Pak Kiai Sul
Pak Kiai satu ini memang gaul. Setiap selesai menunaikan salat subuh, dia menuju ke sebuah kedai kopi yang terletak di depan pasar tradisional di kotanya. Masih lengkap: baju koko, songkok hitam, dan sarung kotak-kotaknya. Di sana dia bertemu kawan-kawannya yang beragam profesi. Ada makelar mobil dan motor, pedagang di pasar, pengusaha rumah bersubsidi, penulis, seniman, wartawan, dan pengangguran. "Profesi" yang terakhir inilah biasanya meramaikan dan menguasai pembicaraan di kedai kopi.
PAK KIAI satu ini memang gaul. Setiap selesai menunaikan salat subuh, dia menuju ke sebuah kedai kopi yang terletak di depan pasar tradisional di kotanya. Masih lengkap: baju koko, songkok hitam, dan sarung kotak-kotaknya. Di sana dia bertemu kawan-kawannya yang beragam profesi. Ada makelar mobil dan motor, pedagang di pasar, pengusaha rumah bersubsidi, penulis, seniman, wartawan, dan pengangguran. "Profesi" yang terakhir inilah biasanya meramaikan dan menguasai pembicaraan di kedai kopi.
Nama lengkap Pak Kiai: Sulaiman Anwaruddin. Di kedai kopi dipanggil dengan nama: Kiai Sul. Kehadirannya di kedai kopi, Kiai Sul, tetap memerlihatkan gaya wibawa dengan pakaian bercorak religius sebagaimana penampilan seorang kiai. Kalau berbicara selalu menyelipkan ayat suci atau motivasi keagamaan. Misalnya pepatah Arab: "man jadda wajada" : siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil.
*
Karyawan kedai kopi sudah paham minuman dan gorengan kesukaan Kiai Sul. Tanpa repot memesan: kini kopi hitam gula aren dan pisang goreng panas sudah tersedia di mejanya. Kiai Sul memilih meja di pojok dekat jendela dan kasir. Sesekali balik memandang dan membalas senyum terkulum perempuan muda, kasir kedai kopi.
Sejumlah tamu kedai kopi: tiba-tiba tersenyum panjang. Soalnya, tatapan Kiai Sul kepada perempuan muda: terkesan menyimpan nuansa godaan. Hal itu terlihat, meski sepintas.
Memang, suatu hari, juga di kedai kopi ini Kiai Sul mengaku: saat masih muda dia termasuk lelaki playboi. Senang ganti-ganti cewek. "Itu dulu, kini saya sudah sadar. Saya menyadari tingkah-tingkah saya saat masih muda. Sungguh banyak dosa saya. Terutama kesenangan saya mengganggu perempuan muda. Alhamdulillah, saya sudah bertobat. Benar-benar bertobat." Itu pengakuan Kiai Sul.
*
Kehadiran Kiai Sul pagi ini: agak beda hari-hari kemarin. Biasanya dia memerlihatkan kegembiraan meledak-ledak. Menguasai pembicaraan di kedai kopi. Bahkan kadang tiba-tiba berucap: jangan ada yang bayar kopi dan pisang gorengnya. Nanti saya yang bayar semua.
Tentu saja: ucapannya ini disambut suara gemuruh kegembiraan oleh pengunjung kedai kopi. Soal uang, memang Kiai Sul tak perlu diragukan. Sejak dia dipercaya oleh lembaga keagamaan tempatnya bekerja mengurus pertambangan batu bara: sejak itu Kiai Sul hidupnya lapang. Senang mentraktir teman-temannya. Bukan hanya di kedai kopi, tapi juga di warung makan. Rawon, misalnya.
Ada apa kegembiraan dan keriangan Kiai Sul tiba-tiba berkurang, pagi ini? Ternyata penyebabnya: sumber keuangannya selama ini mendapat goncangan dahsyat. Usaha pertambangannya selama ini berjalan normal. Ketika kian memerlihatkan kesuksesan, hadir orang-orang yang juga merasa bagian penting dalam lembaga keagamaan itu: ingin mendapatkan pembagian "kue tambang".
Sejak itu, terciptalah kegaduhan. Konflik terus berlanjut. Tak ada jalan keluar. Masing-masing merasa berjasa dalam memajukan lembaga yang mengelola usaha tambang. Produksi tambang meredup. Karyawan di rumahkan. Katanya untuk sementara.
Kiai Sul ikut bingung lantaran tak ada lagi pemasukan. Pada mulanya Kiai Sul membaca masalah ini, ke depan: masih ada cahaya terang. Selama yang berkonflik masih mau kongkow-kongkow di kedai kopi.
Harapan terakhir Kiai Sul itu: tertutup sudah. Hal itu terjadi setelah seorang kiai senior yang dulu ikut membesarkan lembaga ini meminta kepada pemerintah untuk menarik kembali peluang usaha tambang itu. Pada mulanya memang tambang ini "sumbangan" pemerintah untuk dikelola lembaga keagamaan ini.
"Jadi bagaimana Pak Kiai Sul, apakah kopi ini masih dibayarkan?" Seorang tamu kedai kopi bertanya.
"Tentu bisa untuk sekali ini. Ya, beginilah kalau orang diberi pekerjaan yang bukan ahlinya...." Kiai Sul tersenyum getir. *
Apa Reaksimu?


