Strategi Fishing Time Melawan Serakahnomics
Oleh Suparman *)

DALAM dua dekade terakhir, negeri ini berkali-kali diingatkan oleh suara lantang para ekonom dunia. Korupsi bukan sekadar “duri kecil” di jalan Pembangunan, melainkan sebuah “virus ganas” yang merusak fondasi ekonomi Bangsa. Virus yang menjalar dari akar hingga pucuknya.
Susan Rose-Ackerman, profesor ekonomi politik dari Yale University, menulis ‘corruption is the sand in the wheels of development’. Korupsi adalah pasir dalam roda pembangunan yang memperlambat, yang merusak, atau bahkan yang menghentikan laju sebuah bangsa. Negara maju tak akan pernah diraih, jika korupsi ini belum diselesaikan. Mari kita belajar cepat dari negara Tirai Bambu, bagaimana China (Tiongkok) menghabisi para koruptor yang merusak tatanan pemerintahan.
Kita semua baru sadar atau belum benar-benar sadar. Indonesia telah menyaksikan bagaimana pasir itu kerap menumpuk, membuat mesin birokrasi tersendat, dan anggaran negara bocor kemana-mana, bocor tak terkendali. Dalam kondisi demikian, muncul strategi cerdas dan jitu, strategi yang tak biasa dari Presiden Prabowo Subianto di tahun pertama Kabinet Merah Putih. Strategi ‘Fishing Time’—mancing para koruptor keluar, melalui pemangkasan anggaran dan efisiensi. Strategi perang melawan perompak uang negara yang berkeliaran selama ini. Komitmen dan ketegasan Presiden Prabowo patut diberikan apresiasi.
Wajah Gelap Ekonomi Rakus
Ekonomi, pada dasarnya adalah ilmu tentang alokasi sumber daya yang terbatas, untuk kebutuhan manusia yang tak terbatas. Tetapi ketika kerakusan mendominasi, ekonomi berubah wajah menjadi ‘serakahnomics’. Ekonomi rakus, tempat anggaran publik diperlakukan bak ladang jarahan. Budaya merampok uang negara, melalui berbagai lembaga atau institusi terus terjadi. Bahkan, budaya mencuri uang rakyat ini tak malu untuk dipertontonkan.
Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, menegaskan dalam bukunya, The Price of Inequality, bahwa korupsi memperlebar ketimpangan dan menggerus legitimasi negara. Stiglitz menulis, corruption distorts markets and creates an economy that serves the few, not the many. Di Indonesia, dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi hingga Pemerintah Kabupaten/Kota bahkan Pemerintahan Desa/Kelurahan, wajah serakahnomics kerap terlihat dari proyek infrastruktur yang nilainya dibengkakkan, pengadaan barang fiktif, hingga dana bansos yang raib sebelum sampai ke rakyat. Para koruptor ibarat ikan-ikan rakus yang bersembunyi di kolam gelap birokrasi, menunggu umpan manis berupa anggaran besar tanpa kontrol, tanpa pengawasan. Ironisnya, meski sudah melalui berbagai bentuk pegawasan dan kontrol yang ketat, penjarahan uang rakyat itu kerap masih terjadi.
Strategi Mancing dengan Efisiensi
Di sinilah strategi pintar Presiden Prabowo memainkan peran penting. Alih-alih untuk menambah umpan berupa proyek jumbo, ia justru “mengeringkan kolam.” Anggaran-anggaran yang selama ini gemuk dipangkas, efisiensi dilakukan, prioritas dipertegas. Anggaran selama ini dikenal lahan basah dikeringkan.
Pemangkasan bukan sekadar untuk menyehatkan fiskal negara, tetapi juga untuk memancing keluar siapa saja yang merasa lapar, karena kehilangan “lahan basah.” Mereka yang biasanya hidup dari rente birokrasi dan rente ekonomi, mendadak gelisah tak karuan. Dalam kegelisahan itulah, perilaku menyimpang lebih mudah terdeteksi. Operasi tangkap tangan oleh KPK menjadi hiasan harian di layar kaca atau di media-media mainstream. Bahkan, media sosial sudah menjadi bagian dalam menyiarkannya.
Strategi ini bak nelayan yang tahu, ketika air surut, ikan-ikan akan keluar dari persembunyian. Dan begitu mereka tampak, jaring hukum ditebarkan. Ikan-ikan itu tertangkap tak berkutit.
Bayangkan sebuah kolam luas penuh ikan. Selama airnya dalam dan makanan melimpah, ikan-ikan dapat bersembunyi di dasar, tak terlihat mata. Namun ketika air dikurangi, kolam mengering, ikan-ikan akan berebut oksigen di permukaan. Mudah ditangkap, mudah dibedakan mana ikan sehat, mana yang busuk.
Pemangkasan anggaran bekerja persis seperti itu. Ia mengurangi “kedalaman” birokrasi, sehingga transparansi dan akuntabilitas meningkat. Dengan digitalisasi anggaran, sistem e-procurement, dan kontrol ketat, kesempatan bermain mata berkurang.
Paul Collier, ekonom dari Oxford, pernah menulis dalam The Bottom Billion bahwa negara-negara berkembang seringkali gagal, bukan karena miskin sumber daya, melainkan karena sumber daya itu “disalahgunakan oleh elite predator.” Strategi Fishing Time berusaha membalik logika predator itu: bukan lagi rakyat yang menjadi mangsa, melainkan para predator yang dimangsa oleh hukum.
Gerak cepat dan senyap dilakukan. Dalam Sepuluh bulan pertama Kabinet Merah Putih menjadi laboratorium awal strategi ini. Presiden Prabowo dan tim ekonominya melakukan tiga langkah utama: Sebut saja, audit dan rasionalisasi anggaran. Proyek yang dianggap tak relevan dipangkas, belanja barang dipersempit, belanja perjalanan dinas ditekan atau bahkan dipotong dan dihapus. Presiden Prabowo lalu menetapkan prioritisasi program produktif. Anggaran dialihkan ke sektor pangan, energi, dan pertahanan—tiga bidang yang dianggap strategis bagi kedaulatan bangsa. Tentu saja ditunjang, digitalisasi dan keterbukaan. Sistem pelaporan real-time memperkecil ruang negosiasi gelap.
Hasilnya belum tentu spektakuler, namun satu hal jelas: banyak wajah lama di birokrasi yang mendadak tampak gusar. Mereka yang terbiasa menikmati rente, kini kehilangan panggung.
Transparansi International mencatat, setiap 1 poin penurunan indeks persepsi korupsi dapat menggerus pertumbuhan ekonomi hingga 0,5 persen. Korupsi bukan hanya soal uang yang hilang, tetapi juga soal hilangnya kepercayaan pasar, investor, dan rakyat.
Semisal, ekonom Gunnar Myrdal pernah menyebut Asia Selatan dalam bukunya Asian Drama sebagai ‘soft-state’, akibat korupsi yang meluas: hukum tumpul, institusi lemah, kebijakan tak konsisten. Peringatan itu relevan bagi Indonesia, bila strategi seperti Fishing Time gagal dijalankan dengan konsisten.
Dari Serakahnomics ke Ekonomi Berdaulat
Jika serakahnomics adalah wajah gelap ekonomi rakus, maka strategi Fishing Time berupaya mengembalikan ekonomi ke jalur berdaulat. Jalur on the track Ekonomi Nasional. Ekonomi berdaulat berarti anggaran dipakai untuk rakyat, bukan untuk kelompok kecil.
Kutipan dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998, patut direnungkan, ‘Development is freedom.’ Korupsi membelenggu kebebasan rakyat miskin untuk mendapat layanan dasar. Maka, setiap rupiah yang diselamatkan dari serakahnomics adalah satu langkah menuju kebebasan. Kebebasan rakyat menuju kesejahteraan.
Namun strategi ini tentu tak tanpa risiko. Pertama, pemangkasan anggaran bisa menimbulkan resistensi dari birokrasi yang merasa terancam. Kedua, efisiensi kerap disalahartikan sebagai pemotongan tanpa arah. Ketiga, koruptor juga tak diam; mereka bisa beradaptasi, mencari kolam baru, bahkan menciptakan celah baru. Keempat, efisiensi anggaran menimbulkan program dan kegiatan prioritas ikut terganggu karena keringnya likuditas. Kelima, pemotongan anggaran menyebabkan aktivitas perekonomian dalam jangka Panjang dapat terganggu, termasuk pertumbuhan ekonomi dan pendapatan berjalan lambat.
Presiden Prabowo perlu memastikan bahwa Fishing Time tidak hanya menjadi jargon, tetapi bagian dari sistem berkelanjutan. Integrasi dengan KPK, BPK, dan aparat penegak hukum mutlak diperlukan. Sinergi Lembaga-lembaga untuk menghabisi koruptor ini menjadi keniscayaan, ditengah hilangnya kepercayaan publik atas pemberatasan korupsi. Bangsa dan Negara ini sudah terlalu lama hidup dalam hisapan koruptor.
Menangkap Ikan Rakus di Kolam Negara
Korupsi adalah kanker yang membuat tubuh bangsa terus demam. Tubuh pemerintahan tak pernah stabil, terkadang oleng. Strategi Fishing Time—memancing koruptor keluar lewat pemangkasan anggaran—adalah terapi awal yang jitu dan berdampak.
Apakah terapi ini akan berhasil membunuh kanker, atau hanya meredakan gejalanya, itu tergantung pada konsistensi dan dukungan publik. Namun satu hal pasti: serakahnomics tak boleh dibiarkan merajalela. Serakahnomics sudah membelenggu bangsa dan negara ini. Serakahnomics ikut berkontribusi, Indonesia tak pernah benar-benar keluar dari jeratan hutang,
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani mengeringkan kolam, menebarkan jaring, dan berani menangkap ikan-ikan rakus yang merusak ekosistemnya. Seperti kata Montesquieu, filsuf politik yang kerap dikutip para reformis: “When the republic is corrupted, the laws are corrupted too.”
Kini, pertanyaan terbesarnya adalah: apakah Indonesia akan membiarkan hukum dipelintir oleh serakahnomics, ataukah berani membangun republik yang sehat dengan strategi jitu memancing para koruptor keluar?
*) Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako
Apa Reaksimu?






