Bendera One Piece dan Suara Rakyat yang Tak Terdengar
Oleh: Mohsen Hasan*

MENJELANG Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, kita terbiasa melihat semangat nasionalisme diwujudkan dalam bentuk bendera merah putih di setiap sudut jalan. Namun tahun ini, pemandangan unik terjadi: sejumlah sopir angkutan umum mengibarkan bendera One Piece — ikon bajak laut fiksi dari Jepang — di bawah sang saka merah putih. Aksi ini pun ramai di media sosial dan menuai beragam tanggapan.
Sebagian pihak melihatnya sebagai hal sepele, sekadar luapan kegemaran budaya pop. Tapi banyak pula yang meraba makna lebih dalam: ada pesan, mungkin juga protes, yang tak sempat disampaikan lewat jalur formal. Profesor Sunny dalam komentarnya mengingatkan, negara harus mendengar, bukan menghakimi. Ini bukan sekadar soal bendera, tapi soal cara rakyat berkomunikasi.
Ketika Anime Jadi Bahasa Aspirasi
Bagi para penggemar One Piece, bendera bajak laut bukan lambang kekacauan, melainkan simbol kebebasan, solidaritas, dan perjuangan melawan sistem yang korup. Dalam konteks sopir angkot, yang setiap hari bergulat dengan harga BBM, jalan rusak, dan penghasilan minim, simbol ini menjadi bahasa baru untuk menyampaikan kegelisahan.
Mereka mungkin tidak punya akses ke ruang-ruang politik formal. Mereka mungkin lelah dengan janji-janji pemilu yang tak ditepati. Maka mereka bicara lewat simbol — dan itu sah dalam demokrasi.
Jangan Reaktif, Dengarkan Dulu
Jika respons negara terlalu cepat menyimpulkan bahwa simbol semacam itu adalah ancaman, maka kita menghadapi dua risiko besar:
> Negara dianggap gagal membaca aspirasi rakyat secara kultural.
> Represi simbolik bisa menciptakan jarak dan ketidakpercayaan yang lebih dalam.
Elite harus belajar membaca “teks sosial” dengan lebih sensitif. Ekspresi rakyat, meski tidak konvensional, sering kali jujur dan otentik.
Masukan untuk Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif
1. Eksekutif:
Jangan hanya reaktif pada simbol. Gunakan momen ini sebagai barometer sosial. Bila rakyat mulai memilih tokoh fiksi sebagai wakil imajinernya, itu sinyal bahwa mereka merasa tak lagi punya representasi nyata di kabinet atau birokrasi. Dengarkan, turun ke bawah, dan respons dengan kebijakan nyata.
2. Legislatif:
Lihat ini sebagai kritik terhadap lemahnya fungsi representasi. Perkuat peran sebagai jembatan antara suara rakyat dan negara. Bangun kanal aspirasi yang organik dan cair, terutama bagi kelompok informal seperti sopir, buruh, dan masyarakat adat yang sering tak terdengar.
3. Yudikatif:
Pastikan tidak ada kriminalisasi terhadap ekspresi rakyat selama tidak melanggar hukum secara substansi. Hukum yang adil tidak boleh buta budaya. Masyarakat berhak mengekspresikan keresahan — bahkan lewat simbol fiksi — selama itu tidak menghasut kekerasan atau kebencian.
Merayakan Kemerdekaan, Mendengarkan Rakyat
HUT RI bukan hanya soal merayakan kemerdekaan masa lalu, tapi juga soal memperbarui janji kebangsaan hari ini: bahwa negara hadir, mendengar, dan memahami. Jika rakyat menyuarakan isi hati mereka dengan cara yang tidak biasa, mari kita jangan terburu menghakimi. Sebab kadang, bendera bajak laut lebih jujur daripada pidato resmi.
Di negeri merdeka, rakyat punya hak untuk bersuara. Bahkan jika yang mereka pilih sebagai simbol bukan Garuda, tapi Luffy.
Minggu,03 Agustus 2025
*) Pemerhati Sosial,Budaya Politik & Isu Global.
Apa Reaksimu?






