Menyuarakan Sulawesi Tengah di Era Tanpa Batas

Oleh: Andi Kaimuddin*

Agustus 5, 2025 - 22:30
 0
Menyuarakan Sulawesi Tengah di Era Tanpa Batas
Andi Kaimuddin, Ketua KPID Sulawesi Tengah. FOTO: IST

SUATU sore, di sebuah studio radio di Kota Palu, suara penyiar membacakan berita dengan nada tenang. Lagu-lagu daerah diputar di sela-sela segmen. Di ujung telepon, masih ada yang menyapa: seorang ibu dari Biromaru, seorang bapak dari Dolo, dan dari pinggiran Kota Palu, yang minta diputarkan lagu favoritnya. Tapi tak bisa disangkal: jumlah mereka tak lagi sebanyak dulu.

Di saat yang sama, ratusan bahkan ribuan video berseliweran di ponsel-ponsel anak muda,  berita, candaan, musik, bahkan hoaks, yang berasal dari platform-platform global yang tak memiliki batas wilayah, apalagi tanggung jawab lokal.

Inilah dunia penyiaran kita hari ini: sebuah dunia yang tidak lagi hanya soal frekuensi, melainkan algoritma. Mesin pintar yang tahu apa yang kita suka, bahkan sebelum kita sendiri menyadarinya. Dan di medan itu, suara lokal sering kalah langkah.

Penyiaran, khususnya di Sulawesi Tengah, kini tidak hanya bersaing dengan sesama lembaga siaran, tetapi juga dengan mesin pencari, notifikasi aplikasi, dan konten viral yang bisa muncul kapan saja, dari mana saja. Semuanya tak punya mazhab, tak punya tanggung jawab sosial.

Di tengah gelombang ini, Sulawesi Tengah mencatat ada 57 lembaga penyiaran aktif (32 televisi dan 25 radio) yang telah memiliki izin resmi (data SMILE KPI). Mereka adalah penjaga siaran lokal, yang selama ini berusaha mempertahankan ruang informasi yang sehat, etis, dan mencerdaskan.

Namun, ancaman hari ini bukan lagi regulasi yang ketat, melainkan hilangnya perhatian publik yang kini beralih ke dunia digital yang lebih cepat, lebih interaktif, dan lebih menggoda.

Kami di KPID Sulawesi Tengah sadar bahwa pekerjaan kami bukan semata soal mengeluarkan teguran atau mencatat pelanggaran. Lebih dari itu, kami adalah benteng terakhir yang berusaha memastikan suara lokal tetap hidup.

Karena ketika seluruh ruang informasi dikuasai oleh konten global, maka cerita daerah, budaya lokal, dan nilai-nilai kearifan akan perlahan menghilang. Bukan karena dikalahkan, tapi karena dilupakan.

Itulah sebabnya, penyiaran hari ini membutuhkan pendekatan baru. Bukan hanya sekadar bertahan dari serbuan digital, tetapi bertransformasi bersama teknologi itu sendiri.

Televisi dan radio daerah harus menjadi lebih adaptif, lebih kreatif, dan lebih dekat dengan publik. Mereka perlu hadir di media sosial, membangun kanal YouTube sendiri, dan tidak takut mengemas konten lokal dalam bahasa visual yang kekinian.

Kami percaya, penyiaran tidak boleh kehilangan akar. Siaran yang baik harus tetap menggambarkan wajah Sulawesi Tengah, bahasanya, musiknya, budayanya, dan suara anak-anak mudanya.

Seperti pesan Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, KPID harus menjadi bagian dari kampanye besar untuk membentuk masyarakat “Berani”: Berani Cerdas, Berani Sehat, Berani Sejahtera, Berani Berintegritas, Berani Berkarya, Berani Bermimpi, dan seterusnya. Dan media adalah alatnya.

Karena itu, sinergi adalah kunci. Pemerintah daerah, pelaku media, komunitas kreatif, dan masyarakat harus bersama-sama menjaga ruang penyiaran ini. Dunia digital memang membuka peluang besar, tetapi jika kita hanya menjadi penonton, maka kita akan ditinggalkan.

Maka mari kita jadi pelaku. Mengisi ruang digital dengan konten-konten bermutu, relevan, dan membanggakan. Penyiaran tidak boleh hanya mengudara. Ia harus mengakar dan menjalar ke setiap gawai, ke setiap ruang publik, ke setiap percakapan anak muda. Karena masa depan penyiaran, bukan hanya ditentukan oleh kekuatan sinyal, tetapi oleh seberapa kuat kita menjaga identitas di tengah gempuran global.

Dan pada akhirnya, di tengah dunia yang semakin bising, penyiaran lokal harus tetap menjadi suara yang jernih, yang bukan hanya terdengar, tapi juga bermakna. (*)

*) Ketua KPID Sulawesi Tengah

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow