UMK Morowali 2026 dan Realitas Hidup Pekerja

Oleh: Tovan, Akademisi di Morowali

Des 29, 2025 - 10:14
Des 29, 2025 - 10:16
 0
UMK Morowali 2026 dan Realitas Hidup Pekerja
Topan. FOTO: DOK PRIBADI

SETIAP akhir tahun, pengumuman Upah Minimum Kabupaten (UMK) selalu datang membawa harapan. Bagi pekerja, angka baru berarti peluang hidup yang sedikit lebih longgar. Bagi pengusaha, ia sering dibaca sebagai tambahan beban. Di Morowali, kabupaten yang identik dengan kawasan industri dan hilirisasi nikel, penetapan UMK 2026 kembali memantik perbincangan serupa. UMK Morowali 2026 memang naik. Namun pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah kenaikan itu benar-benar terasa di kehidupan sehari-hari?

Secara regulasi, penetapan UMK mengikuti formula yang ditetapkan pemerintah pusat. Kenaikan upah dihitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dengan tujuan menjaga daya beli pekerja tanpa mematikan dunia usaha.

Di atas kertas, rumus ini terlihat adil dan rasional. Masalahnya, kehidupan nyata tidak selalu bergerak seiring dengan rumus. Morowali adalah contoh paling jelas. Daerah ini tumbuh cepat dalam satu dekade terakhir. Investasi besar-besaran di sektor pertambangan dan pengolahan logam mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam beberapa tahun terakhir secara konsisten menunjukkan pertumbuhan ekonomi Morowali berada di atas rata-rata nasional. Namun, pertumbuhan tersebut tidak otomatis berarti biaya hidup terkendali. Justru sebaliknya, laju pertumbuhan industri sering kali berjalan seiring dengan kenaikan harga kebutuhan dasar. Harga sewa rumah melonjak karena permintaan tinggi dari pekerja pendatang. Biaya transportasi, makanan, hingga jasa penunjang ikut naik.

Dalam konteks ini, kenaikan UMK sering kali hanya mengejar ketertinggalan, bukan meningkatkan kualitas hidup. Bagi pekerja lajang, kenaikan UMK mungkin masih terasa membantu. Namun bagi pekerja yang sudah berkeluarga, dengan tanggungan biaya pendidikan anak, kesehatan, dan kebutuhan harian, tambahan upah itu cepat habis. Kenaikan nominal tidak selalu berarti kenaikan kesejahteraan. Di sinilah paradoks UMK Morowali 2026 muncul: naik di angka, berat di kehidupan.

Persoalan lain yang jarang dibahas secara jujur adalah kesenjangan antara sektor formal dan informal. UMK secara hukum hanya berlaku bagi pekerja dengan hubungan kerja formal. Di Morowali, tidak sedikit masyarakat yang hidup dari sektor informal atau pekerjaan penunjang industri. Mereka tidak tersentuh langsung oleh kenaikan UMK, tetapi tetap menghadapi kenaikan harga yang sama. Akibatnya, jurang kesejahteraan justru melebar. Mahasiswa dan generasi muda yang sedang mempersiapkan diri masuk dunia kerja juga patut mencermati situasi ini. UMK sering dijadikan indikator kelayakan kerja di suatu daerah. Namun realitasnya, upah minimum hanyalah titik awal. Tanpa jaminan kepastian kerja, pengembangan keterampilan, dan perlindungan sosial, UMK yang naik tidak cukup untuk menjamin masa depan yang stabil.

Dari sisi pengusaha, terutama industri padat modal, kenaikan UMK memang bukan persoalan utama. Biaya tenaga kerja hanya sebagian kecil dari total biaya produksi. Namun bagi usaha kecil dan menengah yang menjadi penopang ekonomi lokal, kenaikan UMK bisa menjadi dilema. Mereka berada di antara kewajiban menaikkan upah dan kemampuan usaha yang terbatas. Jika tidak dikelola dengan baik, risiko pengurangan tenaga kerja atau peralihan ke sistem kerja kontrak semakin besar. Artinya, persoalan UMK tidak bisa dilihat secara hitam putih. Ini bukan semata soal buruh melawan pengusaha. Ini soal bagaimana kebijakan upah ditempatkan dalam kerangka pembangunan yang lebih luas.

Kenaikan UMK harus diiringi dengan pengendalian harga, penyediaan perumahan layak, transportasi publik yang terjangkau, dan akses layanan dasar yang memadai. Pemerintah daerah memiliki peran penting di sini. Ketika UMK sudah ditetapkan, pekerjaan belum selesai. Pengawasan pelaksanaan upah, perlindungan pekerja, dan kebijakan penekan biaya hidup harus berjalan bersamaan. Tanpa itu, UMK hanya menjadi angka administratif yang jauh dari realitas.

UMK Morowali 2026 seharusnya menjadi momentum refleksi. Pertanyaannya bukan lagi berapa persen kenaikannya, tetapi sejauh mana kebijakan upah benar-benar meningkatkan kualitas hidup. Apakah pekerja bisa tinggal lebih layak? Apakah mereka bisa menabung? Apakah pendidikan anak-anak mereka lebih terjamin? Jika jawabannya masih samar, maka kita perlu jujur mengakui bahwa ada yang perlu diperbaiki. Pembangunan industri yang cepat harus diimbangi dengan pembangunan sosial yang kuat. Upah minimum bukan tujuan akhir, melainkan salah satu alat. Tanpa kebijakan pendukung yang berpihak pada kehidupan sehari-hari pekerja, kenaikan UMK akan terus terasa berat, meski angkanya naik setiap tahun.

Di titik inilah opini publik, akademisi, mahasiswa, profesional, dan media memiliki peran. UMK tidak boleh dibahas hanya sebagai rutinitas tahunan. Ia harus diperdebatkan sebagai bagian dari arah pembangunan. Morowali telah menjadi simbol kemajuan industri nasional.

Kini tantangannya adalah memastikan bahwa kemajuan itu benar-benar dirasakan oleh mereka yang setiap hari bekerja di balik gemuruh mesin dan angka pertumbuhan ekonomi.

UMK Morowali 2026 sudah ditetapkan. Angkanya naik. Namun pekerjaan rumah kita masih panjang: memastikan kehidupan ikut terangkat, bukan sekadar statistik. (*)

 

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow