Kampus Berdampak, Penjaga Masa Depan

Oleh: Suparman*

Nov 27, 2025 - 21:03
 0
Kampus Berdampak, Penjaga Masa Depan
Suparman, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako. FOTO: DOK. PRIBADI

DI banyak daerah di Indonesia, pemerintah daerah sedang menghadapi dilema yang semakin nyata: bagaimana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa merusak lingkungan yang menjadi sumber utama daya tarik wisata? Pantai yang indah, terumbu karang yang berwarna, mangrove yang rimbun, pegunungan yang hijau, dan budaya lokal yang autentik menjadi magnet wisatawan. Namun modal ini sangat rapuh. Tekanan pembangunan yang tidak terkendali membuat fondasi ekologis yang menopang pariwisata mulai retak, bahkan dalam beberapa kasus hampir runtuh. Kerusakan destinasi wisata hampir tak dapat terelakan.

Dalam situasi seperti ini, kampus tidak boleh hanya berdiri sebagai penonton. Kampus harus menjadi menjadi pemain utama sebagai penjaga masa depan. Kampus harus menjadi aktor yang memastikan bahwa pembangunan pariwisata tidak hanya menghasilkan pendapatan, tetapi juga menjaga keberlanjutan ekologis dan sosial untuk generasi mendatang. Kita tidak boleh mengorbankan harapan dan masa depan generasi mendatang dengan cara yang tak bijak. Maka, kehadiran kampus sebagai sumber pengetahuan, inovasi, dan pendampingan masyarakat menjadi semakin penting dan strategis, ketika pemerintah daerah berhadapan dengan tuntutan peningkatan PAD di satu sisi, dan tekanan menjaga kelestarian lingkungan di sisi lain. Dua sisi mata uang yang saling berlawanan.

Merujuk data Indonesia Tourism Outlook yang dirilis Tahun 2025/2026, menegaskan arah baru pariwisata nasional antara lain, peningkatan kualitas layanan, keseimbangan ekologi, dan perbaikan tata kelola yang lebih inklusif.  Dokumen quality tourism, sebagai prioritas dengan empat pilar: kenyamanan, keamanan, pelestarian budaya, dan autentisitas. Kondisi ini memastikan, Indonesia mulai meninggalkan orientasi pariwisata massal yang berorientasi angka kunjungan wisatawan, menuju pariwisata bermanfaat secara berkelanjutan. Pariwisata yang tidak merusak lingkungan alam. Pariwisata yang tidak meninggalkan siapapun, no one left behind.

Pariwisata Berkelanjutan

Pertanyan yang muncul, mengapa pariwisata berkelanjutan yang harus kita hadirkan dan menjadi paradigma baru  pariwisata masa depan. Setidaknya, pariwisata berkelanjutan kini menjadi fokus utama arah pembangunan pariwisata yang memikirkan masa depan generasi bangsa kita. Ada tiga alasan utama, Pertama, wisatawan global semakin mencari pengalaman autentik dan ramah lingkungan. UNWTO (2023) mencatat bahwa 76 persen wisatawan internasional memilih destinasi yang memiliki komitmen konservasi. Ada perubahan orientasi wisatawan yang sebelum puas hanya sekedar foto-foto, namun sudah menginginkan dan merasakan, untuk belajar dan berkontribusi terhadap tanggungjawab lingkungan dan budaya lokal. Mereka sudah berfikir meaningful tourism, bukan sekadar kunjungan singkat tanpa makna. Kedua, model pariwisata berkelanjutan menghasilkan manfaat yang lebih merata. Penelitian dari Elinor Ostrom (2009), peraih Nobel Ekonomi, menunjukkan bahwa sumber daya bersama dapat dikelola secara lestari jika masyarakat lokal menjadi aktor utama dengan kelembagaan yang jelas. Prinsip ini sangat relevan bagi desa-desa wisata yang selama ini hanya menjadi penonton ketika investor besar masuk. Dengan melibatkan masyarakat, keuntungan tidak hanya terkumpul pada pemilik modal besar, tetapi juga mengalir ke pelaku UMKM, petani lokal, nelayan, pengrajin, dan penyedia jasa wisata lainnya. Ketiga, tekanan lingkungan di banyak destinasi semakin meningkat. Abrasi pantai, sampah laut, pemutihan terumbu karang, dan kerusakan mangrove dilaporkan meningkat di berbagai kawasan wisata. Indonesia Tourism Outlook mencatat bahwa beberapa destinasi unggulan seperti Bali selatan, Labuan Bajo, Senggigi, Mandalika, hingga Bunaken mulai mengalami penurunan kualitas lingkungan, akibat tekanan pengunjung. Tekanan ini bukan hanya mengancam ekosistem, tetapi juga mengurangi daya tarik wisata itu sendiri. Secara bertahap, jika kita tidak menyiapkan exit strategic-nya, hampir dipastikan kerusakan itu semakin cepat terjadi.

Indonesia sebagai negara kepulauan menghadapi ancaman perubahan iklim yang sangat nyata.  Masyarakat nelayan sangat terpukul dengan adanya perubahan iklim, jika tidak dimitigasi secara dini. Studi yang dilakukan Coral Reef Watch (2024), memperlihatkan pemutihan karang terbesar dalam satu dekade terakhir akibat peningkatan suhu laut. Sementara itu, wilayah pesisir juga terancam oleh kenaikan permukaan air laut dan badai ekstrem. Mangrove yang menjadi pelindung alami mulai tergerus. Mangrove mengalami kerusakan parah karena tidak ada upaya secara serius untuk mempertahankan dan melestarikan. 

Pesan yang sangat jelas disampaikan, Johan Rockström melalui konsep planetary boundaries (2009), mengingatkan bahwa ekosistem laut dunia telah mendekati batas kritis yang sulit dipulihkan, jika kerusakan terus berlangsung. Ketika batas ekologis terlampaui, kerusakan menjadi tidak hanya irreversible, tetapi juga sudah membawa konsekuensi dampak sosial-ekonomi yang luas dan mendalam. Karena itu, membangun pariwisata berkelanjutan bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Kebutuhan ini tak dapat ditunda-tunda, jika tidak maka kerusakan itu tidak dapat dipertahankan.

Contoh inspiratif dapat dilihat di Desa Wisata Pujon Kidul di Jawa Timur.  Kawasan desa ini berhasil mengembangkan konsep community-based tourism, di mana masyarakat lokal menjadi pengelola utama. Masyarakat lokal sudah pemain utama, bukan penonton lagi.  Pendekatan ini bukan hanya meningkatkan ekonomi desa, tetapi juga menjaga kelestarian alam dan budaya lokal. Pujon Kidul menjadi bukti bahwa pariwisata berkelanjutan dapat diwujudkan jika masyarakat dilibatkan sejak awal. Tidak ada eksploitasi berlebihan, tidak ada pembangunan yang melampaui daya dukung lingkungan, dan tidak ada marginalisasi pelaku lokal. Namun pertanyaannya: siapa yang memastikan model seperti ini terus berkembang dam menjadi semakin luas? Siapa yang menjembatani ilmu pengetahuan, kebutuhan masyarakat, dan kebijakan pemerintah? Siapa yang mampu menghadirkan inovasi dan kajian mendalam yang dibutuhkan untuk desain kebijakan yang tepat? Jawabannya adalah kampus.

Peran kampus dalam menjaga masa depan pariwisata setidaknya mencakup empat aspek strategis. Pertama, riset yang berdampak. Sejumlah temuan penelitian pariwisata hanya berakhir sebagai jurnal akademik tanpa menyentuh masyarakat. Padahal riset mengenai rehabilitasi mangrove, restorasi terumbu karang, carrying capacity destinasi, ekonomi sirkular, dan payment for ecosystem services dapat langsung diterapkan dalam kebijakan daerah. Herman Daly (1996), pelopor ekonomi ekologis, menegaskan bahwa ekonomi tidak dapat tumbuh tanpa memperhitungkan batas ekologis. Riset kampus harus menjadi kompas kebijakan, bukan sekadar angka sitasi. Lebih jauh lagi, riset kampus dapat membantu pemerintah daerah menghitung daya dukung destinasi, memetakan kerentanan iklim, mengukur emisi karbon pariwisata, hingga merancang model ekonomi hijau dan biru berbasis komunitas.

Kedua, pendampingan masyarakat dan UMKM pariwisata. Data Kemenparekraf (2024) mencatat bahwa lebih dari 60 persen pelaku wisata di Indonesia, adalah usaha mikro dan kecil. Tanpa pendampingan, mereka rawan tergeser oleh investor besar. Kampus dapat membantu melalui pelatihan layanan wisata, digital marketing, pengelolaan homestay, hingga manajemen sampah berbasis komunitas. Pendampingan yang konsisten akan mengubah masyarakat dari penonton menjadi pemain utama.

Ketiga, penguatan kebijakan berbasis sains. Seperti ditegaskan kembali, C. Michael Hall (2011), kebijakan pariwisata yang tidak berlandaskan sains cenderung gagal ketika menghadapi guncangan pasar dan iklim. Kampus harus menjadi mitra strategis pemerintah daerah dalam menyusun RIPPDA, zonasi wilayah pesisir, dan roadmap green–blue economy agar pembangunan berjalan sistematis.

Keempat, pendidikan keberlanjutan. Kate Raworth (2017) melalui konsep doughnut economics mengingatkan bahwa pembangunan ideal berada dalam batas sosial dan ekologis. Nilai ini harus ditanamkan sejak bangku kuliah agar lahir generasi profesional yang mampu menyeimbangkan ekonomi dan lingkungan.

Secara sadar kita akui bahwa, masa depan pariwisata Indonesia bergantung pada keseimbangan ketika wisatawan bukan hanya datang untuk melihat, tetapi juga peduli dan berkontribusi, sehingga pariwisata menjadi warisan berharga bagi generasi selanjutnya. Keseimbangan inilah yang harus dijaga kampus. Kampus berdampak bukan hanya menghasilkan lulusan berprestasi, tetapi juga menghasilkan perubahan nyata. Kampus berdampak adalah kampus yang risetnya hidup di tengah masyarakat, kebijakannya menguatkan pemerintah daerah, dan pengabdiannya memberdayakan pelaku wisata lokal. Dalam negara kepulauan seperti Indonesia, masa depan pariwisata akan ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan laut dan pesisir hari ini. Jika model pembangunan masih berorientasi eksploitasi, maka keruntuhan ekologi hanya tinggal menunggu waktu. Tetapi jika pembangunan diarahkan pada konservasi, pemberdayaan masyarakat, dan pembatasan sesuai daya dukung lingkungan, maka pariwisata akan menjadi mesin kesejahteraan yang berkelanjutan. Kampus berdampak adalah kampus penjaga masa depan itu.

*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako

 

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow