Menikahkan Pajak dan Zakat : Rayuan Fiskal Yang Bisa Jadi Dosa Politik

Oleh: Mohsen Hasan A, Pemerhati Sosial, Politik Budaya dan Isu Global

Agustus 15, 2025 - 08:51
 0
Menikahkan Pajak dan Zakat : Rayuan Fiskal Yang Bisa Jadi Dosa Politik
Dr.Mohsen Hasan Alhinduan,Lc.MA

NEGARA, seperti politisi, kadang pandai merayu. Saat kantongnya menipis, ia mencari bahasa yang manis. Dan tak ada rayuan lebih memikat rakyat beriman selain membungkus kebijakan fiskal dengan kain syariat. Itulah yang terjadi ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani menyamakan pajak dengan zakat sebuah “pernikahan” antara konsep langit dan rumus defisit APBN.

Di balik meja megah Gedung Keuangan, analogi ini terdengar elegan. Pajak, kata pemerintah, adalah bentuk gotong royong modern, mirip dengan zakat yang diwajibkan Tuhan. Perbandingan ini seperti membandingkan cinta dengan utang: sama-sama melibatkan komitmen, tapi sifatnya sangat berbeda.

Zakat adalah ibadah ibarat mata air yang jernih, mengalir dari hati yang patuh, membersihkan harta dan jiwa, serta menghidupi delapan golongan mustahik yang telah ditentukan wahyu. Pajak adalah bendungan besar airnya ditarik paksa dari seluruh rakyat, lalu dialirkan sesuai peta politik dan kepentingan kekuasaan. Kadang untuk membangun jembatan, kadang untuk membayar bunga utang, kadang untuk proyek yang tak pernah dipakai rakyat.

Prof. Dr. Yusuf al-Qaradawi mengingatkan: zakat dan pajak berada di dua ranah berbeda ranah ibadah dan ranah administrasi. Menyamakan keduanya sama saja mencampuradukkan perintah Tuhan dengan keputusan rapat anggaran. Yang satu berdosa jika diabaikan, yang lain kena sanksi administratif.

Bahaya politik dari penyamaan ini jelas: rakyat bisa salah kaprah, mengira kewajiban agama gugur hanya karena kewajiban negara sudah lunas. Ini seperti pemerintah menyusup ke altar masjid, lalu ikut menentukan siapa yang sah menerima sedekah umat. Sebuah langkah yang, di negeri mayoritas Muslim, berpotensi memicu badai kepercayaan.

Negara boleh memungut pajak. Agama wajib menunaikan zakat. Keduanya bisa berjalan berdampingan, tapi tak boleh dipaksa berciuman di depan publik demi legitimasi fiskal. Karena ketika darah negara dan nurani umat dicampur menjadi satu cairan, kita tak lagi tahu mana yang mengalir ke surga, dan mana yang tercecer di lubang anggaran.

Dalam politik, mengaburkan batas seperti ini adalah permainan berisiko. Sebab ketika rakyat sadar bahwa “pernikahan” pajak dan zakat hanyalah strategi retorika untuk menutup krisis kas, kepercayaan yang hilang tak akan kembali dengan mudah dan itu lebih sulit dibayar daripada utang negara.

Epilog

Di republik ini, agama kerap dijadikan payung di tengah hujan politik dan ekonomi. Kadang untuk berlindung, kadang untuk menutupi derasnya kebijakan yang membebani rakyat. Penyamaan pajak dengan zakat adalah salah satu contohnya sebuah permainan retorika yang berupaya meminjam wibawa langit untuk menambal lubang bumi.

Namun rakyat bukan sekadar angka di laporan pajak. Mereka punya ingatan, punya iman, dan punya naluri untuk membedakan mana kewajiban pada negara, dan mana kewajiban pada Tuhan. Saat garis batas itu sengaja dikaburkan, yang terkikis bukan hanya kas negara, tapi juga kredibilitas pemerintah.

Dan dalam politik, kehilangan kredibilitas jauh lebih mematikan daripada kehilangan pendapatan. Karena kas yang kosong bisa diisi lagi, tapi kepercayaan yang retak—tak ada pajak atau zakat yang sanggup memperbaikinya.

Jumat ; 15 Agustus 2025.

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow