Daerah Supermarket Bencana
Oleh Moh. Ahlis Djirimu*

AHAD, 28 September 2025 adalah masa flashback, tujuh tahun yang lalu, jelang magrib, gempa melanda Kota Palu, menjungkirbalikkan tataan hidup masyarakat Kota Palu, Donggala, Sigi, bahkan Parigi Moutong. Kejadian tujuh tahun yang lalu meluluhratakan 48,52 persen perekonomian Sulteng. Pengalaman ini memberikan pelajaran bagi kita yang hidup di daerah cincin api bencana yang 75 persen penduduknya tinggal di daerah bencana dan area perkantoran dominan berada di daerah bencana tak dapat dihindari. Gempa tujuh tahun yang lalu oleh Pusdatina Sulteng Tahun 2019 diperkirakan mencapai kerugian ekonomi sebesar Rp24,16,- triliun, sebuah nilai besar setara dengan APBN dan APBD setahun ke seluruh kabupaten/kota dan satker Provinsi Sulteng.
Indonesia merupakan Supermarket Bencana demikian istilah pertama kali saya dengarkan dari sejawatku bapak Abdullah Dekan F-MIPA pertama Untad. Bila demikian, pola pikir, tatanan hidup, perilaku, kurikulum pendidikan dini hingga Perguruan Tinggi, dan lain-lain perlu diajarkan dalam bingkai “harmoni hidup dengan alam”. Peta Risiko Bencana Indonesia publikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa pada Tahun 2022, 13 provinsi berada pada kelas risiko bencana tinggi dan 21 provinsi berada pada kelas risiko bencana sedang dan tidak ada satupun provinsi yang berada pada risiko bencana rendah. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia terdapat 192 kabupaten/kota yang berada pada kelas indeks risiko tinggi dan 322 yang berada pada kelas indeks risiko sedang. Peta tersebut menunjukkan bahwa hanya Parigi Moutong, Poso dan Touna yang berwarna kuning kuning atau kategori sedang. Sepuluh daerah lainnya di Sulteng berwarna merah kategori berisiko tinggi bencana. Indonesia merupakan negara dengan disaster index tertinggi kedua setelah Filipina (World Risk Report 2023). Indonesia menghadapi risiko kerugian langsung akibat bencana antara lebih dari Rp20,-triliun – Rp50,- triliun setiap tahun.
Total kejadian bencana hanya mengalami sedikit penurunan pada 3 tahun terakhir yaitu dari 5.402 kejadian di Tahun 2021 menjadi 5.400 kejadian di Tahun 2023. Perubahan iklim menjadi satu dari beberapa penyebab tren kenaikan kejadian dan peningkatan intensitas bencana (banjir, kekeringan, badai, gelombang panas) dan munculnya bencana/penyakit jenis baru. Bumi tetap dalam kondisi “Red Alert” menurut Laporan International Panel on Climate Change (IPCC) Tahun 2022. Laporan tersebut menyebutkan pertama, Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) telah meningkat pada seluruh sektor utama ekonomi global sejak Tahun 2010, meskipun begitu investasi pada industri-industri yang tidak ramah terhadap iklim masih terus dilakukan. Kedua, kebijakan dunia saat ini menempatkan kita di jalur pemanasan global hingga 3,5 derajat Celcius (dua kali lipat dari batas 1,5 derajat Celcius sesuai kesepakatan Perjanjian Paris). Kota-kota di dunia merupakan penghasil 70 persen emisi gas rumah kaca, sehingga manajemen hijau perkotaan dapat menurunkan emisi dengan perencanaan kota yang berkelanjutan melalui pembangunan Green Buildings, hutan kota, dan transportasi Electric Vehicle. Agenda Mempercepat aksi terhadap perubahan iklim adalah tindakan “krusial” demi mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Alam merupakan kunci mengurangi pemanasan global.
Dampak perubahan iklim itu nyata. Hasil riset Kemenkeu Tahun 2024 menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, Suhu di Sulteng meningkat 1,2° Celcius. Pada April 2024, Suhu di permukaan Sulteng secara perlahan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sebagian besar daerah di Sulteng mengalami perubahan temperatur rata-rata pada kisaran kisaran 0,5°C dari periode Apr-2023. Kabupaten dengan rata-rata temperatur terpanas tercatat di Kabupaten Donggala, dengan suhu mencapai 28,1 °C per Apr 2024. Secara detail, selama setahun saja periode April 2023-April 2024, Kota Palu mengalami kenaikan suhu dari 26,8°C menjadi 27,4°C. temperatur di Kabupaten Donggala mengalami kenaikan dari 27,3°C menjadi 28,1°C, temperatur di Kabupaten Sigi meningkat dari 26,4°C menjadi 26,9°C, serta Kabupaten Parigi Moutong mengalami peningkatan suhu dari 27,0°C menjadi 27,6°C. Satu dari beberapa penyebab utama Adalah deforestasi. Selama 10 tahun terakhir, Platform Mapbiomass Indonesia melaporkan Sulteng kehilangan hutan setara 18 ribu kali lapangan sepakbola.
Pertanian rentan terhadap dampak perubahan iklim, yang berimplikasi pada ketahanan pangan dan gizi. Di tingkat nasional, kenaikan suhu dan pergeseran curah hujan diproyeksikan akan mengurangi hasil dari beberapa sistem produksi yang penting bagi pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan–termasuk beras (-0,72 persen pada tahun 2030), jagung (-7,1 persen) dan kelapa sawit (-1,21 persen). Produksi padi di Sulteng mengalami penurunan sebesar 7,5 persen periode 2023-2024, dari 821.367 GKG pada 2023 menjadi 759.838 GKG pada 2024. Demikian pula luas panen mengalami penurunan dari 177.699 Ha menjadi 171.786 Ha dan produksi beras mengalami penurunan dari 484.835 ton menjadi 448.514 ton, sehingga produktivitas dalam satuan ton GKG/Ha menurun dari 4,62 poin menjadi 4,42 poin. Meskipun transisi rendah karbon dan tangguh iklim dapat membawa manfaat, tetapi biaya transisi juga cukup besar sebagai solusi.
Paradigma Pembangunan di daerah ini belum berubah dari orientasi pertumbuhan menjadi pertumbuhan berkeadilan. Hal ini terlihat dari data perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis RPJMD Sulteng. Trend IPM meningkat, tetapi trend IKLH berfluktuasi. Tantangan yang dihadapi adalah mempertahankan atau meningkatkan IKLH seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan sosial. Pembangunan berkelanjutan di Sulawesi Tengah harus memperhatikan keseimbangan antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan hidup dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang berpengaruh pada kesehatan dan produktivitas masyarakat, terutama yang tinggal di daerah yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Secara keseluruhan, meskipun IPM di Sulawesi Tengah menunjukkan tren peningkatan, kualitas lingkungan hidup yang tercermin dalam IKLH mengalami fluktuasi. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pembangunan manusia belum sepenuhnya sejalan dengan perbaikan kualitas lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih kuat untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, terutama di daerah-daerah yang mengalami tekanan pembangunan. Langkah-langkah mitigasi bencana, adaptasi perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik perlu dilakukan untuk menjaga IKLH agar sejalan dengan perkembangan IPM yang terus meningkat. Daerah ini pernah dibantu melalui Belanja Pemerintah Pusat yakni Belanja Mitigasi Perubahan Iklim sebesar Rp5,22,- miliar dan dana Adaptasi Perubahan Iklim sebesar Rp7,97,- miliar. Hasilnya sangat mengecewakan dan menghilangkan kepercayaan pada daerah ini karena 23 persen digunakan sebagai Perjalanan Dinas keluar daerah dan dana tersebut terlalu terkonsentrasi pada Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH).
Satu dari berbagai pilihan kebijakan adalah menjalankan kebijakan Ekonomi Restoratif. Kebijakan ini bertujuan untuk memulihkan dan memperbaiki lingkungan dan masyarakat yang rusak, bukan hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi saja. Tujuan dan Manfaat Ekonomi Restoratif yakni pertama, menciptakan model ekonomi yang dapat menghasilkan manfaat ekonomi tanpa merusak lingkungan. Kedua, menjadi solusi bagi kerusakan alam yang disebabkan oleh model ekonomi sebelumnya. Ketiga, memberikan peluang ekonomi baru dan lapangan kerja bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan ketahanan pangan dan ketersediaan sumber daya alam jangka Panjang. Program Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang bertujuan memberdayakan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dan sosial, sambil menjaga kelestarian lingkungan. Dinas Kehutanan Sulteng bersama mitra pembangunan menjalankan telah menghasilkan Nilai Ekonomi Perhutanan Sosial dari Pengelolaan Hutan Adat mencapai Rp34,9,- miliar pada 2023 menjadi Rp21,78,- miliar pada 2025. Walaupun trendnya menurun, namun, program ini dijalankan, akan memberikan manfaat Nilai Ekonomi dari valuasi ini. Topik inilah yang hangat dibahas pada 25 Desember 2025 diinisiasi oleh Karsa Institute.
*) Guru Besar FEB-Untad
Apa Reaksimu?






