Playbook Strategi Ekonomi: Soemitronomics dan Prabowonomics
Oleh Suparman *)

INDONESIA berada pada babak baru pembangunan ekonominya. Dua narasi besar mengemuka. Dua narasi itu terus berdialektika dalam forum dan seminar ekonomi Indonesia. Di satu sisi, warisan pemikiran Sumitro Djojohadikusumo—yang kini dikenal dengan istilah Soemitronomics—menegaskan pentingnya industrialisasi, kapasitas produksi, dan peran negara sebagai pengarah pembangunan. Di sisi lain, Prabowonomics yang diusung Presiden Prabowo Subianto menghadirkan aksentuasi nasionalisme ekonomi melalui program makan bergizi gratis (MBG), hilirisasi tahap lanjut, dan pemerataan pembangunan infrastruktur, sekaligus perang terhadap koruptor. Pertanyaan mengelitiknya, bagaimana merajut kedua mazhab ini, agar Indonesia tidak sekadar tumbuh cepat, tetapi juga tangguh, adil, dan berkelanjutan?
Soemitronomics
Kita semua ingat, ekonom Sumitro percaya bahwa kedaulatan ekonomi bertumpu pada production first. Tanpa mesin produksi nasional, surplus perdagangan akan rapuh; tanpa kapabilitas teknologi, hilirisasi hanya berhenti pada pemrosesan dasar. Oleh karena itu, negara harus hadir sebagai orchestrator yang menyiapkan industri dasar, infrastruktur, dan ruang bagi transfer teknologi.
Hal ini sejalan dengan pandangan Joseph E. Stiglitz (Nobel Ekonomi 2001) yang menekankan pentingnya kebijakan industri dalam menciptakan learning by doing dan akumulasi pengetahuan. Kata Stiglitz, Pasar tidak selalu memberikan pembelajaran yang cukup; kebijakan negara dapat memperbaikinya. Perspektif ini memberi legitimasi akademik bahwa industrialisasi strategis bukanlah intervensi keliru, melainkan langkah realistis menuju daya saing global.
Prabowonomics
Di sisi lain, Presiden Prabowo mengusung tiga poros utama. Prabowo ini meletakan ini sebagai milestone. Sebut saja, pertama, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) – bukan sekadar bantuan sosial, melainkan investasi sumber daya manusia, intervensi gizi, dan pencegahan stunting. Ini adalah human capital push jangka panjang. Selanjut, Hilirisasi 2.0 – melampaui sekadar smelter, menuju material maju, manufaktur bernilai tambah tinggi, dan integrasi ke rantai nilai global. Prabowo juga menekankan penting Infrastruktur pemerataan – dari konektivitas logistik hingga pasokan energi untuk kawasan industri, yang mengikat Nusantara sebagai satu pasar kerja dan produksi. Tanpa mengesampingkan penumpasan aktor-aktor koruptor yang mengerogoti bangsa.
Prabowonomics memberi warna populis sekaligus progresif: melindungi kelompok rentan, memperkuat basis produksi nasional, sekaligus menjaga keberlanjutan pertumbuhan di atas 5%.
Merajut Kekuatan Baru
Pemikiran atau mazhab Soemitronomics dan Prabowonomics dapat dirajut menjadi kekuatan baru. Tentu, gabungan dari kedua pandangan membangun ekonomi ini, menuntut policy mix yang disiplin namun inovatif.
Kita butuh Kapabilitas, bukan hanya kapasitas. Soemitro mengingatkan pentingnya kemampuan teknologi. Program hilirisasi harus diukur dengan value-added ladder: nilai tambah per pekerja, kedalaman proses, dan sertifikasi komponen lokal.
Presiden Prabowo harus mampu menjadikan Program sosial sebagai stabilisator permintaan. MBG dapat menjadi penguat gizi sekaligus penggerak ekonomi lokal bila melibatkan UMKM, cold chain daerah, dan tata kelola transparan. Abhijit Banerjee dan Esther Duflo (Nobel 2019) menekankan pentingnya desain kebijakan berbasis bukti—“policy must listen, test, and adapt.” Artinya, MBG perlu diuji coba, diaudit, dan dievaluasi ketat agar tidak hanya besar dalam angka, tapi juga berdampak nyata. Kasus terjadi keracunan massal dan busuknya makanan menjadi penanda ada prosedur yang harus terus diperbaiki. Ide dan gagasan hanya berhasil jika mampu dijalankan dan mencapai tujuan
Pasca Diberhentikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dimana keberhasilan menjaga Fiskal disiplin, kredibilitas moneter terus dapat dilanjutkan Nahkoda Purbaya Yudhi Sadewa. Ambisi besar Preside Prabowo tentu harus dijaga dengan jangkar makro yang lebih kredibel dan lebih akuntabel. Seperti diingatkan Angus Deaton (Nobel 2015), cara kita mengukur kemiskinan dan distribusi menentukan kebijakan. Artinya, kredibilitas fiskal dan transparansi data akan menjadi pondasi kepercayaan pasar. Tanpa kepercayaan pasar yang memadai dan kebijakan tidak prudent berbahaya bagi risiko ekonomi yang lebih besar. Kita semua juga perlu fokus dan hati-hati melakukan pengelolaan sumber daya bersama. Dimana, sosok Elinor Ostrom (Nobel 2009) mengajarkan bahwa commons dapat dikelola berkelanjutan, jika ada aturan lokal yang jelas, pemantauan, dan mekanisme resolusi konflik. Prinsip ini sangat penting untuk mengelola perikanan, hutan sosial, dan air—agar agenda industrialisasi tidak menghancurkan ekologi dan komunitas lokal. Manakala kita terlambar sadar, maka illegal fishing, illegal logging dan krisis air dapat terjadi setiap saat.
Playbook Strategi Ekonomi
Solusi strategis bagi masa depan ekonomi Indonesia yang dapat diwujudkan Presiden Prabowo. Setidaknya, Percepatan human capital berbasis bukti. Dalam konteks ini, MBG harus dievaluasi dengan indikator multidimensi: gizi, kehadiran sekolah, dan learning outcome. Efisiensi biaya dan local supplier share menjadi kunci agar manfaat beredar di akar rumput. Ekonomi lokal dapat bergerak karena MBG dapat mencapai wilayah terpencil dimana sekolah-sekolah ada.
Untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Maka, pentingnya strategi hilirisasi 2.0 yang terukur. Adanya dukungan fiskal dan regulasi harus mengikat ke capaian R&D, paten, dan graduation rate dari pemasok lokal. Kita ingat narasi apik dari Ekonom Stiglitz, kebijakan industri harus disertai disiplin, dukungan berakhir bila target pembelajaran tak tercapai. Kabinet Merah Putih dibawah komando Presiden Prabowo memposisikan ekonomi komunal sebagai penyeimbang. Implementasi prinsip Ostrom dalam izin dan co-management sumber daya akan menekan tragedy of the commons dan memperkuat ekonomi desa serta wilayah pesisir yang masih tertinggal dan terbelakang.
Kita semua tahu, pembangunan ekonomi Indonesia bukan sprint lima tahunan, melainkan marathon lintas generasi. Soemitronomics sudah memberi kita fondasi atas produksi dan teknologi. Sementara itu, Prabowonomics memberi energi politik dan keberpihakan pada manusia. Jalan tengahnya adalah negara yang kuat, namun cerdas, berpihak namun disiplin, ambisius namun realistis.
Mengingat kata-kata Stiglitz, “Development is about learning”—pembangunan adalah proses pembelajaran kolektif. Sejurus dengan itu, Banerjee dan Duflo menambahkan, kebijakan yang berhasil adalah yang mau mendengar suara rakyat. Dan dari Ostrom kita belajar, kesejahteraan jangka Panjang, hanya tercapai bila sumber daya bersama dijaga secara berkeadilan dan berkelanjutan.
Indonesia memiliki peluang untuk menjahit semua benang berkelindan ini menjadi kain pembangunan yang utuh: industri yang kokoh, manusia yang berdaya, fiskal yang disiplin, dan lingkungan yang lestari. Bila dijalankan konsisten, ekonomi tumbuh 6–7% atau bahkan 8% bukan lagi mimpi, melainkan realitas yang berkualitas—pertumbuhan yang tak hanya sekadar angka-angka, tetapi juga memperkuat martabat bangsa dan negara. Mungkinkah?
*Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako
Apa Reaksimu?






