Migitasi Inflasi Sulawesi Tengah

Oleh Suparman*

Sep 29, 2025 - 10:36
 0
Migitasi Inflasi Sulawesi Tengah
Suparman, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako. FOTO: DOK. PRIBADI

FENOMENA Inflasi yang tinggi membuat kita semua terlihat panik dan bingung. Kita sempat luput memantau inflasi, padahal bagian ini menjadi perhatian penting. Pemerintah daerah selalu diwanti-wanti pemerintah pusat untuk fokus memperhatikan ini. Kita baru saja melihat inflasi di Sulawesi Tengah, muncul kembali sebagai masalah yang menyita perhatian. Inflasi Sulawesi Tengah tertinggi kedua secara nasional. Inflasi tahunan provinsi ini mencapai 4,02 persen pada Agustus 2025, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Ini nampaknya angka yang moderat dibandingkan dengan lonjakan inflasi yang terjadi selama krisis moneter 1998. Namun, jika melihat lebih dalam, ada perbedaan yang signifikan antara daerah dalam hal inflasi: Kabupaten Tolitoli menanggung inflasi tertinggi pada 5,70 persen, sementara Kota Palu relatif lebih terkendali pada 2,98 persen. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhinya.

Rilis data BPS, menunjukkan kelompok makanan, minuman, dan tembakau menyumbang 2,83 persen dari inflasi, sementara kelompok lain seperti transportasi, perumahan, dan perawatan pribadi hanya menyumbang sedikit. Ini menunjukkan bahwa inflasi di Sulawesi Tengah,  ternyata masalah pangan yang selalu ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, termasuk harga beras, cabai, bawang, dan daging ayam. Kebutuhan pokok Masyarakat ini selalu menjadi pemicunya.
Fakta ini lebih dari sekumpulan angka statistik,  itu adalah kehidupan nyata bagi ibu rumah tangga di pasar tradisional, nelayan yang menjual hasil tangkapan mereka, dan pedagang kecil di pinggiran kota. Di wilayah kepulauan dan pegunungan seperti di Sulawesi Tengah, inflasi lebih sering dikaitkan dengan kekurangan pasokan daripada permintaan yang meningkat. Distrik terpencil menghadapi masalah distribusi yang signifikan, terutama untuk kebutuhan masyarakat dasar mereka.

Dimensi Inflasi

Dalam literatur ekonomi, biasanya ada dua dimensi utama yang digunakan untuk memahami inflasi: inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation) dan inflasi dorongan biaya (cost-push inflation). Inflasi tarikan permintaan terjadi ketika permintaan barang dan jasa meningkat lebih cepat daripada ketersediaannya. Kurang supply di pasar dapat menyebabkan masalah ini. Jika konsumsi masyarakat meningkat, tetapi produksi tidak mampu mengejarnya, "terlalu banyak uang akan mengejar terlalu sedikit barang", menurut ekonom Inggris, John Maynard Keynes.

Disisi lain, Inflasi juga dapat disebabkan oleh kenaikan biaya produksi, disebut sebagai cost-push inflation. Harga barang merambat dapat naik sebagai akibat dari kenaikan harga energi, biaya transportasi, atau gangguan pasokan makanan. Karena kendala yang ada pada rute darat, laut, dan udara, biaya transportasi tetap menjadi kendala utama untuk mencapai tujuan di Sulawesi Tengah. Karena merusak daya beli masyarakat miskin secara langsung, jenis inflasi ini disebut oleh peraih Nobel Ekonomi Paul Samuelson sebagai “the cruelest tax of all.”
Milton Friedman, ahli moneter terkenal berpandangan, inflasi pada dasarnya adalah fenomena moneter. Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon. Dalam perspektif Friedman, kendali suplai uang dan kebijakan moneter yang ketat sangat penting untuk menjaga stabilitas harga.  Kedua teori ini saling melengkapi dalam konteks Sulawesi Tengah. Penurunan harga dipicu oleh peningkatan konsumsi setelah panen raya atau menjelang hari besar keagamaan. Sebagai beban biaya, distribusi pangan antarwilayah menjadi lebih mahal, karena infrastruktur transportasi yang terbatas, kondisi geografis yang sulit, dan fluktuasi harga BBM juga turun mempengaruhi.  Konsep satu harga yang didengungkan tanpa pernah benar-benar terjadi di masyarakat.

Statistik versus Realitas

Kurva inflasi tahunan yang dirilis BPS menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Ini sempat turun hingga -0,38 persen pada Februari 2025, tetapi kemudian naik kembali ke 2,97 persen pada April, dan akhirnya mencapai 4,02 persen pada Agustus. Inflasi dipengaruhi oleh faktor musiman, struktural, dan bahkan siklus, seperti yang ditunjukkan oleh pola ini.
Sekarang Sulawesi Tengah berada di zona merah inflasi nasional, bahkan menempati peringkat kedua tertinggi, menurut media lokal. "Kebijakan gubernur yang mengusung konsep berani patut dipertanyakan". Kondisi yang menohok ini, karena pemerintah provinsi telah mencoba berbagai hal, seperti operasi pasar, distribusi beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan), dan subsidi transportasi untuk beberapa barang.
Meskipun demikian, kenyataan di lapangan sering berbeda. Harga mungkin turun sedikit karena operasi pasar, tetapi mereka tidak dapat menghentikan inflasi struktural yang disebabkan oleh rantai pasok panjang, keterbatasan gudang penyimpanan, dan kurangnya koordinasi regional. TPID harus bekerja lebih serius dan berbasis kebijakan dengan dukungan riset inflasi yang memadai. Karena rapat TPID berulang kali tidak memberikan solusi yang jelas, inflasi tidak akan turun.
Peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz, seorang ekonom dunia, pernah menekankan bahwa "kelangkaan dalam rantai pasokan"—kemacetan dalam rantai pasokan yang menyebabkan kenaikan harga—sering menjadi penyebab inflasi di negara berkembang. Pandangan ini berlaku untuk Sulawesi Tengah, di mana keterbatasan infrastruktur terus menghambat transportasi makanan dari pedalaman ke kota.
Selain itu, mantan Gubernur Bank Sentral India Raghuram Rajan, mengingatkan bahwa inflasi yang tidak terkendali dapat memperluas disparitas. Karena mereka yang tidak memiliki instrumen perlindungan nilai terhadap gejolak harga, mereka selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.
Keynes, di sisi lain, berpendapat bahwa inflasi yang rendah kadang-kadang dapat berfungsi sebagai "pelumas" untuk pertumbuhan ekonomi; namun, inflasi yang melampaui kemampuan adaptasi masyarakat justru menjadi ancaman besar terhadap stabilitas sosial.

Keberanian Politik

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah menunjukkan keberanian politik dalam mengambil tindakan pengendalian harga. Namun, keefektifannya masih diragukan lagi. Karena kebijakan yang diterapkan lebih bersifat reaktif daripada preventif, ada kritik.
Pemerintah, sebagai contoh, melakukan operasi pasar ketika harga cabai naik. Distribusi beras SPHP meningkat seiring dengan kenaikan harga beras. Meskipun langkah-langkah ini bersifat sementara, mereka jelas bermanfaat. Pada bulan berikutnya, masalah yang sama akan terulang jika tidak ada perbaikan struktural.
Keterbatasan anggaran dan birokrasi yang lamban sering menyebabkan kebijakan jangka panjang seperti pembangunan gudang dingin di sentra pertanian, peningkatan transportasi laut antarwilayah, atau pengembangan digitalisasi distribusi pangan tertunda.

Untuk menurunkan inflasi ke level yang lebih stabil, ada beberapa saran yang harus menjadi prioritas. Ini mencakup logistik dan kebijakan fiskal. Perkuat infrastruktur logistik, misalnya. Gudang pendingin (cold storage) harus diperbesar karena harga ikan segar selalu mendorong inflasi tinggi, serta jalan yang menghubungkan sentra perikanan dan pertanian ke pasar kota. Dengan demikian, biaya distribusi dapat ditekan, yang menghasilkan harga pangan yang lebih stabil. Sangat penting untuk diversifikasi produksi pangan, karena ketergantungan pada komoditas tertentu sangat rentan terhadap harga. Pemerintah daerah juga didorong untuk melaksanakan program diversifikasi, seperti penanaman umbi-umbian, jagung, dan sagu, dapat menurunkan harga beras dan cabai. Selain itu, kami membutuhkan kerja sama antara keuangan daerah dan moneter. Pemerintah daerah dan Bank Indonesia harus bekerja sama lebih baik. Kebijakan fiskal daerah seperti subsidi transportasi dan cadangan pangan harus mendukung instrumen moneter daerah, seperti pemberian kredit murah kepada petani dan pedagang. Untuk memastikan penurunan inflasi, pendidikan konsumen dan digitalisasi pasar sangat penting. Pendidikan masyarakat tentang pola konsumsi bijak dan penggunaan digitalisasi pasar, seperti e-commerce lokal, dapat memperpendek rantai distribusi dan menekan permainan harga.
Inflasi di Sulawesi Tengah menunjukkan kerentanan ekonomi struktural yang ada di sana. Ini bukan hanya kenaikan harga beras dan cabai. Hal itu juga merupakan hasil dari sistem logistik yang buruk, kurangnya koordinasi kebijakan, dan rapuh kemandirian pangan. Kemandirian pangan kita tidak ditopang sistem pertanian teringrasi dan berkelanjutan.
Inflasi adalah pajak tersembunyi yang paling kejam, seperti yang diingatkan oleh Milton Friedman, karena ia memiskinkan rakyat kecil secara langsung tanpa undang-undang.
Akibatnya, keberanian politik yang reaktif tidak cukup untuk mengurangi inflasi. Untuk mencapainya, kepemimpinan yang berpandangan jauh dan memiliki kemampuan untuk melihat ke depan, seperti membangun infrastruktur logistik, meningkatkan produksi pangan lokal, dan secara lebih matang mengintegrasikan kebijakan moneter dan fiskal.
Meskipun inflasi tidak dapat dihapus sepenuhnya, inflasi dapat dihilangkan.

Keynes mengatakan bahwa inflasi yang terkendali mendorong pertumbuhan, tetapi inflasi yang tidak terkendali adalah api yang dapat menghancurkan masyarakat. Sekarang Sulawesi Tengah berada di antara dua pilihan: apakah inflasi akan menjadi sumber kekacauan yang merusak, atau hanya sedikit api yang dapat dikontrol yang akan memicu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah.
*Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow