Ketika Kejujuran Menemukan Godaan
Oleh Suparman*)
ADA pepatah lama yang menggema dari lorong-lorong kekuasaan: Tidak semua orang jahat dilahirkan jahat. Beberapa hanya tersesat oleh kesempatan. Barangkali di sanalah kita melihat paradoks paling klasik dalam sejarah peradaban umat manusia — bahwa kejujuran bukanlah benteng yang tak tertembus, melainkan taman rapuh yang bisa layu oleh tekanan, kesempatan, dan pembenaran.
Donald R. Cressey, seorang kriminolog dan sosiolog asal Amerika, pernah menggambarkan fenomena ini dalam teori yang kini menjadi klasik di dunia forensik keuangan: Fraud Triangle Theory — segitiga kecurangan. Tiga sisi dari segitiga ini — pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (rasionalisasi) — seolah menjelaskan mengapa seseorang yang awalnya jujur dapat berubah menjadi pelaku korupsi yang licik. Seorang alim tiba-tiba menjadi rakus atas harta.
Namun, teori ini bukan sekadar formula akademik. Ia adalah cermin yang mengungkap wajah kita semua — wajah yang bisa retak ketika godaan lebih kuat daripada integritas.
Tekanan
Korupsi jarang lahir dari niat jahat murni. Korupsi sering tumbuh dari tekanan yang menyesakkan. Tekanan ekonomi, gaya hidup, utang, atau bahkan ambisi sosial yang mendorong seseorang mencari jalan pintas. Cressey menyebutnya pressure — dorongan yang menekan moral hingga melengkung.
Dalam realitas kita, tekanan itu hadir dalam banyak bentuk: gaji yang tak sepadan dengan tanggung jawab, tuntutan keluarga yang menumpuk, atau gaya hidup yang terus dikejar agar tampak “berhasil.” Seorang pegawai kecil bisa berubah menjadi koruptor besar, bukan karena kehilangan nurani, tapi karena kejujurannya kalah oleh rasa terpaksa.
Ekonom legendaris Milton Friedman pernah mengingatkan, the great danger to liberty comes from the concentration of power. Ketika tekanan sosial dan kekuasaan ekonomi terpusat pada segelintir tangan, individu di bawahnya sering terjebak dalam sistem yang memaksa mereka memilih antara idealisme dan kelangsungan hidup. Maka, tekanan bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga sistemik — lahir dari ketimpangan dan ketidakadilan struktural. Hal ini seolah menjadi justifikasi paling mudah untuk mentolerir perangai koruptor.
Kesempatan
Kesempatan adalah pintu yang tak terkunci di tengah ruangan gelap. Ia menunggu siapa saja yang berani melangkah masuk. Dalam segitiga Cressey, opportunity menggambarkan celah yang muncul ketika sistem pengawasan lemah, aturan tidak ditegakkan, atau posisi memberi ruang untuk menyalahgunakan wewenang.
Korupsi tidak tumbuh di ruang hampa. Korupsi tumbuh subur di tempat di mana pengawasan longgar dan keteladanan hilang. Ketika atasan memberi contoh buruk, ketika sistem audit hanya menjadi formalitas, atau ketika hukum bisa dibeli, maka kesempatan berubah menjadi undangan.
Filsuf politik Niccolo Machiavelli dalam The Prince menulis, when a ruler becomes corrupt, his corruption spreads like a contagion. Korupsi adalah penyakit yang menular dari atas ke bawah. Kesempatan yang dibiarkan tanpa pengawasan menjadi virus yang menyebar melalui urat nadi birokrasi, membusukkan sendi moral lembaga dan institusi, dan membuat kejujuran tampak naif. Bahkan, kejujuran menjadi barang paling langka dan mahal untuk ditemukan. Kejujuran sirna bak ditelan bumi.
Di banyak negara, termasuk kita, celah kesempatan sering lahir dari trust deficit — kepercayaan publik yang hancur karena lemahnya institusi. Ketika kepercayaan hilang, semua orang mencari cara untuk menyelamatkan diri. Maka korupsi bukan lagi deviasi. Malah, koruspi sudah menjadi adaptasi terhadap sistem yang korup.
Rasionalisasi
Sisi terakhir dari segitiga Cressey adalah yang paling berbahaya: rationalization. Inilah saat seseorang berdebat dengan dirinya sendiri untuk meyakinkan bahwa perbuatannya tidak apa-apa. Semua orang juga melakukan ini. Aku hanya meminjam sebentar. Aku juga berhak hidup layak. Rasionalisasi sesat, dan akal sehat yang dangkal.
Pada titik ini, korupsi bukan lagi soal uang — korupsi suda menjadi soal logika moral. Pelaku mulai menciptakan narasi pembenaran, agar rasa bersalahnya mengecil. Rasionalisasi adalah anestesi bagi nurani.
Filsuf terkemuka, Immanuel Kant pernah menulis, act in such a way that you can will your action to become a universal law. Tapi, dalam dunia yang sarat pembenaran, hukum universal diganti oleh hukum kepentingan pribadi. Moralitas bukan lagi kompas, melainkan kalkulator: menghitung untung rugi, bukan benar salah.
Rasionalisasi ini yang membuat korupsi begitu sulit diberantas. Karena sebelum seseorang menilep uang rakyat, ia lebih dulu menipu dirinya sendiri.
Cressey mungkin tak pernah membayangkan bahwa teorinya akan menjadi cermin sosial global. Tapi di Tanah Air, segitiga Cressey itu menemukan konteks paling nyata. Tekanan hidup yang tinggi, kesempatan dari jabatan publik, dan rasionalisasi budaya yang permisif terhadap “uang pelicin”, telah membentuk ekosistem yang subur bagi korupsi. Ekosistem korupsi menjalar ke mana-mana, dari meja pemerintah pusat hingga meja kepala desa.
Kita sering menganggap korupsi hanya soal pejabat dan proyek, padahal korupsi bisa menjelma dalam bentuk kecil: dari titipan proyek, pungutan liar, hingga manipulasi laporan. Korupsi hadir di ruang-ruang kelas, kantor, bahkan rumah tangga — di setiap tempat di mana nilai bisa dinegosiasikan.
Seorang politikus jujur bisa berubah menjadi koruptor ulung, bukan karena tiba-tiba jahat, melainkan karena tiga sisi segitiga itu saling menutup rapat — tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi — hingga integritasnya tak lagi menemukan jalan keluar.
Membangun Segitiga Baru
Jika korupsi adalah hasil dari Fraud Triangle, maka melawannya harus dengan segitiga baru: Etika, Transparansi, dan Keteladanan. Etika menuntun manusia tetap teguh di tengah tekanan. Transparansi menutup celah kesempatan. Keteladanan menghancurkan rasionalisasi.
Kita butuh pemimpin yang tak hanya pintar membuat regulasi, tapi juga berani menjadi teladan. Kita butuh sistem yang membuat kejujuran lebih mudah, daripada kecurangan. Dan kita butuh budaya yang mengajarkan, bahwa malu bukan karena tertangkap, tetapi karena mengkhianati kepercayaan. Semua itu, terlihat hilang dari kondisi kita hari ini.
Ekonom peraih Nobel, Amartya Sen, pernah berkata, development is freedom. Dalam konteks ini, pembangunan sejati bukan hanya soal ekonomi tumbuh, tetapi juga ketika masyarakat bebas dari rasa takut dan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh korupsi. Karena kebebasan sejati, bukan hanya dari kemiskinan, tetapi juga dari kebohongan.
Menjaga Kejujuran di Tengah Godaan
Pada akhirnya, korupsi bukan hanya soal uang yang hilang, tapi juga kepercayaan yang lenyap. Kejujuran yang dahulu menjadi pondasi bangsa kini sering terasa seperti kemewahan moral di tengah pragmatisme sosial.
Tapi mungkin, harapan masih ada selama masih ada orang yang mau menatap cermin dan berkata: tidak semua kesempatan perlu diambil, tidak semua tekanan harus dilawan dengan tipu daya, dan tidak semua kesalahan layak untuk dibenarkan.
Korupsi bukan takdir. Korupsi adalah pilihan yang diambil di antara bisikan nurani dan godaan duniawi. Dan dalam setiap pilihan, selalu ada ruang untuk tetap jujur — meski dunia tidak memberi tepuk tangan.
*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako
Apa Reaksimu?


