Networking of Tenun Towale Dorong Tenun Donggala ke Pasar Internasional

Di usia yang telah menyentuh 80 tahun, Saona masih setia duduk di depan alat tenun. Tangannya yang keriput tetap cekatan merangkai benang demi benang, tanpa bantuan kacamata, sesuatu yang lazimnya menjadi “teman wajib” bagi orang seusianya.

Des 9, 2025 - 21:17
Des 9, 2025 - 21:43
 0
Networking of Tenun Towale Dorong Tenun Donggala ke Pasar Internasional
Gubernur Sulteng, Anwar Hafid melihat warga menyelesaikan kain tenun pada acara Networking of Tenun Towale di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Selasa (9/12). (Foto: Adi Pranata).

PALU, METROSULAWESI.NET - Di usia yang telah menyentuh 80 tahun, Saona masih harus duduk di depan alat tenun. Tangannya yang keriput tetap cekatan merangkai benang demi benang, tanpa bantuan kacamata, sesuatu yang lazimnya menjadi “teman wajib” bagi orang seusianya.

 Dari rumah sederhananya di Desa Towale, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Saona terus merawat warisan yang telah ia genggam sejak berusia 20 tahun. Lebih dari enam dekade ia menenun. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk mewariskan jati diri. Keahlian itu kini telah ia turunkan kepada tujuh anak perempuannya. Dari hasil tenun itulah, Saona membesarkan keluarga dan menggantungkan penghasilan hingga hari ini.

Pada Selasa (9/12), Saona menjadi satu dari ratusan ibu-ibu penenun yang terlibat dalam kegiatan Networking of Tenun di pantai Desa Towale. Karya-karyanya turut diperagakan oleh para model dalam pergelaran busana yang menyita perhatian pengunjung. Kain-kain tenun hasil tangan para perempuan desa yang ditambah polesan sejumlah desainer, tampil anggun di atas panggung, seakan berbicara tentang kesabaran, ketekunan, dan sejarah panjang yang tersimpan dalam setiap motifnya.

Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Tengah, Diah Agustiningsih, mengatakan kegiatan tersebut diinisiasi oleh Ketua Dekranasda Sulteng, Sry Nirwanti Bahasoan, dan mendapatkan respons positif dari Pemerintah Kabupaten Donggala. Desa Towale dipilih sebagai pusat kegiatan karena dikenal sebagai salah satu sentra tenun Donggala yang masih aktif menjaga tradisi.

“Program ini tidak berhenti sebagai seremoni. Ini bagian dari upaya besar untuk mendorong ekonomi masyarakat desa melalui warisan budaya,” ujar Diah.

 Harapan itu semakin terbuka lebar setelah hadirnya CEO Eco Fashion Week Australia, Zuhal Kuvan Mills, melalui Buya Subi Project. Proyek ini akan berlangsung selama lima tahun, dari 2026 hingga 2030, dengan fokus mempromosikan dan memasarkan tenun Donggala ke pasar global, khususnya ke sejumlah negara tujuan.

 Program tersebut tidak hanya menyasar promosi, tetapi juga pendidikan dan pendampingan. Para penenun senior akan dihubungkan dengan generasi muda melalui program pelatihan langsung agar teknik menenun tetap lestari.

Selain itu, tenun Donggala akan dibawa ke berbagai ajang Fashion Week internasional sebagai bagian dari diplomasi budaya berkelanjutan. Zuhal Kuvan Mills menyebut proyek ini sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada para penenun di Donggala.

“Tujuan kami adalah melestarikan warisan tradisional tenun Donggala secara berkelanjutan, membawanya ke ranah mode kontemporer, sekaligus memberikan dukungan ekonomi bagi para pengrajin,” kata Zuhal.

Ia menegaskan, promosi budaya juga menjadi bagian penting dari program, dengan mengaitkan tekstil tradisional sebagai identitas dan bentuk seni yang bernilai tinggi. Gubernur Sulteng, Anwar Hafid, dalam kesempatan itu mengingatkan bahwa tenun atau sarung Donggala, telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional sejak 2015.

“Semoga Tenun Donggala ini tidak hanya dikenal di nasional, tetapi di dunia seperti dulu. Karena dulu memang Tenun Donggala ini sudah mendunia. Mulai dari zaman penjajahan itu sudah terkenal,” ujarnya.

Sebagai bentuk dukungan nyata, Gubernur juga menjanjikan bantuan modal sebesar Rp5 juta untuk setiap penenun mulai tahun 2026 agar semakin bersemangat menjaga warisan budaya tersebut. Pemerintah Provinsi juga terus mendorong agar tenun Donggala dapat masuk sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO.

Tenun Donggala dibuat dengan alat tenun tradisional yang dikenal sebagai gedokan. Berdasarkan teknik pembuatannya, kain ini memiliki beragam jenis dan motif khas seperti buya sabe, bomba kota, kombinasi bomba dan subi, buya subi, buya bomba, pelekat garusu, hingga buya cura, masing-masing menyimpan filosofi dan cerita tersendiri tentang masyarakat Donggala. Dari tangan renta Saona, warisan itu tidak hanya bertahan, tetapi juga bersiap menembus dunia. (ap)

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow