Menutup 2025, Menyambut 2026: Belajar dari Luka, Menjaga Ingatan

Oleh: Akhsan Intje Makka*

Des 25, 2025 - 11:46
 0
Menutup 2025, Menyambut 2026: Belajar dari Luka, Menjaga Ingatan
Ilustrasi perayaan tahun baru Masehi 2026. (Foto dari Pixabay)

TAHUN 2025 perlahan menutup lembarannya. Seperti halaman buku yang dilipat dengan hati-hati, akhir tahun selalu membawa dua perasaan sekaligus: syukur karena berhasil melaluinya, dan cemas menyongsong hari-hari yang masih "misterius". Bagi Sulawesi Tengah, momen ini bukan sekadar pergantian angka kalender. Ia adalah ruang refleks tentang ingatan, luka, dan pelajaran yang tak boleh pudar.

Musibah yang terjadi sepanjang tahun ini di Sumatera dan Aceh kembali mengetuk kesadaran kita. Bencana alam,  entah gempa, banjir, longsor, atau gelombang besar, selalu datang tanpa mengetuk pintu. Ia tak memilih waktu, tak menimbang kesiapan manusia. Yang tertinggal adalah duka, kehilangan, dan pertanyaan: sudahkah kita benar-benar belajar?

Bagi warga  Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu, setiap kabar bencana dari wilayah lain terasa lebih dekat. Ada getar yang sama. Ada kenangan yang kembali menyeruak. Tragedi 28 September 2018 bukan sekadar catatan sejarah; ia adalah luka kolektif yang hidup dalam ingatan kota. Gempa, tsunami, dan likuefaksi mengubah wajah Palu, bahkan mengubah cara warganya memandang hidup. Dari sana kita tahu, bahwa dalam hitungan menit, segalanya bisa runtuh.

Tujuh tahun berselang, Palu telah bangkit. Bangunan berdiri kembali, jalanan ramai lagi, kehidupan terus berjalan. Namun bencana di Sumatera dan Aceh tahun ini seperti cermin besar yang mengingatkan: bangkit secara fisik saja tidak cukup. Ingatan dan kewaspadaan adalah fondasi yang tak boleh runtuh.

Musibah selalu menguji dua hal sekaligus: kekuatan alam dan kedewasaan manusia. Apakah kita masih abai terhadap tata ruang? Apakah peringatan dini hanya dianggap formalitas? Apakah solidaritas hanya menguat saat duka, lalu melemah saat situasi kembali normal? Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya ikut kita bawa menyeberang ke 2026.

Menyambut Tahun Baru 2026

Sulawesi Tengah perlu meneguhkan satu sikap: tidak melupakan. Ingatan bukan untuk menakuti, melainkan untuk menjaga. Bukan untuk hidup dalam trauma, tetapi untuk hidup dengan kesiapsiagaan. Dari Sumatera, dari Aceh, dan dari Palu sendiri, kita belajar bahwa alam menuntut penghormatan, bukan penaklukan.

Akhirnya, menutup 2025 bukan hanya soal kembang api dan hitung mundur. Ia adalah jeda sunyi untuk menundukkan kepala, mengenang yang pergi, menguatkan yang tinggal, dan berjanji pada diri sendiri: di tahun yang baru, kita ingin lebih siap, lebih peduli, dan lebih manusiawi.

Selamat datang 2026. Semoga kita menyambutmu dengan ingatan yang terjaga, solidaritas yang hidup, dan harapan yang berpijak pada pelajaran masa lalu.

Menutup 2025, Menyambut 2026: Belajar dari Bencana, Menjaga Kesiapsiagaan

Menjelang berakhirnya 2025, Sulawesi Tengah patut menundukkan kepala sejenak. Bukan hanya untuk bersyukur atas hari-hari yang telah dilewati, tetapi juga untuk bercermin pada berbagai musibah yang kembali melanda Indonesia, khususnya di Sumatera dan Aceh sepanjang tahun ini. Bencana-bencana itu menjadi pengingat keras: alam selalu menyimpan kekuatan yang tak bisa diprediksi.

Bagi masyarakat Palu dan Sulawesi Tengah, kabar duka dari daerah lain tak pernah terasa jauh. Ingatan kolektif tentang gempa, tsunami, dan likuefaksi 28 September 2018 masih hidup. Peristiwa itu mengajarkan bahwa bencana bukan sekadar peristiwa alam, melainkan ujian kesiapan, solidaritas, dan kebijakan publik.

Tujuh tahun pascabencana, Palu memang telah bangkit secara fisik. Namun bencana di Sumatera dan Aceh seakan mengingatkan kembali bahwa pembangunan tidak boleh melupakan aspek mitigasi, tata ruang yang bijak, serta kesiapan masyarakat menghadapi risiko.

Dalam konteks inilah, arah pembangunan Sulawesi Tengah di bawah kepemimpinan Gubernur Anwar Hafid dan Wakil Gubernur dr. Reny A. Lamadjido menjadi relevan untuk ditinjau. Prioritas pada pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan penguatan layanan dasar bukan semata agenda sosial, melainkan fondasi penting ketahanan daerah. Masyarakat yang sehat, terdidik, dan sejahtera adalah modal utama dalam menghadapi situasi darurat apa pun.

Memasuki 2026, Sulawesi Tengah dituntut tidak hanya melanjutkan pembangunan, tetapi juga memperkuat ingatan dan kewaspadaan. Belajar dari Sumatera, belajar dari Aceh, dan terutama belajar dari Palu sendiri: bahwa alam harus dihormati, dan kebijakan harus berpihak pada keselamatan manusia.

Akhir tahun bukan hanya soal perayaan. Ia adalah momentum refleksi agar tahun baru disambut dengan kesiapan, solidaritas, dan keberanian untuk tidak mengulangi kelalaian yang sama.

Selamat datang 2026. Semoga Sulawesi Tengah melangkah dengan ingatan yang terjaga dan masa depan yang lebih tangguh.

*) Penulis adalah Pensiunan PNS Donggala/Mantan Wartawan RRI

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow