Perginya Sang Kritis

TIDAK gampang menemukan pemikir dan penulis kritis di Makassar setara Aswar Hasan. Sejak 1980-an hingga 2025 ini: Aswar terpanggil menuangkan pemikirannya di media cetak, baik yang terbit di Makassar, maupun yang terbit di Jakarta, harian KOMPAS, misalnya. 

Agustus 15, 2025 - 23:59
 0
Perginya Sang Kritis
Dr. H. Aswar Hasan. (Foto: Dok)
Perginya Sang Kritis

TIDAK gampang menemukan pemikir dan penulis kritis di Makassar setara Aswar Hasan. Sejak 1980-an hingga 2025 ini: Aswar terpanggil menuangkan pemikirannya di media cetak, baik yang terbit di Makassar, maupun yang terbit di Jakarta, harian KOMPAS, misalnya. 

Tulisannya: hampir seratus persen bernuansa kritis terhadap kebijakan pemerintah, nilai-nilai sosial di tengah masyarakar, dan sosok-sosok pejabat yang "bertopeng."

Ketika diangkat menjadi dosen di Universitas Hasanuddin (Unhas) dan bergelar doktor dengan status pegawai negeri sipil, seorang teman jurnalis pernah mengatakan: mungkin tulisan-tulisan Aswar ke depan tak lagi kritis kepada "tingkah" penguasa. Ternyata: tidak!

Seorang intelektual atau biasa disebut cendekiawan dari kampus itu: "kursi" apa pun diduduki di perguruan tinggi tak akan mengiris nalar-nalar kritisnya terhadap kebijakan yang tak memihak kepada rakyat dan sosok penguasa yang sedang bertopeng. Tidak akan "menjual murah" harga dirinya sebagai orang kampus, dengan cara: diam, membisu, bodoh, aman di zona nyaman, sementara luka-luka negeri berserakan di sekelilingnya. 

Mereka, para intelektual di jalan yang benar itu: melawan bila ada sosok penguasa hendak membungkamnya. Salah seorang "orang kampus" yang tak pernah berkompromi dengan barisan manusia-manusia bertopeng di negerinya, adalah: Aswar Hasan. 

Aswar memiliki prinsip hidup yang tak tergoyahkan oleh embusan angin zaman. Dia intelektual sejati. Semua itu dapat dibaca dalam tulisan-tulisannya yang kini jadi warisan berharga dan terdokumen dalam arsip sejarah. Tidak mengejek. Tidak meremehkan. Tidak radikal. Aswar memilih: kewarasan kritis dalam renungan dan pemikirannya yang direfleksikan dalam tulisan. Menariknya, apa yang diucapkan, apa yang ditulis: terekam dalam kepribadian kesehariannya yang rendah hati itu.

*

Sang kritis itu telah pergi untuk selamanya, Rabu, 13 Agustus 2025. Selamat jalan, kawan Aswar Hasan. Insya Allah, kepergianmu untuk selamanya: husnul khatimah. Aamiin Ya Allah.

Aswar telah mewariskan makna nilai-nilai hidup yang berkomitmen pada keadilan dan kebenaran. Tentu, kita berharap, komitmen itu menjadi teladan bagi generasi muda, para penulis, minimal terefleksi dalam tulisan-tulisannya di media. 

Teringat ketika Aswar membaca kolom/esai CERMIN saya yang dimuat rutin di koran Metro Sulawesi. Terus-terang apresiasinya memberi saya semangat untuk terus lanjut meneruskan kolom itu.

Suatu hari Aswar mengatakan: kita wajib terus mengkritisi nilai-nilai atau tingkah tak pantas yang sedang dipertontonkan sosok-sosok penguasa yang bertopeng. "Jangan berhenti untuk bersuara. Modal kita menulis, ya tulislah itu..." Begitu pesan Aswar Hasan kepada saya lewat WA.

Dan Aswar tak pernah berhenti bersuara kritis lewat tulisannya yang terus mengalir. "Menulislah hingga akhir..." Benar, Aswar menulis hingga akhir hidupnya.

Tulisan terakhir Aswar, sebelum meninggal: tentang Kejaksaan Agung yang mempertontonkan ketidakberdayaannya menggiring Silfester Matutina masuk penjara. Padahal terpidana penghina Jusuf Kalla itu telah divonis 1,5 tahun penjara. Sudah berkekuatan hukum tetap. Bagi Aswar, inilah bukti hukum kita bisa dimainkan oleh para manusia bertopeng. *

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow