Menavigasi Haluan Fiskal

Oleh Suparman*)

Sep 27, 2025 - 20:24
Sep 27, 2025 - 20:26
 0
Menavigasi Haluan Fiskal
Suparman, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako. FOTO: DOK. PRIBADI

ROTASI pucuk pimpinan selalu menjadi bahan yang hangat dan aktual untuk dibahas. Sebutlah, Perubahan kepemimpinan Kementerian Keuangan di tanah air. Ibarat pergantian nahkoda di tengah laut yang bergelombang tinggi. Kapal besar bernama Indonesia harus terus melaju, meski arus global kian deras, badai ketidakpastian makin menggila, dan cadangan logistik di dalam perahu terbatas. Di sinilah, arah komando dari seorang menteri keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dibawa Presiden Prabowo untuk menentukan: apakah kapal ini berlabuh dengan selamat, atau justru terombang-ambing hingga kehilangan arah dan karam.

Berbagai Lembaga kajian ekonomi, termasuk Think tank swasta. Katakanlah di antara itu, Lembaga kajian ekonomi INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) sudah memberi beberapa rekomendasi kunci bagi Menteri Keuangan, yang tak hanya mengatur teknis fiskal, tetapi juga menyangkut kredibilitas negara di mata rakyat maupun pasar keuangan. Rekomendasi INDEF percaya pada empat pilar, yakni meningkatkan rasio pajak, mengelola tekanan belanja pemerintah, mengatasi beban utang, dan membangun kepercayaan pasar. Mereka mengklasim rekomendasi ini seolah empat jangkar, yang harus ditancapkan kuat agar kapal fiskal Indonesia tidak mudah terguncang.

Ekonomi Informal

Kita semua tahu, rasio pajak Indonesia mandek di kisaran 11,8 persen PDB—jauh di bawah rata-rata ASEAN yang mencapai 19,8 persen. Bayangkan, sebuah sumur negara yang dangkal: air yang masuk sedikit, sementara ember pengeluaran terus diturunkan setiap hari. Ember fiskal kita terus berkurang. Itulah wajah fiskal kita: kebutuhan meningkat, tetapi penerimaan stagnan. Ibarat pasak lebih besar dari tiang.

Ironisnya, ekonomi bayangan (shadow economy) masih dominan, dengan proporsi sekitar 30–40 persen PDB. Sekitar 60 persen pekerja bekerja di sektor informal, dan setidaknya 500 ribu rekening bank belum memiliki NPWP. Ini bukan sekadar data kering, kondisi ini menggambarkan betapa rapuhnya basis perpajakan kita. Pembenahan di sektor perpajakan ini harus terus dibenahi. Belum lagi kita menghadapi turunnya kepercayaan publik terhadap pengelola pajak.

Petuah dari Joseph Schumpeter, ekonom klasik,  menyatakan, “The spirit of a people, its cultural level, its social structure, they all influence the way taxation works.” Pajak bukan hanya alat pungutan, tetapi juga cermin hubungan antara negara dan rakyatnya. Jika rakyat merasa negara tak memberi pelayanan yang layak, mereka pun enggan patuh. Disinilah, kepatuhan pajak itu terus diuji.

Solusi untuk memperluas basis pajak dan memperkuat administrasi pengelolaan,  bukan hanya soal menambah kas negara, tetapi juga soal membangun kontrak sosial baru. Negara hadir, rakyat percaya, dan dari kepercayaan itulah kepatuhan pajak tumbuh. Jika ia tidak tumbuh, maka siap-siap kita menghadapi kesulitan anggaran yang berimplikasi ke mana-mana.

Menyulam Prioritas

Kita semua sadar, dimana APBN 2025 senilai Rp2.701 triliun kini tertekan oleh program populis, seperti makan bergizi gratis, yang dapat menyedot Rp400–468 triliun per tahun—nyaris menyamai anggaran pendidikan. Di sisi lain, belanja perlindungan sosial Indonesia hanya 1,02 persen dari PDB, jauh di bawah Vietnam (7,6 persen) dan Thailand (6,4 persen). Angka-angka ini memperlihatkan, bagaimana program populasi dapat mengalahkan program prioritas.

Inilah dramaturgi fiskal kita, uang habis untuk janji-janji jangka pendek, sementara bantalan sosial untuk rakyat kecil justru menipis. Belanja pegawai dan subsidi energi semakin mendominasi, membuat ruang fiskal untuk investasi produktif kian sempit. Ruang fiskal sempit membuat kebijakan anggaran terjepit dalam kesulitan yang butuh jalan keluar yang mujarab.

Paul Samuelson, peraih Nobel Ekonomi, mengingatkan “Government spending should not be judged by its size, but by its impact.” Besar kecilnya anggaran bukanlah masalah utama, yang terpenting adalah apakah ia menumbuhkan produktivitas dan melindungi masyarakat.

Dalam metafora lain, APBN adalah kain tenun. Jika benangnya terlalu banyak dipakai untuk motif dekoratif populis, maka fungsi utamanya sebagai pelindung dapat robek. Menteri Keuangan harus berani menyulam ulang kain itu. Maka, harus  tegas untuk memangkas pemborosan, memotong program-program Kementerian yang tak becus, sekaligus memperkuat lapisan batalan yang melindungi rakyat miskin dan menopang masa depan.

Pedang Bermata Dua

Dalam banyak data diriis, dimana Rasio utang Indonesia 38,66 persen dari PDB, masih aman di bawah batas legal 60 persen. Namun, yang mencemaskan bukan besarnya, melainkan beratnya beban layanan. Dimana sebesar 47,5 persen penerimaan pajak habis untuk cicilan, dan 20 persen untuk bunga—dua kali lipat rekomendasi dari berbagai lembaga ekonomi dunia.

Oleh karena itu, untuk Utang, kata John Maynard Keynes, “is simply the means by which the wealth of the future is used to meet the needs of the present.” Tetapi jika terlalu berat, ia dapat berubah dari alat menjadi belenggu. Negara dapat saja masuk dalam jebakan utang yang tak pernah selesai.

Memang, besaran 85 persen utang kita dimiliki investor domestik, sehingga risiko “sudden stop” relatif kecil. Namun, ada bahaya lain seperti, crowding out di sektor swasta. Saat pemerintah terlalu agresif untuk menarik pinjaman dalam negeri, maka ruang pembiayaan bagi sektor produktif dapat saja menyempit, dan pertumbuhan investasi swasta dapat terganggu.

Utang ibarat memang seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi alat membela diri dari tekanan fiskal. Di sisi lain, ia dapat melukai diri sendiri jika tidak dikelola dengan hati-hati. Di sinilah Menteri Keuangan ditantang, bagaimana menjaga keseimbangan agar utang tetap menjadi instrumen pembangunan, bukan jebakan fiskal.

Kepercayaan Pasar

Hari-hari pertama Menteri Keuangan, Purbaya, diwarnai reaksi negatif. Kita saksikan, IHSG turun 1,28 persen, rupiah melemah lebih dari 1 persen, dan terjadi capital outflow Rp550 miliar. Pasar merespons bukan hanya kebijakan, melainkan juga sinyal. Pasar selalu memberikan perhatian terhadap perubahan kebijakan dalam pemerintahan.

Dalam ekonomi modern, faktor kredibilitas adalah modal yang tak kalah penting, dibandingkan angka-angka dalam APBN. Kenneth Arrow, ekonom peraih Nobel, menyebut “Trust is an important lubricant of a social system.” Kepercayaan adalah pelumas dalam mesin ekonomi. Tanpa itu, mesin dapat macet, meski bahan bakar tersedia.

Komunikasi kebijakan yang konsisten, transparan, dan kredibel menjadi kunci. Bukan sekadar menyampaikan angka, tetapi memberi arah, menjelaskan konteks, dan menunjukkan komitmen. Pasar dapat menerima kabar buruk selama ia percaya pemerintah jujur dan punya rencana keluar. Sebaliknya, kabar baik pun dapat diabaikan jika disampaikan dengan ragu atau terkesan manipulatif.

Banyak pakar dan Lembaga memberikan mengingatkan kita, transisi kepemimpinan di Kementerian Keuangan sangat menentukan trajectory fiskal Indonesia dalam dekade mendatang. Pasar Dunia sedang bergejolak dalam merespons berbagai perubahan global, tentu ekonomi domestik pun ikut dapat tekanan. Di tengah keterbatasan ruang kebijakan fiskal itu, prioritas utama adalah menjaga investment grade rating melalui kebijakan yang kredibel, akuntabel, dan berkelanjutan.

Ekonom dunia, Dani Rodrik dari Harvard University mengingatkan, “Good economics is not good politics, and good politics is not always good economics.” Menteri Keuangan Purbaya harus berani mengambil jalan yang seringkali tidak populis, tetapi benar secara ekonomi. Keputusan yang tepat dan cepat harus diambil agar jalan fiskal tak ikut ambruk.

Karena pada akhirnya, kredibilitas fiskal bukanlah tentang memenangkan tepuk tangan hari ini, melainkan tentang memastikan masa depan ekonomi kita,  tidak menanggung beban yang tak sanggup dipikul. Ancaman kesulitan anggaran pemerintah setiap saat dapat saja mengancam.

Beberapa pemikiran ini adalah kompas moral sekaligus teknokratis bagi Menteri Keuangan. Pajak, belanja, utang, dan kepercayaan pasar bukan sekadar angka-angka dalam neraca, melainkan simpul-simpul yang saling terkait, menentukan arah bangsa da negara ini untuk terus kokoh.

Jika pajak tak kuat, belanja akan pincang. Jika belanja tak produktif, maka utang akan menumpuk. Jika utang membengkak, maka pasar kehilangan percaya. Dan jika kepercayaan runtuh, maka seluruh kapal fiskal dapat tenggelam.

Dalam perjalanan ini, maka Indonesia membutuhkan Menteri Keuangan yang bukan hanya jago hitung, tetapi juga sosok yang berani berkata tidak pada populisme, berani menantang pemborosan anggaran, dan konsisten menjaga kredibilitas dan akuntabilitas. Sebab, seperti kata Adam Smith dalam The Wealth of Nations, “The security which the people enjoy is the effect of good government.”

Keamanan fiskal adalah fondasi dari pemerintahan yang baik. Dan fondasi itu kini sedang diuji: apakah mampu menopang bangunan besar bernama Indonesia, ataukah retak oleh badai ketidakpastian hingga tak dapat jalan.

*) Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow