Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial Adalah Ilusi: Mewarisi Api, Bukan Abu Tan Malaka

Oleh: Mohsen Hasan A*

Agustus 6, 2025 - 09:19
 0
Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial Adalah Ilusi: Mewarisi Api, Bukan Abu Tan Malaka
Dr.Mohsen Hasan Alhinduan,Lc.MA

KEMERDEKAAN adalah kata yang sering dielu-elukan dalam setiap peringatan 17 Agustus. Ia hadir dalam pidato resmi, dalam parade bendera, dan dalam nyanyian anak-anak sekolah. Namun dalam puisi yang dinisbatkan pada Tan Malaka, kemerdekaan justru dipertanyakan maknanya. Ia bertanya dengan lantang: Apa artinya merdeka bila perut rakyat masih lapar? Bila tanahnya dirampas? Bila suara dibungkam oleh senjata?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar bait puitis, melainkan kritik historis dan politis terhadap wajah kemerdekaan Indonesia yang—bagi sebagian rakyat—masih sebatas simbol, bukan substansi.

Kemerdekaan: Dari Kolonialisme Asing ke Penjajahan Baru

Sejarah Indonesia bukan hanya soal pengusiran penjajah asing, tetapi juga soal pergulatan panjang melawan ketimpangan dan penindasan dalam negeri. Tan Malaka, pemikir radikal dan revolusioner dari Minangkabau, sudah sejak awal menyadari bahwa penjajahan bisa saja berganti rupa. Ia menyebut dalam Naar de Republiek Indonesia bahwa kemerdekaan politik tanpa pembebasan ekonomi adalah pengkhianatan terhadap rakyat.

Puisi ini seakan menghidupkan kembali peringatan Tan Malaka: kemerdekaan bukan hanya mengibarkan bendera, tetapi membebaskan manusia dari kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan struktural.

Keadilan Sosial: Fondasi yang Diabaikan

Konstitusi kita dengan tegas mencantumkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebagai sila kelima Pancasila. Namun dalam praktiknya, ketimpangan ekonomi tetap menganga. Data terbaru menunjukkan bahwa segelintir elite menguasai kekayaan nasional, sementara jutaan rakyat hidup dalam jeratan kemiskinan dan pekerjaan informal.

Puisi Tan Malaka menyebut, “roti yang dibagi rata, air yang mengalir untuk semua, hak yang dijaga tanpa pilih kasih”—sebuah visi sosialisme kerakyatan yang menuntut distribusi sumber daya secara adil. Inilah makna kemerdekaan sejati: membebaskan rakyat dari eksploitasi oleh sistem yang hanya berpihak pada yang kuat.

Kemerdekaan sebagai Proyek yang Belum Selesai

Kita sering terjebak dalam euforia kemerdekaan sebagai titik akhir perjuangan, padahal Tan Malaka mengingatkan bahwa kemerdekaan hanyalah pintu gerbang menuju perjuangan yang lebih besar—yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tanpa keberanian untuk mendistribusikan tanah, menata ulang sistem ekonomi, dan menjamin hak rakyat, maka kemerdekaan hanyalah “ilusi yang disembunyikan di balik pidato”.

Di sini kita melihat bahwa puisi ini bukan sekadar karya sastra, melainkan naskah politik yang menggugat status quo. Ia menyerukan kepada rakyat untuk bersuara dan bangkit dari diam yang panjang, sebuah seruan revolusioner yang konsisten dengan semangat para pejuang Bangsa dan Negara Tan Malaka yang membela kaum tertindas.

Mewarisi Api, Bukan Abu

Banyak tokoh bangsa telah dilupakan atau dimarginalisasi oleh sejarah resmi. Tan Malaka, meski telah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, masih kerap dilupakan dalam narasi arus utama. Padahal, ide-ide radikalnya relevan untuk menjawab kegagalan negara dalam memenuhi janji-janji kemerdekaan.

Kini, lebih dari tujuh dekade setelah Proklamasi, kita dihadapkan pada dilema serupa: Apakah kita merdeka sebagai bangsa, atau hanya merdeka sebagai slogan? Apakah keadilan sosial masih sekadar kutipan di dinding sekolah, atau menjadi kebijakan nyata?

Tan Malaka menulis (dalam puisi maupun pikirannya) bukan untuk dikenang, tapi untuk dihidupkan. Maka tugas generasi hari ini adalah mewarisi api perjuangannya, bukan abunya.

Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan yang berakar dalam keadilan sosial. Tan Malaka telah mengingatkan kita dengan sangat jelas: jika rakyat masih tertindas oleh kemiskinan, dibungkam oleh kekuasaan, dan dirampas haknya oleh sistem, maka kita belum benar-benar merdeka.

Mari jangan puas hanya dengan bendera di tiang atau nyanyian di upacara. Kita harus bertanya, menggugat, dan bergerak. Karena kemerdekaan tanpa keadilan adalah ilusi.

Selamat HUT ke 80 semoga ada perubahan berarti bagi Bangsa dan Negara.

*) Pemerhati Sosial,Budaya Politik & Isu Global.

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow