Mimpi Nobel untuk Indonesia: Tantangan dan Jalan Panjang Menuju Pengakuan Global

Oleh: Angkasa Putra & Sarifah Aini*

Nov 26, 2025 - 17:00
 0
Mimpi Nobel untuk Indonesia: Tantangan dan Jalan Panjang Menuju Pengakuan Global
Sarifah Aini dan Angkasa Putra. FOTO: DOK PRIBADI

SETIAP Oktober, dunia sains dan kemanusiaan menahan napas. Dari Stockholm hingga Oslo, nama-nama baru diumumkan sebagai penerima Hadiah Nobel, simbol tertinggi pengakuan atas gagasan dan penemuan yang mengubah peradaban. Tahun 2025, bidang Kedokteran dianugerahi kepada Mary E. Brunkow, Fred Ramsdell, dan Shimon Sakaguchi atas penemuan toleransi imun perifer, membuka jalur terapi baru untuk penyakit autoimun. Fisika menghargai John Clarke, Michel H. Devoret, dan John M. Martinis karena penelitian pionir mereka pada tunneling kuantum makroskopik dan kuantisasi energi dalam sirkuit listrik, dasar bagi komputasi kuantum. Dalam Kimia, Susumu Kitagawa, Richard Robson, dan Omar M. Yaghi diakui atas kerangka logam-organik, struktur molekuler berpori yang menyimpan gas dan zat kimia, membuka potensi material baru. László Krasznahorkai menerima Nobel Sastra atas prosa filosofisnya tentang absurditas manusia, sedangkan Joel Mokyr, Philippe Aghion, dan Peter Howitt dianugerahi Nobel Ekonomi untuk teori pertumbuhan berbasis inovasi yang menyoroti creative destruction. Tak hanya sains dan sastra, Nobel Perdamaian 2025 juga diberikan kepada María Corina Machado, yang dengan gigih mempromosikan demokrasi di Venezuela.

Setiap pengumuman Nobel lebih dari seremoni tahunan; ia mencerminkan bangsa mana yang berhasil membangun ekosistem ilmu pengetahuan yang subur, dari pendidikan hingga penelitian dan kebebasan berpikir. Dominasi Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Prancis dalam daftar penerima menunjukkan satu hal: sains besar lahir dari ekosistem besar—laboratorium dengan pendanaan stabil, kolaborasi lintas disiplin, dan penghargaan sosial terhadap ilmuwan. Hadiah Nobel sendiri lahir dari wasiat Alfred Nobel, penemu dinamit asal Swedia, pada 1895. Tergerak oleh berita keliru yang menyebutnya “pedagang kematian,” Nobel ingin mengubah warisannya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia, menetapkan kekayaannya untuk menghargai mereka yang “memberi manfaat terbesar bagi umat manusia” di Fisika, Kimia, Kedokteran, Sastra, dan Perdamaian. Bidang Ekonomi kemudian ditambahkan pada 1968. Sejak itu, Nobel menjadi simbol prestise ilmiah dan moral, menandai pencapaian yang memberi dampak nyata pada pemahaman manusia tentang dunia.

Indonesia, sayangnya, belum menorehkan namanya di panggung Nobel. Lebih dari delapan dekade merdeka, belum ada ilmuwan, sastrawan, atau tokoh perdamaian yang tercatat sebagai penerima, meski potensi negeri ini luar biasa. Dari hutan hujan tropis hingga laut dalam, dari energi hingga sumber daya manusia kreatif, semua menunggu sistem yang mampu mengubahnya menjadi prestasi nyata. Hambatan birokrasi, keterbatasan pendanaan, dan kebijakan sains yang sering tersubordinasi kepentingan politik jangka pendek menjadi penghalang utama. Namun peluang itu tetap ada. Di Asia, Jepang, misalnya, menunjukkan bahwa konsistensi dan keberlanjutan riset bisa menghasilkan puluhan Nobel, sementara Korea Selatan meraih Nobel di Sastra dan Perdamaian. Indonesia memiliki fondasi serupa, namun belum tersinergi dalam sistem inovasi nasional yang matang. Sejarawan Peter Carey menyinggung dua nama Indonesia yang nyaris menembus panggung Nobel: Pramoedya Ananta Toer dan Jusuf Kalla. Namun peluang itu belum berbuah, bukan karena kurang bakat, melainkan karena ekosistem ilmiah kita belum cukup mendukung daya saing global.

Pertanyaannya: dari mana memulai? Jalan menuju Nobel tidak instan. Penghargaan ini lahir dari proses panjang: laboratorium yang sabar, eksperimen berulang, dan sistem yang memberi waktu bagi ilmu untuk berkembang tanpa tergesa oleh politik atau proyek jangka pendek. Membangun jalan itu menuntut visi lintas generasi, perencanaan jangka panjang, dan kesabaran. Langkah pertama adalah memperkuat riset dasar. Penelitian tentang penyakit tropis, konservasi biodiversitas, energi terbarukan, atau perubahan iklim relevan bagi Indonesia dan dunia. Riset semacam ini membutuhkan ruang bernapas: kebebasan akademik, pendanaan berkelanjutan, dan keyakinan bahwa ilmu adalah investasi peradaban, bukan pos anggaran sesaat. Selanjutnya, institusi ilmiah harus kuat dan mandiri, bebas dari fluktuasi proyek atau kebijakan politik. Negara berperan sebagai penopang, bukan pengendali, menyediakan fondasi, bukan tali kendali.

Di era global, ilmu tidak tumbuh dalam isolasi. Diplomasi ilmiah menjadi jembatan: ilmuwan Indonesia harus hadir dalam percakapan global, menulis di jurnal bereputasi, berkolaborasi lintas negara, dan berbagi ruang dengan pemikir dunia. Pengakuan internasional tak hanya soal kualitas riset, tetapi visibilitas dan keberanian tampil di panggung global. Selain itu, budaya ilmiah perlu dikembalikan ke ruang publik. Masyarakat yang menghargai pengetahuan melahirkan generasi ingin tahu, dan dari rasa ingin tahu itu, penemuan besar biasanya lahir. Menghormati kegagalan sebagai bagian proses juga krusial; sains tumbuh dari keberanian mencoba, bukan dari ketakutan.

Nobel bukan tujuan akhir, melainkan hasil samping dari ekosistem sehat. Jika Indonesia membangun sistem riset konsisten, memberi ruang bagi peneliti muda, menyediakan dana berkelanjutan, dan mengarahkan riset pada persoalan global, pengakuan internasional akan datang. Suatu hari, ilmuwan Indonesia akan berdiri di podium Nobel—bukan kejutan, melainkan bukti bahwa bangsa ini menempuh perjalanan panjang, menghargai waktu, pengetahuan, dan kerja senyap yang menumbuhkan masa depan. Ilmu, seperti benih di tanah subur, butuh waktu untuk berakar, tumbuh, dan berbuah. Dan ketika itu tiba, dunia akan menyaksikan hasil dari visi, kesabaran, dan dedikasi bangsa yang siap bersaing di panggung pengetahuan global. (*

*) Penulis adalah PhD Scholar at the Interdisciplinary Program of Marine and Fisheries Sciences and Convergent Technology, Pukyong National University, Busan, South Korea.

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow