Rakor Pelibatan Lembaga Adat: Melahirkan Rekomendasi Besar untuk Budaya Sulteng 2026

PERTEMUAN para tokoh Seni budayawan, bersama Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dikemas dalam Rapat Sinkronisasi Program Pelibatan Lembaga Adat dengan Pemerintah Daerah, Kamis 11 Desember 2025 di Palu. Rapat yang berlangsung sehari penuh ini menjadi ruang nyaman bagi para pemangku adat, budayawan, serta unsur pemerintah untuk saling menyambung pikiran mengenai masa depan kebudayaan Sulawesi Tengah.

Des 16, 2025 - 16:00
 0  8
Rakor Pelibatan Lembaga Adat: Melahirkan Rekomendasi Besar untuk Budaya Sulteng 2026
Akhsan Intje Makka, salah satu komposer lagu-lagu Kaili saat menerima penghargaan. (Foto: Ist)

PERTEMUAN para tokoh Seni budayawan, bersama Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah  dikemas dalam Rapat Sinkronisasi Program Pelibatan Lembaga Adat dengan Pemerintah Daerah, Kamis 11 Desember 2025 di Palu. Rapat yang berlangsung sehari penuh ini menjadi ruang nyaman bagi para pemangku adat, budayawan, serta unsur pemerintah untuk saling menyambung pikiran mengenai masa depan kebudayaan Sulawesi Tengah.

Rakor dibuka oleh Gubernur Sulawesi Tengah, yang diwakili Asisten Pemerintahan, sekaligus dirangkaikan dengan penyerahan penghargaan kepada lembaga pemerintah dan para budayawan yang dinilai konsisten berkontribusi dalam pelestarian seni budaya daerah. Suasana penghargaan itu menjadi momen penuh penghormatan—sebuah pengakuan bahwa kebudayaan tetap menjadi akar jati diri masyarakat Sulteng.

Salah satu pokok penting yang mengemuka dari Rakor adalah gagasan pembangunan kawasan budaya terpadu yang dipusatkan di lokasi eks STQ Nasional di Palu. Gagasan ini muncul dari Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulteng sebagai respon terhadap kebutuhan ruang representatif yang dapat menampung keragaman budaya seluruh kabupaten/kota.

Dr. H. Syuaib Djafar, M.Si, selaku Dewan Pakar, menyampaikan bahwa kawasan tersebut akan menjadi miniatur seni budaya Sulawesi Tengah, menampilkan karakter adat dari berbagai wilayah, mulai dari Kaili, Pamona, Mori, Buol, Tolitoli, Kulawi, Saluan, Balantak, Banggai, hingga Banggai Laut.

“Sehingga bila ada tamu atau wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, tidak perlu jauh keliling Sulawesi Tengah—cukup datang di kawasan ini. Semacam ‘Taman Mini Sulawesi Tengah’,” ujarnya.

Gagasan ini bukan hanya ruang wisata, tetapi juga pusat edukasi, riset, pertunjukan seni, hingga diplomasi kebudayaan daerah.

Rakor juga merekomendasikan agar seni dan budaya Sulawesi Tengah dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal dari jenjang PAUD, TK, SD, SMP hingga SMA. Langkah ini dipandang strategis agar generasi muda tidak tercerabut dari akar identitasnya.

Dengan belajar struktur adat, sastra lisan, musik tradisional, busana adat, hingga permainan rakyat, generasi mendatang diharapkan tumbuh sebagai anak-anak yang mengenal dan mencintai kebudayaannya sendiri.

"Generasi kita tidak boleh kehilangan identitasnya," tegas salah seorang peserta rakor.

Isu lain yang tak kalah penting adalah perlunya penataan ulang pemahaman adat, terutama di wilayah perkotaan seperti Palu, yang kini banyak warganya tidak lagi memahami strata adat berikut implementasinya.

Misalnya, siapa yang berhak menggunakan Ula-ula, kapan adat Netambuli diterapkan, dan bagaimana tata cara adat tertentu harus ditempatkan sesuai kelompok sosialnya masing-masing.

Rakor menilai, jika pemahaman adat terus dibiarkan kabur, maka bukan hanya identitas yang memudar—tetapi juga hubungan sosial yang dapat salah kaprah.

Dalam diskusi rakor, mengemuka pula pentingnya sinergi hukum adat dan hukum positif, terutama untuk mendukung penegakan hukum yang lebih berkeadilan dan berakar pada kearifan lokal.

Secara prinsip, hukum positif adalah aturan tertulis negara yang bersifat formal dan mengikat secara nasional. Sementara hukum adat adalah aturan hidup masyarakat yang tidak tertulis, namun dipatuhi karena mengandung nilai moral, etika, dan kearifan leluhur.

Keduanya bisa bersinergi antara lain karena: Pertama, Hukum adat mengisi ruang yang tidak tercakup hukum positif. Kedua, Putusan adat sering bersifat restoratif, bukan menghukum. Ketiga, Negara mengakui keberadaan hukum adat. Dalam konstitusi dan berbagai peraturan, negara memberi ruang bagi masyarakat adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional. Ini membuka peluang kerjasama formal.

Rakor sehari itu berhasil merumuskan sejumlah rekomendasi strategis yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk ditindaklanjuti tahun 2026. Dari pembangunan kawasan budaya hingga pembenahan kurikulum dan penataan ulang adat, rakor ini memberi harapan baru bahwa kebudayaan Sulawesi Tengah bukan hanya dirawat, tetapi akan tumbuh sebagai kekuatan masa depan.

Rapat selesai ketika matahari mulai condong ke barat, namun gaung gagasan dan semangat para pelakunya diyakini akan terus mengalir ke banyak ruang—ruang kebudayaan, pendidikan, pemerintahan, hingga ruang batin masyarakatnya sendiri. (Akhsan Intje Makka)

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow