Luka Bone
Bone bergolak lantaran ada pertanyaan yang tak terjawab. Lihatlah Selasa kemarin. Siang hingga malam: sekitar seribu rakyat sedang membawa "pertanyaan" mendatangi, ada yang menyebut menyerbu, kantor Bupati Bone di Watampone.
BONE bergolak lantaran ada pertanyaan yang tak terjawab. Lihatlah Selasa kemarin. Siang hingga malam: sekitar seribu rakyat sedang membawa "pertanyaan" mendatangi, ada yang menyebut menyerbu, kantor Bupati Bone di Watampone.
Mereka ingin menemui bupatinya dan wakil bupatinya. Apa yang terjadi: kedua pemimpin yang dulu, dalam kampanye, berjanji merakyat. Mendengar keluhan rakyat. Hendak mensejahterakan rakyat. Ternyata memilih menyepi di ruangan ber-ac dengan perlindungan pihak keamanan. Tiba-tiba keduanya kehilangan nyali berhadap-hadapan dengan rakyatnya sendiri.
Rakyat datang dengan membawa sebuah pertanyaan kepada pemimpinnya. "Bila benar engkau, wahai bupati, wahai wakil bupati, mencintai kami rakyatmu: mengapa engkau tega benar menaikkan pajak setinggi langit, 300 persen. Pajak itu benar-benar mencekik kehidupan kami, rakyatmu: yang kini dilanda paceklik kehidupan. Katanya, engkau mencintai kami? Maaf, kali ini kami datang mempertanyakan rasa cintamu kepada kami, rakyatmu, rakyat Bone."
*
Mengapa rakyat Bone marah: siang hingga malam itu? Boleh jadi: lantaran sang pemimpin tak gentlemen menjelaskan langsung di hadapan mereka tentang apa yang mendesak, sehingga harus ada kenaikan pajak hingga setinggi "langit"?
Sesungguhnya ini persoalan sederhana. Apa salahnya bila sang pemimpin membatalkan kenaikan pajak itu bila memang rakyat tak mampu membayarnya yang tiba-tiba naik itu? Betapa dibutuhkannya rasa empati dan jiwa besar pemimpin kepada rakyatnya. Bukan memaksakan kehendak yang justru mematahkan nyali rakyat dalam menjalani hari-harinya.
Pemimpin yang "hanya fokus" mengorek pajak dari rakyatnya, lalu hasil pajak itu dipakai membangun: sebuah tanda-tanda zaman kegagalan.
Seharusnya sang pemimpin dan timnya yang telah mendapat mandat dari rakyatnya itu: berpikit kreatif menemukan solusi dengan cara menggali potensi yang ada di wilayah kekuasaannya. Pajak penting, tapi jangan fokus menjadikannya sumber utama mencari modal untuk dipakai membangun.
*
Luka telanjur lahir Selasa siang hingga malam: karena sebuah kebijakan mencuat bukan dari nurani. Tak gampang menyembuhkan luka itu, tentu.
Mencari siapa dalang gerakan rakyat Bone itu: tak penting dilacak. Bila pelacakan itu terus dilakukan dan didalami untuk menemukan para penggerak: hanya memperparah luka.
Kita butuh penyembuhan luka. Jauh lebih baik sang pemimpim berpikir dan merenung: mengapa rakyat datang hendak bertanya tentang kebijakan sang pemimpin.
Bila memang kebijakan itu melahirkan "penderitaan" bagi rakyat: ya, berjiwa besarlah membatalkannya. Lebih indah bila disertai: kata maaf untuk rakyat. Apa salahnya meminta maaf kepada rakyat sendiri. Maaf itu: bijak!
Ketika tulisan ini saya hendak rampungkan: saya tiba-tiba dikejutkan berita di televisi. Berita itu berbunyi: puluhan rakyat Bone yang ikut bergerak siang hingga malam itu "menyerbu" kantor Bupati Bone: ditangkap dan diamankan pihak kepolisian.
"Pak Polisi, bijaklah kepada mereka, rakyat Bone yang mendatangi kantor bupati hendak bertemu pemimpinnya itu. Sesungguhnya mereka itu bergerak sebagai keterpanggilan hati nurani, namun lantaran sang pemimpin tak menemui mereka: terjadilah hal-hal yang tak dinginkan. Sekali lagi, penangkapan itu hanya memperparah luka, bukan menyembuhkan luka." Saya bergumam. Tak ada yang mendengar, kecuali saya sendiri. *
Apa Reaksimu?






