PSI Pasca-Rakernas: Dinasti, Populisme Muda, dan Tantangan Politik 2029

Oleh: Mohsen Hasan Al Hinduan*

Juli 20, 2025 - 08:54
 0
PSI Pasca-Rakernas: Dinasti, Populisme Muda, dan Tantangan Politik 2029
Dr.Mohsen Hasan Alhinduan,Lc.MA

PARTAI Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Solo pada 19-20 Juli 2025, sebuah langkah yang sarat simbolisme politik. Dipimpin oleh Kaesang Pangarep—putra bungsu Presiden Joko Widodo—PSI mempertegas posisi politiknya dalam peta kekuasaan nasional. Namun pertanyaannya bukan sekadar tentang strategi, melainkan tentang relevansi: apakah PSI mampu melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi dan membangun kekuatan politik jangka panjang menjelang 2029?

Solo dan Simbol Dinasti Politik

Pemilihan Solo sebagai lokasi Rakernas bukan kebetulan. Solo adalah kampung halaman Jokowi sekaligus panggung awal karier politik keluarga. Dengan Gibran Rakabuming sebagai Wakil Presiden terpilih 2024-2029 dan Kaesang memimpin PSI, pembacaan publik mengarah pada konsolidasi kekuatan politik keluarga. Ini menjadi perhatian karena Indonesia, meskipun demokrasi elektoral, belum memiliki pagar institusional yang kokoh terhadap politik dinasti.

Namun, PSI tampaknya melihat kedekatan dengan Jokowi sebagai aset elektoral. Dalam jangka pendek, strategi ini dapat memperkuat citra dan mendongkrak pengaruh. Tapi dalam jangka panjang, ketergantungan pada figur dapat membatasi otonomi partai dan mempersempit ruang untuk inovasi politik yang substantif.

Populisme Digital dan Politik Gagasan

Sejak berdiri, PSI dikenal sebagai partai muda dengan pendekatan komunikatif melalui media sosial. Gaya populisme digital—meme politik, video satire, hingga pendekatan “anak muda keren”—mendominasi kampanye mereka. Namun dua pemilu berturut-turut tanpa kursi parlemen menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki batas.

Pemilih muda di Indonesia kini semakin kompleks. Mereka bukan hanya konsumen informasi cepat, tapi juga semakin sadar isu: perubahan iklim, pendidikan, ketimpangan ekonomi, dan hak digital. Jika PSI ingin menjadi aktor serius dalam Pemilu 2029, mereka harus bergeser dari sekadar branding ke pembangunan politik gagasan.

Tantangan Politik ke Depan

Indonesia sedang mengalami transformasi demografis. Pada 2029, diperkirakan lebih dari 60% pemilih adalah generasi milenial dan Gen Z. Ini membuka peluang, namun juga memaksa partai seperti PSI untuk tidak lagi bersembunyi di balik tokoh sentral. Mereka harus membuktikan kapabilitas melalui kaderisasi, advokasi isu, dan kapasitas organisasi yang matang.

Dalam konteks ini, Rakernas PSI seharusnya tidak hanya menjadi ajang konsolidasi loyalitas terhadap Jokowi, melainkan laboratorium ide dan pembacaan kritis atas lanskap politik baru: naiknya politik identitas digital, perubahan perilaku pemilih, dan resistensi publik terhadap status quo dinastik.

Melewati Bayang Jokowi

Jika PSI terus mengandalkan Jokowi sebagai sumber legitimasi, mereka akan kesulitan bertahan ketika figur itu tak lagi berada di pusat kekuasaan. Pemilu 2029 bisa menjadi titik balik—entah sebagai kelahiran PSI sebagai kekuatan independen atau sebagai catatan kaki sejarah partai yang gagal bertransformasi.

Partai modern tidak bisa dibangun dengan nama keluarga saja. Ia harus tumbuh dari gagasan, konsistensi, dan keberanian keluar dari bayang patron.

*) Peneliti Politik Muda & Demokrasi Digital

 

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow