokumen keuangan, melainkan kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Di balik setiap program dan kegiatan ada harapan yang harus ditunaikan. Filsuf Albert Schweitzer pernah berkata, etika sejati adalah menghormati kehidupan. Dalam konteks pemerintahan daerah, menghormati kehidupan berarti mengelola anggaran dengan hati nurani, agar setiap kebijakan tidak hanya mencatat angka, tapi juga menyentuh kehidupan manusia. Turun ke lapangan, adalah cara untuk memastikan bahwa laporan tidak mengkhianati kenyataan. Bahwa setiap tanda tangan di atas kertas, adalah janji yang ditepati di tanah rakyat.

Rapat di Ruang Polibu Pemda Sulteng hari senin itu, mungkin hanya berlangsung beberapa jam, tetapi gema moralnya bisa bertahan bertahun-tahun jika dijalankan dengan sungguh-sungguh.  Sikap dan tindakan pemimpin, bukan sekadar berbicara soal teknis anggaran, tapi tentang integritas. Bagaimana anggaran menjadi cermin kejujuran dan alat pemerataan, bukan alat pertunjukan apatah lagi berfoya-foya.

Penulis politik Norwegia, Dag Hammarskjöld, pernah berkata integritas adalah ketika kata dan perbuatan berjalan di jalan yang sama. Dan di situlah inti narasi ini dibangun. Implementasi kedisiplinan, transparansi, dan tanggung jawab bukan sekadar jargon kosong, tetapi jalan panjang menuju pemerintahan yang beretika dan berwibawa.

Karena di bawah terang anggaran yang bersih dan berintegritas, pembangunan tidak hanya berjalan. Pembangunan sudah berlari, menuju keadilan yang nyata bagi seluruh rakyat Sulawesi Tengah.

*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow