APINDO Gelar Workshop dan Media Briefing, Perkuat Pemahaman Jurnalis Terkait Isu Pengupahan & Ketenagakerjaan
APINDO menggelar Economic & Labour Insight yang dilanjutkan dengan Media Briefing membahas mengenai Pengupahan, Selasa (25/11/2025) di kantor APINDO.
JAKARTA, METROSULAWESI.NET- APINDO menggelar Economic & Labour Insight yang dilanjutkan dengan Media Briefing membahas mengenai Pengupahan, Selasa (25/11/2025) di kantor APINDO. Hadir dalam diskusi bersama media, sejumlah pengurus APINDO diantaranya Anggota Dewan Pakar APINDO Anton J. Supit, Wakil Ketua Umum APINDO Sanny Iskandar, Sekretaris Umum APINDO Aloysius Budi Santoso, Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO Bob Azam, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO Darwoto, Ketua Bidang Bidang Perdagangan APINDO Anne Patricia Sutanto.
Dalam insight yang diberikan APINDO kepada para awak media, Sekretaris Umum APINDO Aloysius Budi Santoso mengungkapkan, kegiatan ini menjadi ruang berbagi wawasan mengenai berbagai isu ketenagakerjaan yang merupakan isu krusial bagi dunia usaha. Melalui kegiatan ini, APINDO berupaya memberikan pemahaman yang lebih komprehensif kepada media tentang dinamika ketenagakerjaan, termasuk bagaimana dunia usaha dapat tetap berkelanjutan sekaligus memastikan kesejahteraan pekerja. Dengan perspektif yang lebih utuh, media diharapkan dapat menyampaikan informasi yang lebih akurat dan konstruktif kepada publik.
Ketua Umum APINDO, Shinta W. Kamdani, menegaskan komitmen APINDO dalam mendukung proses penyusunan kebijakan pengupahan sebagai bagian dari forum tripartit di Dewan Pengupahan Nasional. Rekomendasi dari Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) telah disampaikan kepada pemerintah dan APINDO menantikan bagaimana rekomendasi tersebut akan dirumuskan dalam regulasi yang objektif dan sesuai dengan kondisi perekonomian.
Shinta menekankan dukungan dunia usaha terhadap penggunaan formula pengupahan dalam PP 36/2021 jo. PP 51/2023 yang telah diperkuat Putusan MK 168/PUU-XXI/2023. Dalam kerangka tersebut, APINDO menilai pentingnya menjaga nilai alpha tetap proporsional dan berbasis kondisi ekonomi serta produktivitas daerah; menetapkan upah minimum sektoral secara ketat sesuai kriteria Putusan MK; serta memastikan seluruh elemen penghitungan, termasuk KHL, menggunakan data objektif dan valid seperti Susenas BPS demi transparansi dan akurasi kebijakan.
Wakil Ketua Umum APINDO, Sanny Iskandar mengatakan, proses penetapan formula pengupahan sangat penting bagi dunia usaha, dan kami berharap dapat diselesaikan tepat waktu agar tercipta kepastian yang mendorong industri manufaktur bergerak dan beradaptasi dengan baik. Ketidakpastian yang berkepanjangan mulai memengaruhi strategi perusahaan, termasuk pertimbangan relokasi, baik antardaerah maupun ke negara lain seperti Vietnam, Kamboja, Bangladesh, atau Myanmar. Situasi ini mengingatkan bahwa Indonesia memiliki peluang besar yang perlu dijaga melalui daya saing yang kuat serta perhatian yang seimbang antara investasi baru dan keberlangsungan industri yang telah lama beroperasi.
Dunia usaha mendukung pemberian upah yang layak, namun penting agar struktur pengupahan selaras dengan produktivitas, sehingga keberlanjutan usaha dan peningkatan kesejahteraan dapat berjalan bersama. Dengan dialog yang terbuka dan kolaborasi yang konstruktif, kami yakin Indonesia dapat mempertahankan investasi, mencegah relokasi, dan menciptakan iklim usaha yang makin kompetitif bagi semua pihak.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam mengatakan, dunia usaha mendorong penguatan dialog bipartit di perusahaan agar penyesuaian upah mencerminkan kondisi riil usaha, serta optimalisasi dialog tripartit di tingkat nasional dan daerah untuk memastikan kebijakan pengupahan lebih konsisten, proporsional, dan responsif terhadap dinamika ekonomi.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Darwoto mengungkapkan, Besaran alfa harus ditetapkan secara proporsional, karena pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada faktor tenaga kerja, tetapi juga pada faktor produksi lainnya seperti investasi/modal, teknologi, dan total factor productivity (TFP) yang mencerminkan efisiensi, inovasi, serta peningkatan kapasitas produksi. Dengan demikian, alfa tidak dapat diterapkan secara seragam di seluruh daerah.
Sementara itu, Ketua Bidang Perdagangan APINDO, Anne Patricia Sutanto mengatakan, memasuki 2025, dunia usaha menghadapi pelemahan permintaan dan kenaikan biaya produksi. Daya beli turun seiring mengecilnya kelas menengah, melemahnya tabungan kelompok berpendapatan rendah, serta turunnya Indeks Keyakinan Konsumen. Kondisi ini menekan penyerapan produk industri. Di sisi supply, biaya logistik yang tinggi, harga energi yang lebih mahal dari negara pesaing, suku bunga yang tinggi, serta perizinan yang kompleks semakin membebani pelaku usaha. Tantangan eksternal, termasuk ketidakpastian perdagangan dengan AS dan meningkatnya impor ilegal, semakin mempersempit ruang gerak industri nasional.
Di saat yang sama, industri pengolahan sebagai kontributor utama PDB dan penyerap tenaga kerja formal mengalami tekanan berat, sejumlah industri padat karya tumbuh di bawah rata-rata atau mengalami kontraksi, sementara penjualan kendaraan ikut melemah. Kondisi ini menegaskan perlunya langkah cepat untuk memperkuat daya beli, menurunkan biaya produksi, dan mengendalikan impor ilegal agar industri manufaktur dapat kembali menjadi motor pertumbuhan dan pencipta lapangan kerja yang solid.
Menutup media briefing, Shinta mengatakan APINDO menyampaikan apresiasi kepada rekan media yang selama ini menjaga ruang dialog publik tetap konstruktif. APINDO mendorong media untuk terus menjadi mitra strategis dalam memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama terkait isu pengupahan. Pemberitaan yang objektif akan membantu menghadirkan kebijakan yang lebih baik bagi semua pihak. Semangat “Indonesia Incorporated” perlu terus diperkuat, termasuk melalui ruang-ruang diskusi yang sehat, baik di tataran publik maupun dalam hubungan bipartit. (*)
Apa Reaksimu?


