Dari Sukarno ke Prabowo: Menakar Ulang Sikap Indonesia terhadap Amerika Serikat

Oleh: Mohsen Hasan*

Juli 31, 2025 - 05:35
 0
Dari Sukarno ke Prabowo: Menakar Ulang Sikap Indonesia terhadap Amerika Serikat
Dr.Mohsen Hasan Alhinduan,Lc.MA

KETIKA Presiden Sukarno pada era 1960-an menggemakan kalimat “Go to hell with your aid!”, dunia menyaksikan sebuah deklarasi kedaulatan dari bangsa muda yang menolak tunduk pada tekanan Barat. Ungkapan itu bukan sekadar ledakan emosi, melainkan cerminan strategi politik luar negeri bebas-aktif yang mengedepankan harga diri nasional di atas kenyamanan ekonomi. Indonesia kala itu memilih berdiri di jalur non-blok dengan sikap tegas, meskipun harus menghadapi konsekuensi berupa isolasi diplomatik dan berkurangnya bantuan luar negeri.

Enam dekade kemudian, di panggung yang sama namun dalam dunia yang berbeda, Presiden Prabowo mengambil langkah yang jauh lebih pragmatis. Dalam forum internasional, ia bahkan sempat mengutip retorika “Make America Great Again”—sebuah slogan kampanye Presiden AS Donald Trump—sebagai bentuk dukungan diplomatik. Bagi sebagian kalangan, sikap ini tampak berlawanan dengan garis keras Sukarno. Namun bagi politik modern, pernyataan itu bisa dibaca sebagai strategi akomodatif untuk memperkuat hubungan ekonomi, membuka akses pasar, serta memperoleh dukungan teknologi.

Konfrontasi vs. Pragmatisme Diplomasi

Sukarno membangun citra Indonesia sebagai pemimpin Dunia Ketiga yang berani menantang hegemoni. Ia percaya bahwa kemandirian politik hanya dapat dicapai jika bangsa ini berani berkata “tidak” pada setiap bentuk intervensi. Gaya konfrontatif itu memang memperkuat nasionalisme, tetapi juga menimbulkan biaya tinggi: embargo ekonomi, keterbatasan pembangunan, dan ketegangan internasional.

Sebaliknya, Prabowo muncul dalam era globalisasi di mana kekuatan ekonomi menentukan posisi politik. Diplomasi tidak lagi sekadar ajang ideologi, melainkan arena tawar-menawar dagang. Retorika keras tanpa strategi ekonomi yang matang justru berpotensi melemahkan daya tawar di meja perundingan.

Risiko dan Peluang dalam Politik Luar Negeri Kontemporer

* Ketergantungan Ekonomi

Sikap yang terlalu akomodatif berpotensi menjerumuskan Indonesia pada ketergantungan struktural terhadap negara besar. Sejarah mengajarkan bahwa bantuan ekonomi yang tidak diimbangi dengan kemandirian industri bisa menjadi jebakan jangka panjang.

* Peran Indonesia sebagai Middle Power

Letak strategis dan populasi besar memberi Indonesia posisi penting sebagai negara penyeimbang di tengah rivalitas Amerika Serikat–Tiongkok. Alih-alih berpihak, Indonesia seharusnya memanfaatkan persaingan dua kekuatan ini untuk memperkuat posisi sendiri.

* Kedaulatan Teknologi dan Industri

Negosiasi perdagangan tidak boleh berhenti pada tarif impor. Yang lebih penting adalah transfer teknologi, investasi industri dalam negeri, dan penguatan kapasitas nasional agar Indonesia tidak selamanya menjadi pasar bagi produk asing.

Keras dalam Prinsip, Fleksibel dalam Taktik

Kesimpulan dalam artikel opini ini bahwa sejarah memperlihatkan bahwa nasionalisme Sukarno lahir dari kebutuhan untuk mempertahankan kedaulatan politik, sementara pragmatisme Prabowo muncul dari tuntutan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Keduanya mencerminkan zaman masing-masing.

Namun, di tengah dinamika geopolitik hari ini, Indonesia tidak bisa memilih hanya salah satu. Kita memerlukan diplomasi yang keras dalam prinsip, tetapi fleksibel dalam taktik. Kita harus siap berkata “tidak” ketika kedaulatan terancam, namun juga cerdas berkata “ya” ketika kerja sama memberikan ruang bagi kemandirian nasional.

Dengan demikian, “Go to hell with your aid!” tidak hanya menjadi kenangan heroik masa lalu, dan dukungan retoris seperti “Make America Great Again” tidak berubah menjadi simbol ketergantungan baru. Tujuan akhirnya jelas: politik luar negeri yang membuat Indonesia kuat, mandiri, dan dihormati.

Jakarta, 28 Juli 2025

Apa Reaksimu?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow